Langsung ke konten utama

Menelan Air Mata

            Aku, Zafran. 34 tahun. Menulis kisah ini di ambang kerinduan yang mendalam. Di antara apitan 4 pilar baja. Bersama anakku, azkadina, yang sedang tertidur pulas di pangkuanku. Di akhir perjalanan panjang ini, aku tetap bersama engkau, wahai penenang mata yang meneduhkan.

            Latisha, dia adalah mantan pacarku yang terakhir Setelah kubawa ia ke panggung pelaminan. Ia juga satu-satunya sahabat yang tak pernah meretakkan dirinya dari keputusasaan. Teringat waktu itu, saat kami masih berseragam merah putih. Tubuhnya begitu mungil. Bicaranya banyak dengan mimik yang tak pernah sedih. Gigi serinya tanggal dan rambutnya yang selalu di cocang limpan.

            Di masa masa itu, aku tak pernah melihatnya menangis. Itu hal yang langka baginya. Tapi, di hari itu. aku melihatnya bersandar di pagar belakang sekolah kami. tangisnya begitu pilu. Ingin ku dekati, tapi aku ragu. Tak ada yang bisa ku buat, kecuali hanya melihatnya dari atas pagar. Tapi, tak lama setelah itu, ia berjumpa dan tertawa kembali dengan teman-temannya.

            Begitulah ia, manusia tidak dapat ditebak. Pergi dengan tangis dan pulang dengan senyum. Entah bagaimana ceritanya, aku mendekatinya. Dan tak lama setelah itu aku selalu didekati. Aku sempat duduk di lapangan sekolah waktu itu, memandangnya dari sela-sela keramaian siswa. Ia bermain riang. Lalu, tawanya menjadi berbeda saat bersamaku. Suaranya menjadi lembut, meskipun sesekali mengakak.

            Menakjubkan, ia pernah melukis sebuah konstruk bangunan di pagar rumah tua. Waktu itu aku tidak mengetahui apa nama bangunan itu. Waktu menyingsing mengembangkan pengetahuanku. Otakku mencoba membandingkan beberapa gambar visual yang pernah ditangkap oleh mata dengan lukisan raksasanya. Eiffel, aku menangkapnya. Perlu banyak perbandingan. Gambarnya hampir tidak sama.

            Beberapa saat kami bersama. Aku mencoba memahaminya karena ia begitu berbeda. Lantas apa yang disukainya, aku juga suka. Banyak sudah pengalaman-pengalaman rumit dengannya. Paku berkarat yang tertancap di kakinya, celanaku yang sobek karena jatuh dari tangga. Lalu rambut alien dengan kombinasi merah, hijau, biru di beberapa sisi kepala. Aku mendengarkan beberapa nada tinggi dari ibu dan waktu lama di bak mandi. Entah bagaimana dengannya.

            Dasar manusia rumit, aku mencacinya ketika aku berbaring sedang ada luka gores di punggungku. Bekas goresan paku. Saat kami mencoret pagar rumah pak roji. Aku membantunya kabur lewat pagar, sedang aku dipukuli minta ampun, sampai berlari menerobos pagar kawat duri karena tidak tahan tinjunya. Aku berlari kencang, melihat pak roji yang tidak mengejarku lagi, juga melihatnya. Bersembunyi di atas pohon, melihatku saat dan pasca dihajar.

            Sudah sengsara, kembali aku di tipu olehnya, katanya, ia pernah mendengar bahwa inai bisa menyembuhkan luka gores dengan segera. Aku ingin luka itu sembuh dengan segera agar ibu tidak tahu. Ia mematahkan beberapa ranting inai, dan membawanya ke markas. Basekamp kami. Ia menggiling inai itu dan membubuhinya di luka goresku. Panjang. Aku jadi lesu. Rasanya dingin, dan kemudian aku tertidur. Inainya mengering. Aku memakai baju dan segera beranjak ke rumah. Jebakan, ia menggambar eiffel lagi, tapi kali ini di punggungku. Dasar manusia rumit, aku kembali lagi mencacinya.

            Dan setelah belasan tahun di suasana rumit itu, aku mulai mengetuk kepalaku sambil mengatakan, apakah nama rasa ini, wahai rambut, wahai kutu, wahai dahi, wahai telinga? Aku tidak mengerti. Rona-rona muncul kala mataku tidak menangkap gambarnya lagi. Ia telah pindah ke luar kota, meninggalkanku, basekamp kami, dan juga beberapa lukisan imajinatif.

