Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2015

Menelan Air Mata

            Aku, Zafran. 34 tahun. Menulis kisah ini di ambang kerinduan yang mendalam. Di antara apitan 4 pilar baja. Bersama anakku, azkadina, yang sedang tertidur pulas di pangkuanku. Di akhir perjalanan panjang ini, aku tetap bersama engkau, wahai penenang mata yang meneduhkan.             Latisha, dia adalah mantan pacarku yang terakhir Setelah kubawa ia ke panggung pelaminan. Ia juga satu-satunya sahabat yang tak pernah meretakkan dirinya dari keputusasaan. Teringat waktu itu, saat kami masih berseragam merah putih. Tubuhnya begitu mungil. Bicaranya banyak dengan mimik yang tak pernah sedih. Gigi serinya tanggal dan rambutnya yang selalu di cocang limpan.             Di masa masa itu, aku tak pernah melihatnya menangis. Itu hal yang langka baginya. Tapi, di hari itu. aku melihatnya bersandar di pagar belakang sekolah kami. tangisnya ...

Di Balik Gua Jepang

Di balik gua jepang “ aku dimarahi ayahku karena memotong rumput yang terlalu tua, jadinya lembu-lembuku tidak mau memakannya”. Kata sepupuku, minan. Sambil memegang sabit dan karung beras. “ sama seperti ku gam, aku di marahi karena memotong rumput terlalu sedikit”. Aku melihat ke arahnya yang sedang melilitkan karung beras ke sabitnya. “ bagaimana kalau kita ke gunung?, pak wandi bilang rumput di atas lebih hijau dan panjang-panjang”. Ajaknya, ia bersiap. Aku dan minan adalah anak pengembala sapi. Bahkan kami diajari dengan baik bagaimana mengurus hewan itu supaya sehat dan dan berisi. Memang, hampir semua penduduk desa kami memiliki sapi. Bahkan dilepas hingga lalu lalang di jalan raya. Saat itu, pemandangan seperti itu adalah hal yang wajar dan biasa. Sayangnya, lokasi desa kami dijadikan salah satu target tambang rumput. Maksudnya, banyak orang datang ke desa kami untuk menjarah rumput-rumput yang seharusnya dikuasai oleh putra daerah. Hal ini membuat produksi ru...