Modern dan kontemporer, sering diartikan sama oleh khalayak umum, padahal, ada partikulasi di dalam keduanya. Bila ditinjau dari sudut pemikiran Arab pasca kebangkitan, biasanya terdapat istilah pemikir modern dan kontemporer. Perlu diketahui, bahwa modern adalah kini yang sudah lewat, namun masih bersifat modern. Sementara kontemporer kekinian atau kini. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa kontemporer sudah tentu modern, namun modern tidak bisa dikatakan kontemporer.
Syahrur, ia adalah salah seorang pemikir Arab kontemporer. berkebangsaan Syiria. Syahrur agaknya salah seorang pemikir yang menolak turats (tradisi). Ia memahami bahwa untuk mendapatkan pesan ketuhanan, warisan tradisi semestinya tidak boleh dipercaya kebenarannya. Umat Islam harus melihat permasalahan tersebut sendiri tanpa meminjam kacamata orang-orang terdahulu.
Berkenaan dengan apakah al-Qur’an adalah turast atau bukan, Syahrur beranggapan bahwa pertanyaan tersebut bersifat dilematis. Seandainya al-Qur’an dianggap sebagai turast, maka dapat dipersepsikan bahwa al-Qur’an merupakan karya Nabi Muhammad Saw dan hanya bersifat terikat dengan konteks arab pada abad ke 7 dan beberapa abad sesudahnya. Apabila memang demikian, maka pesan-pesan dalam al-Qur’an tidak akan sesuai lagi dengan zaman sekarang. Padahal umat muslim meyakini bahwa al-Qur’an bersifat universal dan selaras dengan perkembangan zaman.
Asbabun nuzul menurut Syahrur tidak lebih kurang posisinya dengan nasikh wal mansukh. Kedua ilmu al-Qur’an ini dikhawatirkan olehnya dapat membahayakan sakralitas al-Qur’an itu sendiri. Mengingat bahwa para muhadditsin tidak sepakat bahwa Rasulullah saw mengisyarahkan untuk menyusun ilmu tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.
Mengutip pendapat al-Zarkasyi, “Imam Ali (Ali bin Abi Thalib), pernah menyebut riwayat-riwayat asbabun nuzul dengan sebutan munasabat al-nuzul.” Menurut Syahrur, kedua nama tersebut memiliki perbedaan yang besar bagi para ulama al-Qur’an. Baginya, sikap para tokoh Islam yang beranggapan bahwa al-Qur’an tidak semata-mata turun melainkan ada sebab, merupakan sikap yang tidak sopan kepada Allah swt.
Syahrur berargumen bahwa sebab-sebab yang melatarbelakangi lahirnya ilmu asbabun nuzul adalah: Pertama, adanya penanaman sifat adil dan ma’shum pada sahabat, sehingga apa saja yang diriwayatkan shahabat mengenai asbabun nuzul dianggap sakral dan harus diyakini. Padahal menurutnya, riwayat-riwayat mengenai asbabun nuzul ada yang kualitasnya lemah (dha’if). Kedua, adanya sikap mengunggulkan suatu aliran atau salah seorang sahabat. Ada juga anggapan bahwa salah satu sahabat lebih utama dari sahabat yang lainnya. Ia mengkritisi bahwa dalam kitab-kitab asbabun nuzul, masih terdapat warna-warna persaingan aliran, seperti sunni dan syiah, bahkan hingga sekarang.
Asbabun nuzul, menurutnya, telah mencabut kemutlakan dan universalitas al-Qur’an karena ilmu ini memberi doktrin bahwa pesan-pesan al-Qur’an terikat dengan waktu dan hanya terbatas pada ruang lingkup suatu peristiwa historis. Ini yang menyebabkan Syahrur menganggap bahwa ilmu asbabun nuzul dan nasikh wa al-mansukh tidak tergolong dalam ilmu al-Qur’an, melainkan hanya sebatas historikal biasa. Teks al-Qur’an secara subtansial adalah sakral, hidup dalam segala kondisi dan tidak terbatas pada ruang dan waktu.
Demikian pandangan Syahrur mengenai eksistensi asbabun nuzul dalam dalam ilmu al-Qur’an. Sebenarnya, latar belakang tokoh ini adalah sains, sehingga hal tersebut berpengaruh kuat dalam pemikiran-pemikiran islam yang dikemukakannya. Sikap-sikap empiris, rasional dan ilmiah adalah hal yang dikedepankan dalam pola berpikirnya. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar