Langsung ke konten utama

Menanti "Bersama Ribuan Senja"




  Sepotong tubuh tersibak kaku, mematung di tepi pantai. Wajahnya kaku, tegang. Menahan nafas pilu berkali-kali. Pohon matanya memerah, bekas elusan sapu tangan. Airmata itu terus jatuh, membanjiri pipi. Dadanya sesak. Menanggung beban rindu yang mendalam. Menunggu seseorang yang entah kapan akan kembali. Lewat dermaga ini.
Sudah ratusan petang berlalu menemani penantian panjangnya. Menjadi saksi wajah frustasi itu. Namun karin tak berputus asa. Yakin bahwa laki-laki itu pasti akan tiba, menyambut tangannya, meruntuhkan segunung rindu yang menjulang tinggi. Meskipun karin tak tau persis, kapan laki-laki itu akan benar-benar kembali.
Alun-alun senja beberapa saat lagi akan berakhir. Karin menunduk, meletakkan jeda dari penantian yang mungkin masih begitu panjang. Jemarinya gugup, membuka lembaran buku di tangannya. Terselip banyak surat-surat dalam lembaran buku itu. “kembalilah.” Rintih hatinya.
*****
“Kau lihat si Zuhail itu. Seperti tak tau diri saja. Tak penat-penat dia mengirimu bunga setiap pagi?”. Bilang kakak karin yang mengintip Zuhail dari balik jendela.
“Sudahlah kak, biarkan dia. Nanti jika sudah penat, berhenti juga dia.” Karin bertutur, sambil bercermin, memaniskan warna gincu di bibirnya.
“Hei Karin, jangan kau beri harapan kepada dia. Bisa gila dia nanti.” Kali ini kakaknya mendekat, mempertegas rasa kuatirnya.
“Aku sudah tak tau lagi kak, harus berapa kali kuperingatkan dia, supaya berhenti usahanya merebut simpatiku. Tapi, tak juga dia mau berhenti. Tenanglah, Sudah kuanggap jin dia, tak nampak lagi pun di mataku.”
            Karin sudah siap di depan cermin, dan bergegas berangkat kerja. Mengakhiri bincang-bincang rasa kuatir kakaknya itu. Ia Keluar, setengah berlari ke arah pintu. Buru-buru karena terlambat. Di depan gerbang rumah, sudah menunggu zuhail, pemuda hitam legam, anak nelayan. Menaruh hati kepada Karin si bunga desa.
            Hanya sepintas saja, mata Karin melihatnya. Sengaja acuh, agar pemuda baik itu menyerah dengan usahanya. Sudah sebulan yang lalu, Zuhail sudah diperingatkan agar tidak menghantui paginya itu. Tapi, apalah daya. Laki-laki itu juga tak bisa memendam rasa di perasaannya. Sudah terlanjur ia jatuh cinta.
            6 bulan yang lepas, hati Zuhail tersibak-sibak ketika perempuan itu, karin, duduk sendiri di bibir pantai. Lalai menatap ombak yang saling menggulung. Hampir setiap pagi, di sudut karang itu. Dari sini Zuhail memperhatikannya sambil menarik pukat. Tak pegal-pegal batang lehernya memaling. Melihat gadis berparas cantik itu, dibalut-balut angin lautan.
            “Zuhail penakut”. Begitu, ia di sindir para pawang kapal. “Anak pesisir itu selalu membara. Sejak kapan kita takut kepada badai?, jalanlah.” Para pawang sudah bosan melihat Zuhail hanya berpandang terpaku dengan jarak sejauh itu. Maksud mereka, “Dekatilah, apa lagi yang kau tunggu?”
            Kata-kata itu kemudian diiyakan. Zuhail datang dan membuka pembicaraan. Awalnya Karin memilih diam. Acuh. Namun, lambat laun. Percakapan ringan itu mulai hadir. Hingga keduanya semakin dekat, saban hari.
***
Suatu malam di jalan pinggir pantai. Bersusun gerobak jualan seperti gerbong kereta api. Lampu-lampunya membuat suasana tempat jadi terang. Jadi nuansa metropolitan di pesisir pantai. Di gerobak putu bambu itu, keduanya bercengkerama. Sudah dua bulan berlalu, obrolan mereka menjadi akrab. Apa saja dibahas. Dari tentang semut sampai perasaan.
Zuhail lebih banyak mendengar. Karin yang lebih banyak bicara. Perempuan itu tampak pendiam ketika belum dikenal. Tapi bila sudah akrab, ya seperti itulah. Selalu saja ada isi pikiran yang bisa diceritakan. Kadang-kadang, bahkan tanpa jeda. Melompat dari topik ini, langsung ke topik yang lain.
Di gerobak putu bambu itu, untuk pertama kalinya Zuhail ingin tahu tentang indentitas perasaan Si Bunga Desa. Berceritalah Karin, bahwa ia punya cinta di Pulau Matan. Sulian namanya. Pemuda kampung sebelah. Sudah satu tahun lebih lelaki gagah itu merantau. Katanya, Pulau Matan akan disulap jadi tempat wisata oleh pemerintah. Proyek-proyek sudah menunggu calon pekerja. Karena itu sulian ke sana. Tidak ingin ijazahnya menganggur di lemari pakaian.
Tak sebarang pemuda dapat merebut hati Karin. Di kampung, ia terkenal sebagai perempuan acuh. Tidak peduli pantun-pantun cinta para bujangan di tepi jalan. Ada yang tetap gigih, tapi banyak juga yang putus asa. Seperti mutiara jadinya si karin, di kampung itu.