            Terkadang, saat perasaan kehilanganku memuncak, aku kembali ke basekamp, mencoba mengenang kembali kejadian-kejadian dulu, mulai dari pintu depan, beranjak ke dinding-dinding penuh warna, tumpukan kayu penuh paku, tangga rusak, ayunan jaring dan tempat tamsilan puncak menara eiffle, ada teropong yang terbuat dari botol air mineral. Aku menaikinya, dan berkata bodoh sambil tertawa.

            Lalu aku melewati pintu belakang, rumah pak roji yang telah almarhum. Juga pohon tinggi itu, tempat ia menatapku bisu, pula ketika aku lolos dari kejaran pak roji. Begitu aku merasakannya, ia imajinatif, tapi aku malah mencaci, menyesal.

^^^
            Gelombang, aku di tepi laut melihat beberapa bentuk awan. Merindukannya?, sudah tentu. Pikiranku bercanda untuk memutar sudut pandang, berusaha mencari bentuk yang sesuai dengan konstruk bangunan itu. Beberapa saat dapat ku pandangi. Kemudian berubah karena angin. 29 ramadhan, menjelang senja.
^^^

            Empat tahun setengah setelah menamatkan SMA, aku menjadi sarjana teknik yang tak bisa membaca peluang. Hanya duduk , mengatasi komplikasi pubertas. Sampai paradigmaku berubah saat ayahku jatuh sakit. Itu membuatku kalang kabut. Berputar-putar lalu duduk kembali, mengatasi komplikasi ekonomi.

            Merasa tak berbakat. Aku lantas berniat untuk menghamba. Beberapa hari yang lalu, sainganku di kampus menanyakan tentang pekerjaanku pasca mereguh ijazah. Jawabanku nafi. Sebutnya, “selalu ada lowongan kerja di lembar surat kabar”. Itu membuatku meradang. Tanpa kutanya pun, ia telah membeberkan jenis pekerjaan dan berapa besar gajinya. Gerahamku saling menabrak dengan mata terbelalak, lalu ku maki ia mati-matian. Tawa membahak, cuma itu respon yang kudengar sebelum ia mematikan handphonenya.

            Seperti saran hinaannya, aku mencari lowongan kerja di berbagai merk surat kabar. Aku ingin yang berkelas, namun semua lowongan kerja yang kutemukan ternyata dibawah kelas. Persyaratannya sekelas ijazah SMA. Aku jadi tidak bergairah. Setelah itu, aku kembali masuk rumah, dan melihat wajah ayah dan ibu. Ada perasaan tidak tega. Lantas ku kepak barang-baran yang kuperlukan untuk perjalanan jauh. Ibu melihatku bingung ketika itu. Aku bersimpuh dan mencium lututnya, juga ayah. Meminta izin untuk berangkat, sebelum ada beberapa pertanyaan dari mereka.

            Aku bertemu paman, untuk meminta sedikit bekal. Bertahan hidup di tanah yang asing bagi mata kakiku. Menaiki bus, berjalan, dan melihat rintik-rintik hujan yang menghujam kaca. Seperti dihipnotis, aku tertidur pulas, sebelum sampai di sebuah rumah makan untuk berehat sejenak.

            “Istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tuaku, dalam zu’ doa mendalam nan panjang, di detik-detik waktu seusai shalat.” banyak air mata yang tumpah. aku terisak sejuta kali. wajahku sudah basah dan kuhapus lagi. beberapa waktu setelahnya, aku terjaga kembali.

            Bus kuning dengan corak merah, telah hilang. Aku berjalan dan berhenti di bekas bannya yang tergambar di tanah. Berdiri lama., melihat sayup-sayup malam dengan pandangan kosong. Antara tak percaya dengan mengikhlaskan barang-barangku yang dibawa pergi.

