
Gurat-gurat senyum, tergambar
di wajah mereka
Tidak sebenarnya, hanya
tampias saja
Sesuatu merundung
Apatah!
Melambai-melambai, ramai telapak
tangan itu
Berikut jari-jemarinya yang
menjunjung
Melepas kepergian
“Selamat tinggal, ku lepas
engkau dibawa angin dermaga”
Sahut-sahut mereka begitu
Hatinya pilu
Bunyi mesin kapal menderu
Seperti ikut dirundung
Karena sebab ia
Reruntuhan airmata ayah dan
ibu bertebaran
Para sanak saudara pula
Dihempas pecah disibak pantai
Nun jauh ke seberang daratan
“Yang dilepas” akan mematuk
rezeki
Di tanah sendiri memang padi
menguning
Tapi mulut mereka dikunci
Dilarang menyuap nasi ke mulut
sendiri
Di daratan ini
Pendidikannya hanya mengaji
Kitab-kitab bahkan sudah lusuh
Tak terhitung berapa kali lembar-lembar
itu dibolak-balik
Tetapi dia pikir
“Pendidikanku tak cukup hanya
mengaji”
Sebab di televisi, punya kedai
kopi
Sebuah pesawat antariksa
dilepas ke ruang angkasa
Robot-robot bergerak seperti
diberi nyawa
Pelajar-pelajar mengkaji kimia
Dia jadi lesu
“di kampungku, itu tidak ada”
Terbayanglah
“Jika kampungku punya pabrik
minyak,
dapatlah dipasang keran ke
dapur Nek Bayan
Jika kampungku punya lab
kimia,
tentu takkan meninggal Cek Uma
karena gula darahnya
Jika kampungku punya pabrik
robot,
tak perlu cupo-cupo turun ke sawah menggendong anaknya
Jika kampungku punya pabrik
pesawat terbang,
akan mudah mak dan ayah pergi
berhaji
si Zul dan Yahya pun ingin ke
palestina, bantu rakyat gaza di sana”
Karena, “yang dilepas” bersama
Teungku Syam
pernah mengaji Kitab Ihya’
Imam al-Ghazali pernah berkata:
“Menuntut ilmu agama adalah
fardhu ain,
Menuntut ilmu dunia itu fardhu
kifayah.”
Lantas dia kritis pada
realitas
“Jika satu kampung tak punya
ahli pesawat
Tak punya ahli kimia
Tak punya ahli kedokteran
Tak punya ahli alam
Tentu berdosalah satu kampung
ini”
Dia punya ambisi
Agar kampung ini, kembali
hebat lagi
Di buritan kapal, “yang
dilepas” menyeringai
memandang jauh ke arah
kerumunan
mencari letak kekasihnya
berdiri
sejak di dermaga tadi, dia sudah
menilik sekeliling
rupanya,
Kekasihnya tak datang melepas ia
pergi
Dia dan kekasihnya
Punya kisah di pelataran
masjid
Di pagar itu
Sahut sapa keduanya bisu
Diurai kata-katanya di atas
kertas putih
Sudah ratusan surat cinta,
diserah-terima
Sebab di saku celananya
tak cukup mahar
Airmatanya jernih lantas jatuh
menggelayut
Belum hilang daratan saja,
hatinya sudah berat rindu
Lalu,
Dimasukkan tangannya ke saku
baju
Secarik kertas ada di dalam
Dibuka amplop itu,
Berisi uang satu gulung
Juga surat cinta dari Fatimah,
Sepotong kalimat terakhir di
surat cinta itu
Membuat dia jatuh berlutut
Meronta-ronta tangisannya
Teringat ibunya bilang tadi
siang
“Pulanglah lekas, sebelum mak
dan ayah meninggal”
Digemgam besi pegangan itu
erat-erat
Mengerang!
Sakit di dalam dadanya
“Cut Abang Balia, janganlah sedih karena
jarak.
Kudoakan mudah urusanmu di
sana
Bila dirasa sudah cukup ilmu
dan mahar
Lekaslah pulang
Sebelum mak dan ayah,
menikahkanku dengan Teungku Saifullah”
Komentar
Posting Komentar