Sulian-lah orang yang beruntung itu. Ia diberi ruang di hati Karin. Sejak dibelasahnya dua bujang pemabuk di pinggir jalan, karena menghadang jalan Karin ketika hendak pulang ke rumah. Datangnya sulian seperti pahlawan. Seketika terkapar begitu saja kedua bujang itu. Keduanya nyungsap di alas tanah.
Sulian laki-laki yang romantis. Tak kan ada lagi bujang seperti itu di pesisir ini. Dia juga berpendidikan. Tak sibuk menebar jaring ke tengah lautan untuk cari uang. Uang ayahnya sudah banyak. Kebun karet di kabupaten sebelah, keluarga Sulian yang punya. Perempuan mana yang tak jatuh hati dengan dia. Karena itu, juga beruntunglah Karin.
Sejak dari tadi, Zuhail menelan ludah mendengarkan cerita itu dari Karin. Kelap-kelip putus asa muncul di hatinya. Memang tidaklah mudah menjadi Sulian. Bahkan mustahil. Semua tentang Sulian yang diceritakannya, berbanding terbalik dengan kisah hidupnya. Zuhail tak kaya, tak berpendidikan, kerjanya cuma menebar jaring di tengah lautan.
Namun betapa pun, dapat menjalin persahabatan dengan Karin adalah sebuah keajaiban. Sebab itu para pawang bersorai-sorai ketika menarik pukat. Bangga, “itu lah baru anak pelaut. Tak pernah gentar”. Hampir sekampung bisik-bisik sudah riuh. Persahabatan keduanya jadi tenar. Sangkin akrabnya, karin bisa diajak keluar rumah, makan putu bambu malam-malam.
Akrabnya Karin dengan Zuhail bukan tak beralasan pula. Itu karena Zuhail pandai menulis surat. Tak kan lah Zuhail dapat merapat, jika tak ada hal yang luar biasa dalam dirinya. Memang awalnya Karin acuh ketika ditegur di sudut karang itu, tapi dengan pelan hatinya jadi luluh, senang membaca surat-surat dari Zuhail. Dari hal hebat itu, Karin membuka diri.
***

Ribuan senja jadi saksi, bahwa mata perempuan itu sembab tak karuan. Semua kapal-kapal yang terapung di air, diperhatikannya. Berharap salah satu kapal membawa tubuh orang yang dicintainya itu. Dibuka buku tebal itu, potongan-potong surat di dalamnya merenggang. Jari-jari tangannya bergetar, hendak mengambil sehelai. Tangisannya seketika bercucuran, jatuh menitik di lembar-lembar kertas.
Perempuan itu ingin mengenang. Kisah-kisahnya dulu yang begitu indah. Diambilnya sebuah surat. Tertulis nama Sulian di depannya. Lipatan kertas itu dibuka pelan. Terpampang sudah di depan wajahnya. Baru kalimat salam yang teruntai di pandangan mata, dadanya lekas sesak seketika. Dipeluk erat-erat sehelai kertas itu. Menegang pohon matanya, menutup rapat. Jatuh bercucuran airmatanya tak terhenti, terisak-isak nelangsa.
Hembusan angin itu yang jadi saksi, betapa rindu di hatinya terlalu pilu. Tak terucap!.
***
Saptu pagi. Zuhail duduk menatap lepas laut biru. Bergulung-gulung ombak nya menderu, riuh. Teringat tentang apa yang diminta karin semalam. Begitu akrab sudah persahabatan ini, kenapa lantas jadi seperti ini? Berkali-kali ia mengusap rambut, ke depan dan ke belakang. Bingung dengan apa yang sedang ia alami.
Di emperan gerobak putu bambu semalam, Karin memberi secarik kertas kepadanya. Jadi girang hati Zuhail. “Apa ini balasan suratku tempo lalu? Tak apa lah walau sedikit terlambat.” Begitu bilang hatinya ketika menerima sepucuk surat itu. Wajahnya jadi sumbringah. Tertegun. Dibukanya pelan-pelan, seraya memandang wajah karin sesekali, yang ikut sumbringah pula. Tapi, setelah lipatan kertas itu terbuka sempurna, warna cerah di hatinya itu padam seketika. Gelap.
Dibacanya sebuah nama di pembuka surat. Sulian. Langsung sadar Zuhail, surat itu bukan untuknya. Di tatapnya lagi paras Karin, ia tetap sumbringah. Tampak gigi serinya yang cantik. “Ada apa dengan surat ini?”
Karin memelas. Minta bantuan Zuhail untuk membalas semua surat cinta Sulian. Jawaban singkat Karin itu masih menyisakan tanda tanya. Karin tak melanjutkan penjelasannya. Malah menarik sepotong putu bambu, lalu dimasukkannya ke mulut.
“Kenapa aku yang harus membalasnya?”
“Lihat-lah kalimat di surat itu, Zuhail. Bagaimana indah kata-katanya. Sudah ku coba merangkai kalimat-kalimat yang indah semacam punyamu, tapi tak bisa. Bantulah aku.”
Bibir Zuhail kaku. Tak bisa menjawab. Bukan tidak ingin membantu. Tapi sebab ada bingung di pikirannya itu. Persahabatan ini apa murni adanya? Atau karena sebab surat-surat ini?
