Langsung ke konten utama

Di Balik Gua Jepang

Di balik gua jepang


“ aku dimarahi ayahku karena memotong rumput yang terlalu tua, jadinya lembu-lembuku tidak mau memakannya”. Kata sepupuku, minan. Sambil memegang sabit dan karung beras.
“ sama seperti ku gam, aku di marahi karena memotong rumput terlalu sedikit”. Aku melihat ke arahnya yang sedang melilitkan karung beras ke sabitnya.
“ bagaimana kalau kita ke gunung?, pak wandi bilang rumput di atas lebih hijau dan panjang-panjang”. Ajaknya, ia bersiap.
Aku dan minan adalah anak pengembala sapi. Bahkan kami diajari dengan baik bagaimana mengurus hewan itu supaya sehat dan dan berisi. Memang, hampir semua penduduk desa kami memiliki sapi. Bahkan dilepas hingga lalu lalang di jalan raya. Saat itu, pemandangan seperti itu adalah hal yang wajar dan biasa.
Sayangnya, lokasi desa kami dijadikan salah satu target tambang rumput. Maksudnya, banyak orang datang ke desa kami untuk menjarah rumput-rumput yang seharusnya dikuasai oleh putra daerah. Hal ini membuat produksi rumput di daerah kami berkurang, alias pakan ternak kami agak terancam. Harus kukatakan “dijarah” karena aku berang melihat mereka.
Lokasi perbukitan, di belakang rumah kami. Jarang orang yang mendakinya. Kecuali penduduk setempat yang membuka lahan di orong-orongnya. Para pemotong rumput pun jarang yang tahu bahwa di atas sana banyak rumput segar dan nyaris tak tersentuh oleh para penjarah.
“ aku tak pernah melihat rumput sebagus ini”. Kataku.
“ potonglah semaumu, hari ini kita kaya”.
“ setelah memotong, turunkan karungmu lewat sisi sana, agar tidak ada penjarah yang melihat kita”. Katanya khawatir.
“ sudah lama kita tidak ke sini”.
“ya, sudah lama sekali”.
Sayatan-sayatan cepat, aku melihatnya menarikan sabitnya. Gerakannya selalu lebih cepat daripadaku. Aku pernah mencoba beberapa kali untuk mengimbanginya, tapi ia selalu lebih cepat 15 menit. Ia berbakat di bidang itu. Ia juga pernah mengajariku bagaimana cara memotong rumput yang benar dan cepat. Tapi aku selalu mencela karena caranya hanya memperlambat gerakanku.
Di atas perbukitan. Dengan peluh yang membasahi baju, kami beristirahat sebentar sebelum pulang.
“ banyak orang yang tidak tau, kalu di sini pemandangannya bagus”. Kataku membuka topik.
“ kurasa saat kita dewasa nanti, mereka akan berbondong-bondong datang ke sini”. ia menepis.
“ kau lihat kapal LNG itu?. Aku selalu menggambarnya saat pelajaran menggambar di sekolah”. Ia berbelok.
“bagaimana cara kapal itu mengisi gasnya, aku tidak melihat selangnya”. aku memandang jauh.
“bodoh, mereka memasukkan minyaknya dari bawah kapal”.
“bocorlah kapalnya, dek gam”. Aku mengakak.
ee hai bangai. . . Orang jepang itu tidak bodoh sepertimu, kau pernah mendengar cerita pak nek, bahwa PT. Arun ini pernah terbakar?. Orang jepang yang memadamkannya”.
“ ya aku pernah mendengarnya. Tapi pernahkah kau dengar pak nek bercerita tentang sejarah bukit ini?”. Aku mencoba mengungguli.
“ ceritakanlah, mungkin ada cerita yang belum pernah ku dengar darinya”.
Aku bercerita panjang dengan tidak saling memandang. Kurasa angin dan pemandangan yang lepas telah menghanyutkan kami bersama cerita itu. Pak nek pernah bercerita bahwa bukit ini menyimpan banyak misteri. Dulu, pemukiman kami adalah rawa-rawa dan hutan belantara. tidak banyak rumah yang berdiri di desa ini. Hanya beberapa keluarga saja. Jalan raya itu masih berbatu dan transportasi satu-satunya adalah kereta api dan sepeda. Ayahku adalah anak yang nakal. salah satu ulahnya adalah menjual jagung ke lhoksukon dengan menumpang kereta api itu secara illegal. Ia juga pengembala kerbau pak nek. Mengembala kerbau saat itu tidak semudah mengembala sapi sekarang. ayah harus menggiring kerbau-kerbau itu ke bukit. Dulu di sini banyak harimau yang menculik kawanan kerbau jika pengembalanya lalai waktu.
Pak nek mengatakan, bahwa ayahku tidak diizinkan pulang jika kerbau-kerbaunya belum kembali ke kandang. Ia pernah tidak pulang selama tiga hari dan pak nek tidak mengkhawatirkannya. Pak nek pernah mengajari beliau bagaimana caranya bermalam di hutan jika malam sudah tiba. Yaitu dengan cara tidur di atas pohon dan mengikat diri di atasnya agar tidak jatuh. Sesampainya di rumah, ayahku menceritakan kepada pak nek tentang perihal keterlambatan dan kerbau-kerbaunya. Ada yang sudah di makan harimau, tersesat di bukit sebelah, atau mungkin bermalam di kurokrok ( goa jepang-red). Kata ayah, kawanan kerbau gemar menginap di sana jika tersesat pulang karena hawa di dalamnya panas kala malam.
Kurokrok atau sekarang dikenal dengan gua jepang adalah benteng pertahanan zaman penjajahan dulu. Setidaknya ada Dua belas kurokrok yang ada di wilayah perbukitan desa kami dengan berbagai model. Ada yang berbentuk kamar, berbentuk lorong kecil, memiliki lantai dasar, bawah tanah dan lantai dua, berbentuk sumur dan sebagainya. Di antara ragam kurokrok tersebut, konon ada gua yang paling angker. Warga setempat menamakannya guha ramulah. pak nek selalu melarang kami untuk tidak mendekati gua tersebut. Aku pernah bertanya kepada beliau mengapa nama gua tersebut seperti nama orang. Kemudian aku mendapatkan jawaban yang mencengangkan.
