Sepotong tubuh tersibak kaku, mematung di tepi pantai. Wajahnya kaku, tegang. Menahan nafas pilu berkali-kali. Pohon matanya memerah, bekas elusan sapu tangan. Airmata itu terus jatuh, membanjiri pipi. Dadanya sesak. Menanggung beban rindu yang mendalam. Menunggu seseorang yang entah kapan akan kembali. Lewat dermaga ini. Sudah ratusan petang berlalu menemani penantian panjangnya. Menjadi saksi wajah frustasi itu. Namun karin tak berputus asa. Yakin bahwa laki-laki itu pasti akan tiba, menyambut tangannya, meruntuhkan segunung rindu yang menjulang tinggi. Meskipun karin tak tau persis, kapan laki-laki itu akan benar-benar kembali. Alun-alun senja beberapa saat lagi akan berakhir. Karin menunduk, meletakkan jeda dari penantian yang mungkin masih begitu panjang. Jemarinya gugup, membuka lembaran buku di tangannya. Terselip banyak surat-surat dalam lembaran buku itu. “kembalilah.” Rintih hatinya. ***** “Kau liha...
Assalamualaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh Atas permintaan puan, meminta saya supaya berkenan menulis sepucuk surat cinta yang nantinya menjadi ubat untuk dikenang, maka berlakulah jari-jemari saya menulis beberapa madah, kata-kata asmara. Hendaknya menjadi pelipur lara bilamana sampai kesedihan itu merajai hati, menerbitkan pucuk-pucuk rindu baru, usai dipetik ia sebagai obat. Tertanda permintaan puan itu, di tanggal 7 agustus 2018. Sungguh tak pandai saya merangkai kata-kata. Tak seperti Zainuddin, sang pemuda dari Mengkasar. Namun saya paham akan dalam rasa cintanya kepada Hayati. Seperti kata para pendahulu, “tak lapuk karena hujan, tak lekang oleh panas”. Begitulah perasaan cinta saya kepada puan. Meskipun hebatnya perasaan saya yang membara itu, namun jua kelu lidah saya bila bersahut sapa dengan puan. Kata-kata itu tersendat begitu saja di pangkal marih saja. Mati rasa pita suara saya. Puan, sebenarnya saya tidak tau harus menyampaikan apa. Warna-warna di dalam hat...