“hei!!” Zuhail dikejutkan. Belasan detik Zuhail terdiam. di tunggu jawabannya.
Apalah daya, “mata Karin yang berbinar-binar, minta sungguh-sungguh untuk ditolong itu” yang membuat Zuhail tak bisa mengelak. Tak tega ia berkata “Tidak”. Tak kuat melihat jadi sedih wajah orang yang dikasihinya itu. Lantas kepalanya mengangguk pelan, Dengan wajah datar itu. Dengan suara terpaksa itu.
Karin melompat kegirangan. Terlepas wajah bahagianya yang elok. Bersorak sorai di dalam hatinya. Senang bukan main. Jadi spontan Karin mengambil sepotong putu bambu itu, disuapkan untuk Zuhail.
Karena sebab itu, Zuhail jadi lemas di sudut karang pagi itu. Merenung, bagaimana ia harus tersenyum setiap kali berjumpa dengan Si Bunga Desa? Tak dilihatkah mata Zuhail yang setiap detik mengucap cinta? Apatah lagi disuguhkan amanah untuk menyulam kata-kata cinta untuk Sulian? Apakah di dalam hati ini tak berdarah luka? Serasa akan tak kuat tangannya menulis madah-madah itu. Harus menahan rasa sakit, untuk sebisa mungkin agar bisa bersama dan berjumpa.
Memanglah ia sadar, bahwa hati Karin bukan untuknya. Namun tak mengapa. Asal tak ada cerita tentang Sulian lagi. Tapi kali ini, Zuhail terperangkap.
***
Malam-malam bahagia di pesisir metropolitan kampung itu, kini menjadi kenangan. Rentetan lampu yang terang berubah jadi kelam, di mata Zuhail. Dalam dua bulan ini, meringkih-ringkih hatinya menarikan sajak di atas kertas. Membalas surat Sulian atas nama Karin. Apalagi ketika membaca surat-surat Sulian untuk dibalas. Tersulut api cemburu Zuhail. Rasanya, ingin dibakar saja kertas itu, atau ingin diremukkan. Tak kuat hatinya menyimpan rasa itu.
Maka, suatu hari, di depan halaman rumah Karin, Zuhail mengungkapkan semua isi hatinya. Tentang besar rasa cintanya, nyeri hatinya sebab rindu, dan luka sebab menanggung beban menulis surat itu. Untuk pertama kalinya, sikap mereka saling canggung.
Karin tak terkejut. Malah biasa saja. Tau bahwa suatu saat hal ini pasti akan terjadi. Sepertinya Karin sudah terbiasa. Mengalami hal serupa dengan acap kali. Ramai pemuda berjuang untuk mendapatkan hatinya. Termasuk usaha Zuhail, ia rela melakukan semua ini karena perasaannya itu. Namun, apa yang bisa dilakukan Si Bunga Desa? Dia juga manusia yang punya rasa cinta. Hatinya tak bisa singgah ke siapa pun, kecuali kepada Sulian. Meski pun cintanya jauh di Pulau Matan, tetap ia akan menunggu.
Zuhail pula, tak bisa memaksa hati Karin untuk berlabuh di sisi hatinya. Hari ini, ia hanya ingin mengungkapkan keluh kesahnya, sebab rasa cinta. Tak sanggup tangannya menggores sajak untuk Sulian selamanya. Bisa habis air matanya.
“Toh, jika kamu tidak sanggup membalas surat-suratnya lagi, aku tidak memaksa.” Bilang Karin pelan.
“Lantas, apa masih bisa kita bercengkerama di tempat biasa?”
“Akan ku usahakan.”
***
Sulian si pemuda gagah itu. Pergi merantau bukan untuk mencukupi mahar, bukan pula punya tanggung jawab nafkah, melainkan cari pengalaman hidup. Mungkin mulai terasa penat ia, hidup dengan melihat kapal-kapal berlabuh, jaring-jaring pukat yang terjejer dijemur, sahut sorai penarik pukat setiap pagi dan petang. Ia punya hasrat ingin merasa hidup di negeri lain. Seperti apa rasanya?.
Bukanlah sulian, Jika tidak digemari ramai perempuan. Apakah itu di sekolah atau di kampung. Dari yang biasa-biasa saja, sampai mereka yang merasa punya martabat tinggi. Posisinya sebagai pusat perhatian tak jauh beda dengan Karin. seolah Tuhan menjadikan keduanya untuk berjodoh di daratan pesisir itu.
Sulian dan Karin berbeda kampung, tapi tak jauh. Keduanya tak pernah berkenalan sebelumnya. Ia juga tak punya tambatan hati.  Kawan-kawannya di sana-sini ramai yang bingung. Apa lagi kurangnya Sulian? Semua yang tidak dipunyai bujang-bujang di kampung itu, ada pada Sulian. Entah itu tampannya, hartanya, budi baiknya dan segenap kelebihan lainnya. Untuk alasan itu, ditunjukkanlah seorang perempuan, bernama Karin. Semenjak itu, Sulian sering bermain ke kampung itu. Ingin melihat langsung, betapa jelitanya Si Bunga Desa, Karin.
Memanglah pertemuan itu sudah ditakdirkan. Tepat hari pertama Sulian ingin berkenalan dengan Karin, terjadilah peristiwa itu. Perempuan itu dihadang oleh dua kawanan pemabuk pinggir jalan. Sulian tidak bisa tinggal diam. Diambil langkah kuat untuk berlari, ia melesat! Menendang wajah salah seorang dan meninju rahang yang satunya. Langsung hilang sadar keduanya, mungkin akan bangun besok pagi. Pertemuan yang luar biasa. Memberi kesan yang luar biasa pula. Tak disangka Sulian, niatnya yang sederhana itu bisa jadi sebuah adegan hebat, layaknya drama di layar kaca. Di mulai hari itu juga, hati keduanya terpatri.
