Aku tidak ingin disamakan seperti mereka yang mudah
berpaling,
Aku memang mengagumi yang satu dan mencintai yang lain,
Tapi, kebodohan itu bukan aku yang mau,
Tidak mau dan ingin kusengaja, ,
Masih dapat kubayangkan rasa sakitnya,
bila seseorang beranjak dari hati,
bilapun ia ingin atau terpaksa,
sama saja,
sama-sama meninggalkan bekas luka, ,
Kala itu aku bimbang,
Tak bisa membedakan, apakah itu engkau atau dia, ,
Terus menerus dalam keadaan seperti itu,
Hingga aku jenuh dengan penat yang membuta,
Melalui keadaan sukar, dan melupakan diriku untuk
sesaat, ,
Karenanya, kupastikan yang satu dari dua,
Dengan menganggap bahwa ini menjadi langkah untuk
menghentikan kebimbangan ini. .
Lalu aku menjalaninya Dengan sebuming kesakitan,
Terus terseret dan tergerus dibawa pilu. .
Dalam suasana itu,
Aku tetap memperhatikanmu, tapi tidak seperti
memperhatikannya, ,
Aku mengetahui kesedihannya,
Tapi tak mengetahui kesedihanmu, ,
Dan sekarang, aku merasa picik. .
Kesedihanku bukan karena aku tak bisa menjalin hubungan
dengannya,
Melainkan mengapa aku terus terlarut dalam perasaan itu,
,
Meski ia acuh, dan terkadang tidak peduli . .
Dulu, aku pernah mengutarakan perasaan itu, kepadanya ,
,
Meski aku tau, bahwa hatinya telah dimiliki. .
Itu karena aku terlanjur terbawa arus,
Di bawah hati yang terus memberontak, ,
Aku ingin lepas,
Hingga aku mengadu kepada Tuhan dengan perasaan malu,
Malu karena tak sepantasnya kuadukan itu, ,
Tapi, aku tetap melakukannya, ,
Jauh sebelum aku menulis artikel ini. .
Shalat isyaku selalu kubawa ke tengah malam,
Agar aku selalu terbeban untuk melakukannya, ,
Saat-saat di mana aku merasa sunyi,
Dan merasakan tekanan ini dengan sebenar-benarnya , ,
Aku menunggu lama, tentang jawaban pintaku, ,
Kukira, segala doaku adalah sia-sia . .
Namun, baru kusadari bahwa Allah membalikkan duka ini
dengan sangat perlahan , ,
Semakin nestapa itu menjauh,
Semakin ingin kutoreh cerita ini di lembar apapun, ,
Padahal saat aku tergerus dulu,
Aku terlalu malas untuk membahasnya,
Meski Cuma berteman dengan sebuah pena dan secarik
kertas. .
Hingga perasaan ini nyaris memudar sempurna,
Ratapan malamku kian menjadi puji syukur, ,
Karena “Allah, Engkau telah kabulkan doaku.”
Dan bersamaan dengan itu, ,
Kepalaku melukiskan kembali gambar dirimu,
Dengan rasa bersalah yang besar, ,
Menghujam, hingga aku berpikir mengapa kesedihan ini
tidak kunjung berakhir , ,
Walaupun begitu,
Aku tak ingin mendekatkan diriku kepadamu, waktu itu . .
Karena merasa, betapa brengseknya aku, tak menghadapkan diriku
kepadamu,
Saat aku memutuskan kepastian dulu, ,
Aku terus begitu, , menjalaninya, ,
Dengan membohongi diri sendiri . .
Kehancuran dulu membuatku asik untuk mengadu di malam, ,
Ku coba netralkan hati dan pikiran, ,
Dengan doaku yang tidak memihak,
Hanya memohon sedikit kebahagian di hari-hari ku yang
berwarna kusam,
Untuk memastikan, bahwa pinta-pintaku tidak terdorong
dengan rasa bersalah ini, ,
Lalu, Semakin waktu berlalu , ,
Gambar-gambarmu yang di ingatan Semakin banyak muncul,
Seakan Ia menampakkanmu untuk permintaan maafku yang
selalu kutunda, ,
Kutunda agar kesedihan
berikutnya tak lagi datang, ,
Karena itu sangkaku, ,
Namun, suatu malam. .
Saat bulan rendah di sebelah barat tampak dari jendela
kamar. .
Cahayanya masuk, menerangi sedikit sajadahku . .
Dan saat itu, rasa bersalahku memuncak . .
Tak bisa ku bendung karena terlalu deras, ,
Terus menangis hingga mataku kebas, ,
Dua pesan singkatku, tentang harapan dan permintaan
maafku kukirimkan, ,
Tanpa berpikir, bagaimana tanggapanmu tentang itu
nantinya, ,
Tak peduli lagi dengan pertimbangan-pertimbangan seperti
malam-malam lalu, ,
Aku menangis hingga lelah, ,
Sampai tertidur, dengan warna kosong,
Tanpa mimpi, ,
Keesokan harinya, ,
Engkau tanyai maksud pesan singkatku tadi malam, ,
Dan aku tak tahu harus menjawabnya bagaimana, ,
Hanya diam dan mengalihkan pembicaraan, ,
Wahai engkau,
Sebenarnya dalam rasa bersalahku,
Terselip cinta yang kian mengembang dari kekaguman, ,
Tapi, aku terus membohongi diri sendiri, ,
Karena aku malu kepada hatiku,
Seakan rasa ini ada setelah rasaku kepadanya menghilang,
,
Meskipun aku tahu hakikatnya tidak demikian, ,
Aku juga takut menceritakannya kepadamu,
Takut bila engkau tidak mengerti sepenuhnya tentang apa
yang aku pahami, ,
Tapi, sedikit dari cerita itu telah kupaparkan, ,
Entah bagaimana tanggapan dan perasaanmu yang
sebenarnya, ,
Setidaknya, kejujuran itu membawa ketenangan, walau
segumpal. .
Rasa bersalahku tak mau pergi. .
Pula aku menyadari bahwa tidak ada manusia yang selalu
benar(*
Keduanya terus berpapasan, ,
Dan aku harus menunggu lagi, ,
Komentar
Posting Komentar