Ramulah, adalah seorang gadis yang sangat cantik. Konon ia memiliki rambut yang panjangnya sampai ke tumit. Kala itu, ada istilah PKI dikalangan masyarakat. Entah apa maksud dari kalimat PKI itu. Aku juga tidak menanyakan selengkapnya. Yang jelas beliau mengatakan siapa yang dicurigai sebagai PKI, maka kepalanya harus dipenggal. Begitulah nasib Ramulah. Ia dicurigai sebagai PKI dan dihakimi disalah satu goa tersebut. Kata paknek, arwahnya selalu bergentayangan ketika malam. Wujudnya adalah kepala terbang dan tubuhnya yang berjalan secara terpisah.
Pernah ada kejadian. Saat aku di sekolah dasar seluruh siswa dan guru berbondong-bondong keluar kelas karena melihat sosok Ramulah di sisi bukit sedang bergelantungan. Aku mencoba menanyakan di mana posisinya, tapi tetap saja aku tidak bisa melihatnya. Hantu Ramulah juga sering mengganggu santri yang mengaji malam hari. kakak sepupuku, pernah di ganggunya waktu ia pergi mengaji. dulu, penerangan jalan belum baik, sehingga para santri harus menggunakan suwa –daun kelapa kering yang dililit lalu dibakar- untuk menerangi jalan mereka. katanya, ia pernah berpapasan dengan Ramulah. hantu itu berjalan sambil menjinjing kepalanya. ia lari terbirit-birit ke rumah dan menceritakan kejadian itu kepada paknek.
aku sempat penasaran dengan Guha Ramulah ini. walaupun ada mitos angker, aku dan saudara-saudaraku pernah mencoba untuk masuk ke dalamnya. tak ayal, aku sempat mengurung niat untuk pulang saat berada di mulut gua. ukuran pintu masuknya terbuat dari semen dan tidak besar. kami harus memasukinya dengan cara tengkurap. mengejutkan, aku melihat beberapa rantang yang habis digunakan dan tilam sebagai tempat tidur di dalam gua tersebut. saat ku ceritakan kepada tengku, tengku bilang ada orang yang menuntut ilmu hitam di gua itu.
bukan hanya Ramulah saja, banyak orang yang dibantai atas alasan PKI tersebut. kata paknek, dulu banyak kepala yang digantung di pohon-pohon besar yang berada di kaki bukit. dan saat musim hujan, kepala-kepala manusia itu jatuh menggelinding di bawa arus air dari atas bukit sampai ke lahan rumah. di atas bukit itu juga ada makam-makam orang alim yang tidak diketahui lagi di mana pusaranya. yang jelas, saat aku memotong rumput di suatu tempat di daerah itu, aku menemukan tumpukan batu karang yang berlumut, berbentuk kuburan. lantas kuanggap tumpukan karang itu adalah salah satu kuburan yang pernah diceritakan pak nek.
^^^
pada masa konflik Aceh, saat aku masih SD. aku pernah mendengar bahwa ada beberapa orang yang di bawa ke atas (bukit). aku juga tidak mengetahui jelas apa yang sebenarnya terjadi di atas bukit itu. dan selama masa itu, kami tidak pernah lagi mendaki bukit. kami di larang oleh orang tua kami. kami juga tidak jeli untuk menilainya karena masih kecil. aku melihat sebuah pos sniper di atas bukit di belakang rumah karena di areal kawasan rumah kami ada dua posko tentara di sebelah timur dan selatan rumahku. sejak itu, area bermain kami menjadi terbatas dan lebih banyak berdiam di rumah.
Setelah masa konflik usai, aku bersama saudaraku memberanikan diri untuk kembali naik ke atas. memasuki kurokrok satu persatu. suasananya sudah berbeda. terasa sangat jelas. di salah satu kurokrok, aku melihat banyak selongsong peluru di mulut gua. kami beramai-ramai berebut mencari peluru yang masih aktif untuk dijadikan gantungan kalung dan gelang. beberapa dari kami menemukannya dan membawa pulang ke rumahnya untuk di tempah. begitulah masa kanak-kanak kami berlangsung. bertemankan selongsong peluru dan mitos-mitos yang mengerikan. diantaranya.
^^^
“ aku belum pernah mendengarnya. kau beruntung paknek mau menceritakannya kepadamu “. ia mulai bersiap beranjak pulang.
“ tapi, kaulah cucu kesayangannya “.
“ beliau menyayangi kita semua “.
sejenak, kulihat gelang hitam di tangannya dengan gantungan mata peluru. saat mencari itu di gua, dia lebih dulu menemukannya daripada aku. aku selalu kalah cepat.
benar yang dikatakan oleh minan. sekarang gua jepang ini dikunjungi oleh banyak orang, baik dari dalam maupun luar kabupaten. tentunya mereka dapat menikmati keindahan dan kenyamanan di bukit itu. namun, tetap saja, ketika kakiku menapak di atasnya, kesan dari cerita paknek sangat membekas di ingatanku. ini yang membuat aku merasakan suasana yang berbeda saat berada di sana. ku lihat wajah para pengunjung. raut wajah mereka tampak seperti ketika aku melihat pemandangan ini sewaktu kecil. saat aku tidak mengetahui apa-apa tentang sejarah hitam bukit ini.
Aku dan Minan (Almarhum) -Semoga Allah lapangkan kuburnya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis dan Bercerita