Sulian itu pandai menulis sajak. Seperti Zuhail. Seperti itu awal-awal keduanya berkomunikasi. Selang satu bulan, barulah resmi mereka bersua. Berbagi isi pikiran lewat suara, bukan dengan tinta lagi.
Jika ditanya berapa banyak kenangan indah semenjak keduanya bertaut hati, tentu tidak bisa dihitung lagi. Sudah terlalu banyak, tak bisa diungkap satu persatu. Semakin dekat hubungan keduanya saban hari, maka semakin tampak gelagat mereka, ketahuan tentang keduanya yang sedang jatuh hati, oleh orang tua mereka. Tak butuh waktu yang lama, kedua keluarga itu berkehendak bersilaturrahmi. Melihat sisi-sisi, antara satu dengan yang lain. Jika memang memungkinkan, keduanya hendak dinikahkan sesegera mungkin.
Di sela-sela rencana pernikahan itu, muncul kabar, Pulau Matan hendak disulap jadi tempat wisata oleh pemerintah setempat. Karena itu, tertahan sebentar rencana pernikahan itu karena Sulian resmi diterima di salah satu proyek rekayasa di Pulau Matan. Kontrak kerjanya setahun setengah. Bila sudah tak betah di pulau itu, ia berjanji kepada Karin untuk segera pulang.
“Bila sampai di sana, jangan lah lupa mengirimiku surat.” Sayup-sayup suara Karin di tepi dermaga. Sebelum tangannya melambai, melepas pergi kapal yang membawa kekasihnya itu, ke daratan lain.
Seperti yang diminta kekasihnya, surat-surat itu selalu sampai di depan pintu rumah. Dibalas dan dikirim lagi. Begitu seterusnya. Sampai waktu itu tiba. Waktu di mana sulian akan pulang. Meneruskan niat baiknya itu.
***


Senja semakin terang. Tampak awan-awan mulai cerah jingganya. Sepotong surat yang dipeluk itu dilihatnya lagi. Gurat tulisan tangan itu sudah terhafal. Setiap titik dan komanya. Sebegitu seringnya susunan huruf itu dibaca. Dibelainya tulisan tangan itu penuh kasih. Goresan tinta indah bekas tangannya. Sudah lama perempuan itu menunggu. “Kenapa kau tak kunjung datang?!”
***
“Kenapa surat sulian tak datang-datang lagi?” Karin marah minta ampun. “Apa kau membalas suratku diam-diam!?”
Zuhail hanya diam. Wajahnya menunduk lesu. Tidak bisa berkata apa-apa.
“Kau sabotase surat itu tanpa sepengetahuanku, kan?!!” Perempuan itu geram. Mencampak puluhan kertas kosong di tangannya.
Lagi-lagi Zuhail si hitam legam tertunduk lesu. Tidak menjawab sepatah kata pun.
Melihat Zuhail hanya diam, suasana tegang itu akhirnya reda sejenak. Karin menarik nafas. Coba menghilangkan gemuruh bengis di dadanya. Sudah sebulan, surat Karin tak dibalas Sulian. Awalnya, perempuan itu biasa-biasa saja. Dipikirnya, mungkin Sulian sedang sibuk-sibuknya bekerja. Tapi saban hari, hatinya semakin risau. Melayang-layang tanda tanya di kepalanya. Apa sebabnya?
Di awang-awang tanda tanya itu, Karin beranjak ke kediaman keluarga Sulian. Tanya apakah sulian baik-baik saja. Ayah dan ibu Sulian mengangguk. Baru tiga hari yang lalu ia mengirim surat ke ayah dan ibunya. “Dia selalu mengirim kabar sebulan sekali, nak.”
Karin jadi bingung sekaligus mulai curiga. Mungkin Zuhail penyebabnya. Bisa jadi dia yang mengirimkan surat jadi-jadian kepada Sulian, yang isinya entahlah. Atas dasar itu Karin bereaksi keras. Zuhail tetap tak tak bisa menjawab, hanya menunduk saja.
Ikatan persahabat antara Karin dan Zuhail berakhir di detik itu juga. Jari telunjuk Karin mengacung. Mengangkat sumpah, tak akan mau punya hubungan apa pun dengan Zuhail lagi.
 Namun Zuhail tak berhenti di situ. Dawai tintanya tetap hidup. Setiap pagi sebelum Karin hendak pergi bekerja, Zuhail sudah siap di depan rumah sambil memegang amplop-amplop suratnya. Di gerbang itu tangannya menjulur, menyerahkan surat itu kepada Karin. Tapi tak satu pun yang diterima. Karin pun jenuh, memperingatkannya berkali-kali, tapi Zuhail tetap dengan sikapnya. Berharap karin bisa kembali lagi seperti dulu. Tapi, sepertinya sudah mustahil.