            Keesokan paginya, seseorang membangunkanku karena subuh telah berlalu. Aku bangun dan duduk sejenak. Merasakan hawa kulit yang masih dingin dibalut udara malam. Aku mencoba berdiri dan menyeimbangkan diri, lalu beranjak mengganti shalatku yang sudah tinggal. Aku duduk lama di tangga masjid, padahal matahari sudah memuncak. Dan ketika itu, ,

            Aku melihatnya, seolah atau benar-benar ia. Mungkin dia pun demikian. Seolah aku atau benar-benar aku. Aku memperlihatkan tanda lahir di tanganku yang sedari dulu dicemoohnya. Keningnya mengerut, lalu ia melepas sandal. Memperlihatkan telapak kakinya kepadaku. Aku langsung bangun. Mungkin ia ingin menunjukkan luka bekas paku di telapak kakinya, meskipun aku tidak bisa melihatnya. Aku menghampiri. Ia memanggil namaku, “zafran?!”.

            Kali ini aku benar-benar ikhlas kehilangan barang-barangku. Semuanya telah terganti karena telah melihatnya kembali. Ia masih begitu mirip dengan latisha dulu. Tidak seperti aku, katanya. Aku menceritakan kemalangan ini kepadanya, lalu mendengarkan tawa kanak-kanaknya dulu.
^^^

            Ia dan keluarganya tinggal di pinggir kota ini. untuk sementara aku menetap di sana. rumahnya terbuat dari papan dengan warung nasi di depannya. Aku membantu keluarganya sebagai tanda balas budi atas pinjaman tilam dan bantal. Beberapa progress kudapatkan dan terlanjur menikmati suasana ini. Lalu mengabarkan perihal keadaanku ke kampung. Orang tuanya dan orang tuaku pernah dekat saat kami masih di kampong. Hingga ayahku dapat mengelus dada, lega, karena aku sedang bersama mereka. Ayah mengirimkan uang lewat rekening latisha. Saat itu aku bahkan tidak tahu bahwa uang itu adalah hasil dari penjualan sawah.

            Kali ini aku merasa berbakat. Aku membuka usaha servis elektronik di sebelah rumahnya. Orang tuanya menyewakan sebidang tanah kecil untuk tempat usahaku. Semuanya terasa berjalan landai. Hingga aku dapat meminang latisha dan mengganti uang ayah. Kami membina rumah tangga ini. Dengan sejuta imajinasi dan sebuah masalah besar.


            Rumah mungil kami mulai ditata olehnya. Banyak poster ka’bah yang ditempel di dinding rumah kami. Aku pernah menanyakannya, kenapa tidak lagi eiffel?. Sahutnya, aku sedang merindukan ini. Sambil melihat ke arah poster itu. Jantungku jatuh dalam. Aku lekas beranjak mengambil beberapa potong kayu bekas dan mulai membuat sesuatu dengan segera. Mungkin suara bising di belakang rumah membuatnya penasaran untuk melihat apa yang sedang ku kerjakan. Ia tertawa pelan sambil menyandarkan kepalanya di dahan pintu. Ia mengerti maksudku. Aku kegirangan. Lantas, ia membawa beberapa teguk teh untuk menyegarkan tenggorokanku. Melihat aku menggergaji, memalu dan menciptakan ini. Kotak tabungan. “Gambarlah”. Aku menyuruhnya. Lalu ia menggambarkannya.

            Aku yang bekerja, ia yang merumuskan financial. Tentang berapa banyak yang harus ditabung, sedekah, dan untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu waktu membawa kami menjadi jaya. Usaha ini telah menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat setempat. Para pegawaiku menyanjung prestasi kami yang bisa membangun usaha sesukses ini. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ada kekosongan dalam gemerlip kejayaan ini.

            Delapan tahun sudah, rumah tangga ini membentangkan layar. Namun, kami tidak memiliki momongan. Itulah masalah besarnya. Kami sudah berusaha sebisa mungkin untuk menanggulinya. Aku hampir putus asa, “semua cara ini tidak berhasil”. Ia menjawab, “bukan tidak berhasil, tapi belum berhasil.”

            Kotak tabungan ini mulai tampak tua. Kadarnya, sudah 29 kali penuh dan telah disetorkan ke bank. Kami mengaharapkan, tabungan itu bisa membawa kami ke tanah suci. Bersama-sama. Menggembirakan hasratnya. Hingga setelah tabungan kami cukup untuk melaksanakan umrah, kabar baik datang. Latisha mengandung. Lidahku sampai kaku untuk menanggapi kabar baik itu.
“Istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tua kita, dalam dzu’ doa mendalam nan panjang di detik-detik waktu, seusai shalat.”.

