Beberapa waktu yang lalu, publik kembali digegerkan dengan pemberitaan pencoretan bendera yang dilakukan oleh nurul fahmi, dengan tulisan kalimat tauhid, lailahaillah dengan arti “tiada tuhan selain Allah”.
Miris memang jika kita memandang kejadian ini. kenapa tidak, sebelum itu, ada beberapa kejadian pencoretan bendera yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, namun tidak begitu digubris oleh kepolisian. Katakanlah kasus yang serupa dengan tema yang sama, pada unjuk rasa pendukung ahok yang menulis dilambang bendera merah putih “kami minta ahok dibebaskan”.
Fenomena ini tentunya membuat publik bertanya-tanya, “mengapa isu pelanggaran pencoretan lambang bendera baru bergema setelah adanya tulisan kalimat tauhid di lambang bendera?”. Sedangkan sebelumnya, aksi serupa juga pernah dilakukan di beberapa selebrasi publik dan bahkan ditonton oleh presiden sendiri.
Berkaca dari hal tersebut, maka sudah barang pasti dapat disimpulkan, bahwa Islam mulai ditakuti oleh penganutnya sendiri. Awalnya, kita mengetahui bahwa fenomena “ketakutan” tersebut acap kali terjadi pada daerah atau negara minoritas muslim, yang memandang bahwa Islam adalah agama radikal, biang teroris dan penuh dengan pertumpahan darah. Hal ini menjadi meresahkan ketika “ketakutan” tersebut terjadi di negara yang mayoritas penduduknya Islam, bahkan kemerdekaannya direbut dengan pejuang-pejuang jihadis Islam kala masa penjajahan.
Respon ini merupakan buah dari hilangnya jati diri anak bangsa, ketika mereka tidak lagi mengenal sejarah dan agamanya sendiri. Pemerintah dan aparat penegak hukum seolah telah lupa kepada akar sejarah dari bangsa ini. Seolah pula, negara mulai di atur dan dikendalikan oleh antek-antek anti Islam sehingga eksistensi Islam dalam beberapa waktu dijadikan drama melankolis yang keji dan ditayangkan kepada masyarakat.
Beberapa media baik elektronik maupun surat kabar di tanah tercinta ini –meskipun tidak semua-, sangat gemar meliput “keburukan-keburukan” yang berkenaan dengan Islam, seperti demo anarkis, dan lain sebagainya. Padahal hal serupa juga dilakukan oleh kelompok lain, namun terkesan disamarkan dan hilang. Sementara, “kebaikan-kebaikan” yang banyak dilakukan tidak dipublikasikan untuk ditayangkan kepada masyarakat. Oleh karena ini, paradigma publik terhadap eksistensi Islam di negara ini menjadi buruk.
Di sisi lain, kita juga melihat bahwa bangsa ini sudah mengkiblatkan diri kepada barat, bukan lagi kepada jati dirinya, di mana budaya-budaya pragmatis terus dipopulerkan, dan meninggalkan tradisi jati diri bangsa kita. Masyarakat tidak bisa lagi menganalisis dengan pasti permasalah ini, karena sudah di ranah “politik internasional tingkat atas”. Hanya orang-orang tertentu yang mampu menganalisis ini dan meramunya menjadi kesimpulan yang konkret.
akhirnya, bila paradigma ini terus berlanjut di benak anak bangsa, baik pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat, maka muslim, sebagai populasi terbesar di negara ini, lambat laun, akan ilfeel dengan eksistensi bangsanya. Semoga bangsa ini akan terus bergerak ke arah yang lebih baik. wallahu a’lam.

Komentar
Posting Komentar