***


Perempuan di riak senja itu terbangun seketika. Diusap airmatanya berkali-kali, agar tak tampak bekasannya di pipi. Kapal Airama mulai tampak dari jauh. Seketika senyum riang perempuan itu mengembang. Menghentikan hujam-hujam pedang di hatinya. Yakin, Orang yang dirinduinya itu pasti sudah pulang. Menghentikan beban rindu sebab penantiannya yang panjang. Kapal Airama tak setiap bulan berlabuh. Itu kapal besar pengangkut penumpang perantau jauh. Sudah berapa lama perempuan itu menanti. Sudah belasan bahkan puluhan kapal besar itu bersandar di bibir dermaga. Tapi orang yang dirinduinya itu tak jua kembali.
Berlari perempuan itu sekencang mungkin ke bibir dermaga. Hendak jadi orang pertama yang menyambut kedatangannya.
***
Seketika Karin terkejut dari tidurnya. Subuh-subuh ia sudah dibangunkan kakaknya. “Bangun!!!, Sulian sudah pulang!!!.” Bergegas Karin melesat ke daun jendela. Menjenguk ke jalan depan rumah. Benar-benar itu sulian. Karin melesat cepat ke luar pintu rumah. Menyambut kedatangannya yang begitu menyibak hati. Tak tau entah bagaimana harus melepas rindu itu. Tangan Sulian digenggam erat-erat. Sampai menitik airmatanya.
Subuh ini Karin diajak ke dermaga. Setiap bulang Desember, selalu ada kabut di bibir pantai. Mengepul di sepanjangnya. Pemandangan itu yang ingin diperlihatkan Sulian. Dengan piyama itu, karin dibawa pergi.
Di sepanjang jalan setapak, bersahut-sahut binar di kedua mata mereka.
“Kapan kau pulang?”
“Aku baru sampai.”
“Apa cantik kabut pantai tahun ini?”
“Entahlah, karena itu kau ku ajak.”
Langit mulai agak terang. Keduanya jalan bersama, bergandengan tangan ke titian dermaga. Dan benar, gumpalan-gumpalan bak awan itu membentuk indah, berbaris lembut sejauh pandangan mata. Di sudut karang itu keduanya duduk. Tempat kenangan mereka berdua. Diiring deru ombak, juga sahut-sahut pawang kapal mengatur langkah penarik pukat.
“Kenapa kau tak membalas suratku?, aku sudah lama gundah, ku kira kau pergi kemana?”
“Sengaja ingin kubuatkan kejutan. Tak ku kabari kalau aku hendak pulang.”
Karin tersenyum. Tersipu malu dia.
“Siapa yang menulis surat-suratmu?, ku lihat indah betul? Tak seperti sebelumnya?” Sulian tertawa kecil. Melepas rasa penasarannya.
“Ough, itu... kakakku. Malu rasanya ku balas suratmu dengan bahasa-bahasa sederhana seperti itu. Lantas, ku suruh dia bantu tuliskan sajak-sajak yang indah.”
Berlanjut tawa canda mereka. Digelayut kabut-kabut tebal, sedang memudar karena matahari hendak terik. Indah betul suasana pagi ini. Berbeda. Hendaknya akan menjadi hal yang paling indah untuk di kenang. Selama-lamanya.
***
Di sudut karang itu, Sulian bilang ingin menikahi Karin dengan segera. Perempuan itu girang bukan kepalang. Tak sampai satu bulan, acara pernikahan itu langsung diselenggarakan. Berbinar-binar mata pengantin di atas pelamin. Pesta meriah itu dihadiri ramai orang. Sampai tak kenal lagi, tangan siapa yang sudah dijabat, mengucapkan selamat.
Bulan berganti. Hari-hari indah itu tetap melekat di hati keduanya. Apalagi bulan ini, Karin resmi dinyatakan hendak punya momongan. Hati perempuan manakah yang tak bahagia. Meski akan sangat lelah selama 9 bulan ke depan. Tapi tetap tak akan pernah dihiraukannya.
Tapi, Sulian tak bisa menemani keluh kesah penat istrinya selama mengandung itu. Para punggawa pemegang proyek mega di Pulau Matan, memanggilnya lagi untuk membantu pekerjaan mereka. Begitu Sulian memberi pengertian dengan pelan, bilang, “Ini rezeki anak kita.”
Meski berat hati, Karin melepas suaminya pergi. Mereka punya mimpi, untuk membina rumah tangga ini dengan mandiri. Tak bergantung pada orang tua, tak tinggal bersama mereka. Punya rumah sendiri, penghidupan sendiri. Takkan lama suaminya di sana. Bilang, 4 bulan sekali, Sulian akan pulang, menjenguk.
***

Kapal Airama semakin mendekat. Banyak orang berdiri di bagian depan dek kapal. Ramai penumpang yang rindu berat dengan kampung halamannya. Di salah satu kerumunan itu, ada orang yang sedang dirindui Karin. Terkibas-kibas rambutnya di sapu angin. Airmatanya jatuh menggelayut. Ingin lekas sampai, bertemu dengan orang yang begitu dirinduinya.
***
Sudah 8 bulan, Sulian tak juga pulang. Sudah risau hati karin sejak 4 bulan terakhir. Teringat Sulian, ketika kancing baju di tangannya lepas, Gelas jatuh dari tangannya, dan yang paling menyedihkan, gugur kandungannya karena terjatuh di teras rumah. “Apa sesuatu terjadi dengan Sulian?”
Banyak tangisan karin yang tumpah di pangkuan mertuanya. Orang tua Sulian pun tak punya kabar apa pun. Hinggaplah kecemasan itu di hati keluarga besar. Bertanya-tanya kepada perantau yang kembali dari Pulau Matan, tapi tak ada satu pun yang melihat Sulian di sana.