            Latisha membalikkan haluan rencana awal kami. Aku ingin kita ke sana dengan dia. Aku terenyuh serta mengiyakan. Katanya, ia akan membantuku dengan keras untuk biaya kelahirannya. Tahun itu adalah waktu-waktu yang menggembirakan. Air mukanya juga berubah. Tampak lepas. Ia mulai sering bernyanyi ketika menghidangkan makanan. Juga membaca quran setelah shalat. Ia imajinatif. Di poster ka’bah yang sudah tua dulu, ia menuliskan kalimat, azkadina, kita akan ke sana. Seketika ku elus kepalanya setiap kali aku mengingatnya. Begitu menyayanginya.

            Sampai, hari kelahirannya sudah dekat. Aku tidak melihat rasa takut di wajah latisha. Namun, akhir-akhir ini wajahnya memucat. Aku menyuruhnya untuk istirahat dan tidak bekerja terlalu keras. Tapi ia bersikeras. Aku dan latisha selalu berlomba menuju dapur dan kamar mandi. Ia merebut belanga dari tanganku, juga merebut sikat ketika aku mencuci piring dan baju. Dengannya aku selalu lemah. Rasanya ia akan marah jika aku tidak mengalah.

            Hari kamis, ia mulai merasakan tanda-tanda kelahiran permata kami. Ia mengeluh sakit, namun juga tertawa. Aku langsung membawanya panic. Melihat wajahnya yang kian memucat. Setibanya di rumah sakit, ia langsung ditangani dengan serius. Para perawat membawanya dengan ranjang sorong. Aku tidak tahu apa namanya. Lantas kebingungan datang. Mengapa penanganan ini seperti gawat darurat. Aku meyertainya. Ia melihatku tersenyum.

            Gerakan para perawat itu cepat. Latisha sudah di dalam. Kemudian dokter keluar dan memintaku untuk menandatangani operasi sesar untuk latisha. Kondisinya sangat lemah untuk melahirkan secara normal. Aku menunggu cemas. Menghitung ribuan detik. Sampai dokter yang menanganinya keluar dan mengabarkan bayi kami lahir dengan kondisi baik dan sempurna. Namun, latisha kritis.

            Beberapa saat setelah itu, aku belum diizinkan untuk melihat kondisi keduanya. Ini membuatku semakin panic. Kemudian malam itu menjadi malam hitam pekat ketika dokter mengabarkan, bahwa latisha sudah tiada. Dan satu hari setelahnya, ayahku menghadap yang kuasa.

            Aku menghadiri pemakaman keduanya. Tak bisa kugambarkan bagaimana perihnya itu. Sampai aku tak tau lagi, mata sembam mana yang menangisi latisha dan ayahku. Rasanya seperti dibelah, dihujam bertubi-tubi sampai sendi-sendiku lemah. Kurasa ibuku pun begitu. Namun beliau cenderung lebih tabah. Mampu menasehatiku sedang ia terluka.

            Ibu, aku membawanya pulang ke rumahku yang sekarang. Beberapa waktu setelah mereka tiada. Beliau juga memintaku untuk melakukannya. Di rumah mungil itu, kami saling mengobati satu sama lain. Mulai tergambar wajah rindang di wajah ibu dan orang tua latisha. Kami membesarkan azkadina bersama-sama. Mata dan hidungnya persis seperti latisha. Ia tumbuh dengan baik dalam perspektif anak tanpa ibu. Menginjak usianya dua tahun, ia sudah bisa memanggilku “ayah”, aku mengajarinya, “mama”.

            Poster ka’bah itu yang membuatku menamakan latisha kecil, azkadina. “istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tuaku, dalam zu’ doa panjang nan mendalam di detik-detik waktu, seusai shalat.”. Aku tidak tau mengapa harus nama itu. Setiap kali melihat poster itu, aku selalu mengenang mimpinya untuk ke sana. Bahkan saat sepintas aku berlalu melihatnya. Dengan segera, ingin segera kubawa anak manis ini bersamaku, juga bersama latisha yang terus bersemayam di dalam hati. Mimpi-mimpinya seakan masih hidup, terus mendorongku untuk mewujudkannya.