Pada dasarnya menulis adalah bercerita. Tidak jauh berbeda dengan berbicara. Hanya saja, diksi-diksi yang dikeluarkan itu tidak verbal. Tidak berkontak langsung dengan si pendengar. Karena itu ada kesemuan interaksi di dalam tulisan karena bercerita dengan cara menulis. Namun, karena menulis, suatu cerita jadi abadi. Selagi tulisan itu masih ada, masih bisa dibaca. Bercerita dengan menulis itu sebenarnya tidak buruk. ada orang-orang yang terbata-bata lidahnya ketika mengucap, lantas ia tutupi keterbataannya itu dengan menulis. Sehingga isi atau point yang ingin disampaikannya itu bisa digambarkan dengan jelas. Menulis itu tetap penting, bahkan dalam pengertian islam. Karena al-Qur’an bisa saja lenyap dari dunia ini, bila tidak ditulis. Hadits-hadits yang jumlahnya jutaan, selain dihafal juga ditulis oleh ulama-ulama. Mereka memahami, bahwa hafalan-hafalan yang berada di dalam fikirannya tentu harus diabadikan dalam bentuk tulisan, sehingga bisa digunakan bagi masyarakat awam...

10 Argumen Mengapa Jin Masuk Surga Layaknya Manusia

Berpijak dari nash al-Qur’an yang ramai diketahui oleh segenap muslim mengenai eksistensi manusia dan jin sebagai hamba yang wajib tunduk dan patuh, menyembah Allah swt. Oleh karena itu, sebagaimana manusia, jin juga mendapat perintah dari Allah swt. mereka juga tercakup dalam syariat para nabi dan kejahatan mereka pula layak mendapat hukuman. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka sebagaimana diutus kepada manusia. Semua itu tidak diperselisihkan oleh ulama. Namun, perbedaan pendapat muncul dari pertanyaan, apakah jin akan masuk surga?. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jin akan masuk surga atau pun neraka. Ada juga yang menyatakan bahwa pahala jin yang muslim hanyalah sebagai alat untuk menjauhkannya kepada neraka dan tidak akan masuk surga. Hal ini dikarenakan bahwa surga hanya diperuntukkan untuk Adam a.s. ini adalah pendapat imam abu hanifa rahimahullah wajhah. Para ulama yang menyatakan bahwa jin muslim akan masuk surga berpijak dari 10 argumen y...

Kisah Orang Terakhir yang Masuk Surga

Dari Hadist Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda tentang kisah ini. Rasulullah saw bersabda: Orang yang terakhir masuk surga adalah seseorang yang berjalan di atas shirat al-mustaqim sekali, sedang ia berada di atas jahannam (neraka). dia akan jatuh sekali, dan dia akan terbakar oleh neraka sekali. Kemudian, ia berhasil menyeberang dan diselamatkan dari jurang neraka, ia berkata, “Terpujilah Dia yang telah menyelamatkanku darimu (neraka). Allah Swt. telah memberiku sesuatu yang tak pernah diberikan kepada orang lain selain aku.” Jadi ia menganggap bahwa dirinya sebagai orang yang paling beruntung. Setelah ia melewati shirat al-mustaqim, Allah Swt. menumbuhkan sebuah pohon untuknya. Jadi, ia memohon kepada Allah Swt. agar mendekatkannya kepada pohon tersebut, sehingga ia bisa berada dalam naungannya, ia bisa minum dengan airnya. Lalu, Allah menempatkannya di bawah pohon tersebut. Kemudian, Allah Swt. menumbuhkan po...