Ayah Sulian pun bertindak. Dikirimnya sekelompok orang untuk cari tau di mana sekarang Sulian berada. Berangkatlah delapan pemuda itu mencari jejak. Apa hal buruk sedang menimpa anaknya atau kah terjadi sesuatu, mereka perlu kabar itu.
Bulan demi bulan berlalu, masih menanti cemas keluarga besar itu akan pulangnya para utusan, memberikan kabar. Genap 2 bulan mencari kabar, para utusan pulang. Langsung bergegas ke rumah keluarga. Para sanak saudara dihimbau kumpul untuk mendengar kabar dari para utusan. Terbentuklah sebuah lingkaran besar di ruangan luas itu. Para utusan disuruh duduk dekat ayah Sulian. Disuruh lekas mengabarkan bagaimana keadaannya.
“Tuan, beserta ini saya dan kawan-kawan saya telah berjumpa dengan Sulian. Dia sehat, tak kurang suatu apa pun.”
Seketika gemuruh suara mereka mengucap syukur.
“Sudah kami cari-cari Sulian di Pulau Matan. Tapi benar seperti kata para perantau, dia tak tinggal di sana. Sulian sudah tinggal di Pulau Peranik. Tak jauh dari Pulau Matan. Setelah kami tahu keberadaannya di sana, lantas kami menetap di pulau itu. Memata-matai, tak langsung kami berjumpa dengannya. Sengaja ingin tau pasti apa yang sedang dia lakukan, sehingga tak juga memberi kabar ke rumah.
“Memangnya bagaimana, Pak Odui?” Cemas suara Ayah Sulian bergetar!!.
***
Tak karuan, harus bagaimana ihwal karin meronta. Tak bisa keluar suaranya lantaran begitu sakit sesak di dadanya. Bergetar kedua tanggannya. Bergantian menggenggam lengan ayah dan ibunya. Tak lama kemudian, perempuan itu pingsan. Tak kuat menahan sakit di hati.
Tak hanya Karin, seisi ruangan itu lengang, ditelan rasa terkejut, nelangsa dan bengis. Para utusan bilang, Sulian sudah punya anak dan istri di pulau peranik sana. Awalnya ketika para utusan menghampiri, Sulian menghindar, cepat-cepat lari menghilangkan jejak. Tapi cerdasnya para utusan, sudah tau semua hal ihwal laki-laki itu.
Bertandanglah para utusan ke rumah Sulian di Pulau Peranik, memasang wajah baik dan hendak bertamu. Puluhan kali pintu itu diketuk, tapi tak juga ia keluar. Sampai bermalam para utusan di depan rumah. Barulah esok pagi Istri Sulian membukakan pintu. Gerah dengan sikap suaminya yang kalang kabut, seperti ketakutan.
Diizinkan masuk para utusan. Dijamu dengan baik. Barulah mereka dapat keterangan, bahwa Sulian sudah lebih dulu menikah dengan Syuaida sebelum pulang ke kampung waktu itu.
“Apa hal sebenarnya yang telah berlaku, pak cik?” kata Syuaida, sesekali melihat ke pintu kamar.
“Begini puan, sebenarnya sudah lama kami memantau Sulian, lebih dari satu bulan. Maafkan kami, jika puan sudah terusik selama itu.”
Syuaida menelan ludah. Sudah diagak, bahwa ini perkara yang serius.
“Ayahnya yang mengutus kami ke sini, untuk mencari kabar perihal anaknya. Sebab, di kampung halamannya, Sulian meninggalkan seorang istri. Sudah mengandung anak Sulian pula. Namun malang, istrinya keguguran.
Mulai berkaca dan menetes airmata syuaida. Perih hatinya mendengar berita itu.
“Hendaknya, dapat pulanglah Sulian menjenguk istrinya yang di sana sebentar. Kasihan pak cik melihat keadaan istrinya di sana.”
Syuaida  langsung bergegas bangun, masuk ke kamar. Menyuruh Sulian untuk bangun, berhadapan langsung dengan para utusan ayahnya.
Keluarlah potongan tubuh gagah itu dari balik daun pintu. Matanya sudah sembab, berurai airmata. Tangan Sulian ditopang pelan oleh istrinya, diajak duduk di sampingnya. Barulah semuanya diceritakan Sulian. Bahwa ia sudah lebih dulu menikah di Pulau Matan, dengan Syuaida. Alasannya kepada Syuaida ketika hendak menikah dengan Karin, “Sudah lama tak pulang, ingin menjenguk ayah dan ibu”. Padahal, Sulian juga punya rencana menikah dengan Karin.
Istrinya itu tak memberontak, terlalu baik akal budinya. Digemgam erat tangan suaminya. Menenangkan, agar tak bertambah pilu tangisnya itu.
            Entah bagaimana harus menggambarkan, bagaimana suasana sedih di dalam rumah itu. Sampai pak cik odui juga tak sanggup menahan tangis. Akhirnya melangkah pulang para utusan. Tujuan mereka sudah kesampaian. Cuma satu pesan yang ditinggalkan kepada Sulian, “Pulanglah, jenguk istrimu, Karin. jangan kau siakan dia.”
***

Kapal Airama sempurna berlabuh. Perempuan itu berdiri menunggu orang yang dirinduinya turun. Walaupun itu mungkin cuma harapan. Belum tentu ia ada di kapal besar itu. Wajahnya memaling-maling. Tak tinggal setiap wajah dipandangnya. Wajahnya juga sedia tersenyum, ingin menyambut. Tak ingin menyambut laki-laki itu dengan balutan tangisan.