            Suatu hari, aku berniat memindahkan poster itu ke kamarku, agar azka bisa melihatnya terus sebelum ia tertidur. Pelan-pelan, kulepaskan lakban yang telah menempel lama di poster itu. Setelah poster itu terlepas sempurna. Senyumanku yang sedari tadi pagi direnggut. Terpaku di depan dinding dengan pandangan yang dihalangi air, tak jemu kuhapus berkali-kali.

            Aku melihat sebuah gambar yang lebih tua tertempel di balik poster ka’bah itu. Lukisan menara eiffel goresan tangannya. ada tulisan mungil di sudut lukisan itu “zafran, bawa aku ke sana!”, ketika aku membacanya, latisha dengan rambut cocang lipan, memandangku dan mengucapkan kalimat itu.

            Memori yang tertancap dalam waktu itu, timbul dan menyeruak. Menguasai seluruh partisi otak. Aku meninggalkan toko ku yang masih terbuka. Menuju bank dan menarik seluruh tabungan yang telah latisha kumpulkan. Seperempat dari uang itu kubawa pulang ke rumah dan sisanya ku tabungkan ke bank yang berlabel internasional. Dua hari sebelum aku dan azkadina berangkat, telah kutitip toko ku itu kepada sepupu latisha, shamir. Berpamitan kepada orangtua kami, nenek dan kakek azka, mereka menangis. Sedang ibuku mengatakan, “ibu sudah meridhaimu nak”.

            Aku melihat anak perempuanku kegirangan. Padahal ia tidak tau apa-apa. Sebuah travel umrah membimbing setiap langkah perjalanan panjang kami. Ke Makkah Al-Munawwarah, tanah yang dirindui. Hingga kami tiba di sana. Melaksanakan ibadah tersebut dengan membawa air mata dalam setiap langkah. Tiba sudah arah wajahku, ke hadapan ka’bah, aku melihatnya . .  . “istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tua kita, dalam zu’ doa panjang nan mendalam, di detik-detik waktu, seusai shalat.”.

            Esok adalah hari kepulangan kami ke tanah air. Lalu aku bertanya kepada azkadina, usianya masih 2 tahun delapan bulan. “haruskah ayah membawa ibumu kesana?”. Azka hanya tertawa polos, “nak, malam ini kita ke sana”. Setelah shalat isya, aku mengepak ransel dan membawa azka ke luar hotel. Menaiki banyak taksi dan menghindar dari intaian travel yang bertanggung jawab atas kehilangan kami. Tampaknya kami sudah di luar kota. Aku turun dan mencoba menjalin komunikasi dengan beberapa pengemudi bis. Untuk mengantar kami ke bandara, dan terbang ke Paris.

^^^
            Di Paris sedang musim gugur sekarang, hawa dingin mulai terasa. Aku menggendong azka, di belakang punggungku. Menempuh perjalanan untuk menemukan menara megah ini. Semalaman aku di sini, tidak tahu harus menginap di mana. Untuk menyewa hotel di kota ini rupanya sangat mahal. Bila pun harus, uang kami tidak akan cukup untuk bertahan di sini dan pulang.

            Malam ini aku di bawah menara ini, latisha. Bersama anak kita, azkadina. Seandainya saja engkau menjadi  nyata, pasti aku akan memelukmu dengan erat. Beginilah cerita ini ku akhiri. Mereka sudah panic memandangiku, lampu mobil ambulan sudah tampak dari jauh.
“istriku, saat iini aku sedang melihat wajahmu, orang tua kita dan juga azkadina, dalam zu’ doa panjang nan mendalam, di detik-detik waktu nafasku yang mulai terpenggal,.”.
Azka, telanlah airmatamu nanti, ,
^^^
            Inilah cerita yang ditulis ayahku, sebelum ia pergi meninggalkanku bersama ibu. Bibi aisyah bilang, ayahku meninggal karena luka tusuk di perutnya. Kasus itu terjadi saat kami berada di gang gelap bangunan tinggi. Kami dirampok waktu itu, dan pelakunya telah ditangkap. Tulisan ayahku ini pernah ditempel di pilar baja sebelah ini. Dan aku akan menulis kisahku di sini pula.

