Hitam lalu, ,
Ia, misteri . .
Menafikan tebakan benar,
Lalu menertawakannya di ruang gelap,
Dan akhirnya, ,
Tersenyum sinis, seperti hantu,
Di balik lipatan pintu . .
Ia, pemisah diri,
Pencinta darah merah . .
Menyapunya dengan lembut dan memercik,
Setelah melukai diri dan membantai yang lain . .
Tawanya tak pernah bersuara,
Cuma cekikan kecil, di suasana sunyi, ,
Meredam kucir, untuk membelai belati, ,
Menoreh ubun-ubun,
Lalu puas, ,
Dan, ,
Hitam baru datang, ,
Ia, alas dasar redup, ,
Penyembunyi kepahitan, ,
Jika ia cahaya, maka itu adalah kelam, ,
Mata takkan bisa menangkap bias terang,
Karena ia hanya patut untuk dirasakan . .
Ia, penenang bertuah,
Atas kontraksi sangkaan hancur,
Dan pikiran pemberontak, ,
Sifatnya dalam dan dingin,
Tak berbatas, bahkan semakin dalam,
Perekah yang menciut,
Penenang kebimbangan, ,
Ia, juga pembalik,
Menjadi jalan yang membawa cinta,
Kepada angin,
Awan kapas,
Hujan, ,
Serta pertengahan malam . .
Kita selalu berjumpa,
Setiap kali mata menutup , ,
Terkadang juga engkau mengingatkan saat malam,
Bahwa aku akan selalu melihatmu, . .
Dengan mata yang tidak terbuka lagi,
Saat itu aku takut,
Karena engkau menampakkan kepadaku,
Warna hitam lalu,
"Allah, ampunkan si hina , ,"
Komentar
Posting Komentar