Senja semakin pekat, belum sempurna pekat. Karin masih melihat tangga turun kapal yang menapak di alas dermaga. Tinggal seorang-seorang, dan akhirnya tamat. Tak ada tampak orang yang dirinduinya itu. Perempuan itu membaikkan selendang di bahunya, lantas kembali. “Kapal Airama mendatang pasti akan membawanya pulang.”
***
Di sudut karang itu, Karin dengan mata sembab berderu hatinya bersama ombak. Dibaca surat Zuhail dulu yang diletakkan di sisi dalam pagar. Surat itu disimpan di tumpukan kertas oleh kakaknya. Sudah berselip-selip entah di mana. Kakak Karin dulu pernah bilang, bahwa ada surat Zuhail di depan rumah, sudah diletakkannya di atas lemari. Awalnya dipikir kakaknya, itu surat Sulian, karena di depan amplop, tertulis nama Sulian di sana. Ternyata setelah dibuka adalah surat itu milik Zuhail. Tapi Karin waktu itu tak kunjung membacanya. Karena pemuda hitam legam itu sudah dianggap jin.
Lama butuh waktu, untuk mencari surat Zuhail itu. Diobrak-abrik seisi tumpukan kertas diatas lemari.
Teringat kata-kata terakhir Zuhail kepada Karin ketika hendak memberikan surat pagi itu, “Aku tau kau tak mau berbincang, tapi bacalah suratku ini, agar kau tau apa yang sudah dibuat Sulian di Pulau Matan.” Tapi Karin tak hirau. Terlanjur kecewa menganggap Zuhail telah menyabotase suratnya, hingga Sulian tak membalas surat-suratnya lagi.
Sekian lama hidup baru Karin berlansung, barulah sadar, benar-benar ia sudah melupakan Zuhail. Tak teringat sedikit pun, bahkan untuk memberi undangan pesta pernikahan. Barulah setelah ia menemukan surat Zuhail itu, bergegas ia berlari ke rumah Zuhail, mencari dia di mana. Laki-laki itu sudah tak ada lagi. Karin bertanya kepada pawang-pawang di tepi pantai, katanya, “Sudah lama dia pergi, pak cik pun tak tau dia pergi ke mana.”
Lantas, di sudut karang itulah Karin membaca surat Zuhail itu. Tak kalah sendu hatinya pilu dengan sendu semalam. Serasa hancur lebur sudah hatinya!.
***
Perempuan itu berjalan ke ujung dermaga lain, yang tidak ada kapal bersandar di sisinya. Ia duduk, sendiri. Kembali dengan tangis pilu itu, tangis yang menguras banyak tenaga. Terisak-isak, memejam matanya, menunduk, agar air matanya tak menyucur deras.
Tiba-tiba duduklah seorang laki-laki gagah itu di sampingnya. Berdehem. Bermaksud membuat perempuan itu pergi dari dimensi pilunya itu.
Karin mengangkat kepala dan langsung berpaling terkejut!.
Terganti semua rindu yang menumpuk di hatinya, tak terukur dengan tinggi gunung. Ingin meraba tangannya akan wajah laki-laki itu, tapi tertahan. Seolah mimpi, tapi ini benar-benar nyata.
“Kau Zuhail??!!”
Laki-laki hitam legam itu tertawa. Mengusap-ngusap kepala perempuan itu. Membuat bahunya jadi sandaran untuk melepas rindu.
Zuhail dan Karin itu sebenarnya sudah berteman sejak kecil. Teman mengaji di Balee Beut tepatnya. Tergambar-gambar waktu-waktu indah mencari ikan Palatimah, ikan-ikan kecil di bibir muara. Bermain gundu, engklek dan petak umpet. Tapi, semakin dewasa umur mereka, malah terlupa kenangan-kenangan indah itu di kepala Karin. Tapi, di ujung dermaga itu, kenangan itu terkenang kembali.
“Sudah ku baca surat kau, Zuhail. betapalah aku salah sudah acuh tak beralasan. Andainya ada rasa percaya hati ini kepada kau, pasti tak terjadi pernikahanku dengan Sulian.”
Zuhail sudah mendapat kabar dari temannya di kampung. Tau bahwa rumah tangga Karin dengan Sulian sudah runtuh. Diberitakan kabar buruk itu lewat surat oleh teman Zuhail, lantaran sudah kalang kabut Karin mencarinya, juga karena ia sering termenung di tepi dermaga, menunggu kapal Airama membawanya pulang. Temannya bilang, “Sudah pergi Zuhail sebelum pernikahan kau. Dulu pernah aku dikirimi surat. Katanya dia pergi merantau jauh. Kalau lah pulang, tentu dengan kapal Airama.” Itulah jadi alasan, mengapa ribuan senja sudah menjadi temannya.
“Bersabarlah, berserah dirilah kepada Tuhanmu.”
Terisak-isak lagi tangisan Karin. Nasehat seperti itu yang selama ini ia tunggu-tunggu.
Zuhail ingin bilang lagi sesuatu, namun tertahan di pangkal lehernya. Takut membuat luka di hatinya lagi, kerana mengungkit masa silam. Sebenarnya, tuduhan Karin tentang menyabotase suratnya itu tidak benar. Zuhail hanya tertunduk lesu, diam, semata-mata karena kecewa. Bagaimanalah lagi harus dibuktikan ketulusan hatinya untuk membantu orang yang begitu ia kasihi itu. Meskipun harus mengorbankan perasaan sendiri.