Bibi aisyah, ia ibu angkatku sekarang. Sebelumnya aku sempat sulit menerjemahkan tulisan ayah ke dalam bahasa prancis. Tapi, kini aku telah mengerti setelah tinggal beberapa bulan di jogjakarta. Aku bahkan tidak tau dari mana orang tuaku berasal. Jika bisa, aku ingin menjumpai nenek dan kakek, ayah dan ibu dari orang tuaku.

            Dulu aku tidak mengerti mengapa ayah menyuruhku untuk menelan airmata. Dan sekarang, makna itu bisa kutangkap dengan jelas. Terima kasih ayah dan ibu, betapa engkau menyayangiku. Semoga Allah mempertemukan kita di syurga kelak.


                                                                                                            azkadina latisha binti zafran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis dan Bercerita

Pada dasarnya menulis adalah bercerita. Tidak jauh berbeda dengan berbicara. Hanya saja, diksi-diksi yang dikeluarkan itu tidak verbal. Tidak berkontak langsung dengan si pendengar. Karena itu ada kesemuan interaksi di dalam tulisan karena bercerita dengan cara menulis. Namun, karena menulis, suatu cerita jadi abadi. Selagi tulisan itu masih ada, masih bisa dibaca. Bercerita dengan menulis itu sebenarnya tidak buruk. ada orang-orang yang terbata-bata lidahnya ketika mengucap, lantas ia tutupi keterbataannya itu dengan menulis. Sehingga isi atau point yang ingin disampaikannya itu bisa digambarkan dengan jelas. Menulis itu tetap penting, bahkan dalam pengertian islam. Karena al-Qur’an bisa saja lenyap dari dunia ini, bila tidak ditulis. Hadits-hadits yang jumlahnya jutaan, selain dihafal juga ditulis oleh ulama-ulama. Mereka memahami, bahwa hafalan-hafalan yang berada di dalam fikirannya tentu harus diabadikan dalam bentuk tulisan, sehingga bisa digunakan bagi masyarakat awam...

10 Argumen Mengapa Jin Masuk Surga Layaknya Manusia

Berpijak dari nash al-Qur’an yang ramai diketahui oleh segenap muslim mengenai eksistensi manusia dan jin sebagai hamba yang wajib tunduk dan patuh, menyembah Allah swt. Oleh karena itu, sebagaimana manusia, jin juga mendapat perintah dari Allah swt. mereka juga tercakup dalam syariat para nabi dan kejahatan mereka pula layak mendapat hukuman. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka sebagaimana diutus kepada manusia. Semua itu tidak diperselisihkan oleh ulama. Namun, perbedaan pendapat muncul dari pertanyaan, apakah jin akan masuk surga?. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jin akan masuk surga atau pun neraka. Ada juga yang menyatakan bahwa pahala jin yang muslim hanyalah sebagai alat untuk menjauhkannya kepada neraka dan tidak akan masuk surga. Hal ini dikarenakan bahwa surga hanya diperuntukkan untuk Adam a.s. ini adalah pendapat imam abu hanifa rahimahullah wajhah. Para ulama yang menyatakan bahwa jin muslim akan masuk surga berpijak dari 10 argumen y...

Kisah Orang Terakhir yang Masuk Surga

Dari Hadist Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda tentang kisah ini. Rasulullah saw bersabda: Orang yang terakhir masuk surga adalah seseorang yang berjalan di atas shirat al-mustaqim sekali, sedang ia berada di atas jahannam (neraka). dia akan jatuh sekali, dan dia akan terbakar oleh neraka sekali. Kemudian, ia berhasil menyeberang dan diselamatkan dari jurang neraka, ia berkata, “Terpujilah Dia yang telah menyelamatkanku darimu (neraka). Allah Swt. telah memberiku sesuatu yang tak pernah diberikan kepada orang lain selain aku.” Jadi ia menganggap bahwa dirinya sebagai orang yang paling beruntung. Setelah ia melewati shirat al-mustaqim, Allah Swt. menumbuhkan sebuah pohon untuknya. Jadi, ia memohon kepada Allah Swt. agar mendekatkannya kepada pohon tersebut, sehingga ia bisa berada dalam naungannya, ia bisa minum dengan airnya. Lalu, Allah menempatkannya di bawah pohon tersebut. Kemudian, Allah Swt. menumbuhkan po...