Dituduh seperti itu membuat hatinya menjerit, buat ia menunduk, karena harus menutup airmata. Agar tak tampak basah pipinya. Diam karena tak tega mengungkap semua ketulusan yang telah diberikan, agar tak kasihan karin melihat usahanya.
Memanglah sudah puluhan kali surat-surat Zuhail ditolak tak diterima waktu itu. Hingga sampailah waktu di mana ia harus pergi jauh, di sematkan nama Sulian di amplom surat terakhir itu, diletakkan di sisi dalam pagar. Agar kelak surat itu bisa dibaca isinya.
“Kau sudah menikah Zuhail?” tanya Karin lamat-lamat. Sebenarnya ia enggan.
“Berpalinglah ke belakang.” Wajah Karin seketika menoleh. “Itu Fatimah, istriku.” Tangan Zuhail menyahut, mengajak istrinya untuk bergabung. Lantas seorang bocah berlari cepat memeluk pundak ayahnya. “Yang ini Nazyan, warna kulitnya tak sama denganku. ” Zuhail tertawa kecil, juga berusaha membuat Karin ikut tertawa.
Sampailah Isteri Zuhail, di pelataran itu. Duduk di samping dan memeluk Karin erat. Tersibak-sibak airmatanya jatuh. Menanti tempat bersandar, atas semua kesedihan hati yang dirasakannya. Fatimah mengelus-elus pundak Karin, menenangkannya. Setelah dirasa cukup tenang, Fatimah mengajak, “Habis magrib nanti, bagaimana kalau kita makan putu bambu, di pasar metropolitan?”
Tersenyum para jiwa-jiwa indah, di ujung dermaga itu.
_TamaT_


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis dan Bercerita

Pada dasarnya menulis adalah bercerita. Tidak jauh berbeda dengan berbicara. Hanya saja, diksi-diksi yang dikeluarkan itu tidak verbal. Tidak berkontak langsung dengan si pendengar. Karena itu ada kesemuan interaksi di dalam tulisan karena bercerita dengan cara menulis. Namun, karena menulis, suatu cerita jadi abadi. Selagi tulisan itu masih ada, masih bisa dibaca. Bercerita dengan menulis itu sebenarnya tidak buruk. ada orang-orang yang terbata-bata lidahnya ketika mengucap, lantas ia tutupi keterbataannya itu dengan menulis. Sehingga isi atau point yang ingin disampaikannya itu bisa digambarkan dengan jelas. Menulis itu tetap penting, bahkan dalam pengertian islam. Karena al-Qur’an bisa saja lenyap dari dunia ini, bila tidak ditulis. Hadits-hadits yang jumlahnya jutaan, selain dihafal juga ditulis oleh ulama-ulama. Mereka memahami, bahwa hafalan-hafalan yang berada di dalam fikirannya tentu harus diabadikan dalam bentuk tulisan, sehingga bisa digunakan bagi masyarakat awam...

10 Argumen Mengapa Jin Masuk Surga Layaknya Manusia

Berpijak dari nash al-Qur’an yang ramai diketahui oleh segenap muslim mengenai eksistensi manusia dan jin sebagai hamba yang wajib tunduk dan patuh, menyembah Allah swt. Oleh karena itu, sebagaimana manusia, jin juga mendapat perintah dari Allah swt. mereka juga tercakup dalam syariat para nabi dan kejahatan mereka pula layak mendapat hukuman. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka sebagaimana diutus kepada manusia. Semua itu tidak diperselisihkan oleh ulama. Namun, perbedaan pendapat muncul dari pertanyaan, apakah jin akan masuk surga?. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jin akan masuk surga atau pun neraka. Ada juga yang menyatakan bahwa pahala jin yang muslim hanyalah sebagai alat untuk menjauhkannya kepada neraka dan tidak akan masuk surga. Hal ini dikarenakan bahwa surga hanya diperuntukkan untuk Adam a.s. ini adalah pendapat imam abu hanifa rahimahullah wajhah. Para ulama yang menyatakan bahwa jin muslim akan masuk surga berpijak dari 10 argumen y...

Kisah Orang Terakhir yang Masuk Surga

Dari Hadist Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda tentang kisah ini. Rasulullah saw bersabda: Orang yang terakhir masuk surga adalah seseorang yang berjalan di atas shirat al-mustaqim sekali, sedang ia berada di atas jahannam (neraka). dia akan jatuh sekali, dan dia akan terbakar oleh neraka sekali. Kemudian, ia berhasil menyeberang dan diselamatkan dari jurang neraka, ia berkata, “Terpujilah Dia yang telah menyelamatkanku darimu (neraka). Allah Swt. telah memberiku sesuatu yang tak pernah diberikan kepada orang lain selain aku.” Jadi ia menganggap bahwa dirinya sebagai orang yang paling beruntung. Setelah ia melewati shirat al-mustaqim, Allah Swt. menumbuhkan sebuah pohon untuknya. Jadi, ia memohon kepada Allah Swt. agar mendekatkannya kepada pohon tersebut, sehingga ia bisa berada dalam naungannya, ia bisa minum dengan airnya. Lalu, Allah menempatkannya di bawah pohon tersebut. Kemudian, Allah Swt. menumbuhkan po...