Hermeneutika, didefinisikan sebagai seni dan ilmu dalam menafsirkan teks-teks yang mempunyai otoritas, khususnya teks-teks suci seperti al-Qur’an. Ini merupakan sebuah pendekatan yang dapat dikatakan baru dalam dunia penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarahnya, hermeneutika adalah pendekatan-pendekatan yang dicetus oleh barat dan kemudian diadopsi oleh pemikir-pemikir modernis islam dalam menggali nilai aktual dan faktual yang terdapat dalam al-Qur’an.
Pada hakikatnya, hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran, bukan hanya
terdiri dari satu bentuk, melainkan beberapa model dan varian. Adapun
vasiasinya sebagai berikut.
Pertama, hermeneutika ojektif, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh klasik seperti Friedick
Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1813-1911) dan Emilio Betti (1890-1968).
Cara pendekatan model ini adalah memahami teks sebagaimana yang dipahami
pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Friedick Schleiermacher,
adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Dalam hukum Emilio Betti juga disebutkan
bahwa apa yang disebut makna atau tafsiran tidak didasarkan pada apa yang kita
simpulkan melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.
Adapun hal yang harus dilakukan dalam penfasiran model ini ada dua cara
yaitu, pertama, lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau
lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini
merujuk kepada konsep teks. Friedick Schleiermacher menyatakan bahwa setiap
teks memiliki dua sisi, yaitu, pertama, sisi linguistik yang
memungkinkan proses memahami menjadi mungkin, kedua, sisi psikologis
yang ditunjukkan dari isi pikiran pengarang yang termanifestasi melalui gaya bahasa
yang diungkapkan. Friedick dalam memahami suatu teks lebih cenderung
mendahulukan sisi linguistik dari pada sisi psikologis, meski ia juga
mengungkapkan bahwa keduanya bisa digunakan sesuai dengan keinginan penafsir.
Selanjutnya, untuk dapat memahami maksud pengarang, penafsir diajak untuk
keluar dari tradisinya dan masuk dalam tradisi dimana si pengarang hidup, atau
setidaknya, ia harus bisa membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu.
Kedua,
hermeneutika subjektif. Model ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern, seperti
hans George Gadamer (1990-2002) dan Jasques Derida (1930). Menurut model ini,
heremeneutika bukan usaha untuk menemukan isi pikiran yang dituangkan
pengarang, melainkan memahami apa yang tertera dalam teks. Penekanan mereka
tertumpu pada isi teks dengan mengabaikan ide awal si pengarang. Model ini
berpandangan bahwa teks dapat ditafsirkan oleh siapa pun dan bersifat terbuka.
Menurut Gamader, seseorang tidak harus keluar dari tradisinya untuk
memahami suatu teks, karena hal tersebut dipandang tidak mungkin. Hal tersebut
menyebabkan kematian pikiran dan buntunya kreatifitas penafsir jika menganggap
bahwa teks memiliki makna yang instruktif. Oleh karena itu, pemahaman dalam
penafsiran harus berpatron pada isi teks dan mengamsumsikan bahwa pengarang
sudah “mati” dan tidak menginggalkan kesan-kesan yang dapat mempengaruhi
penafsir.
Ketiga,
hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer,
seperti Hasan Hanafi (1935) dan Farid Esack (1959). Pada dasarnya, hermeneutika
model ini merujuk pada model subjektif. Namun, menurut tokoh model ketiga ini,
hermeneutika bukan hanya sebuah proses penafsiran dan pemahaman, tapi lebih
dari itu, yaitu aksi.
Hanafi berpendapat bahwa, kaitannya dengan al-Qur’an bahwa hermeneutika
adalah sebuah ilmu tentang proses wahyu, dimulai dari huruf hingga kenyataan,
dari logos sampai praktis dan juga tranformasi wahyu, dari pikiran Tuhan hingga
kepada kehidupan manusia. Menurutnya, hermeuneutika berada di tingkat kedua. Di
tingkat pertama adalah keaslian sejarah. Pendekatan ini tidak akan berarti jika
teks yang dikaji bersifat palsu dan tidak benar.
Ia kembali menyebutkan bahwa hermeneutika dengan kaintannya terhadap
al-Qur’an adalah, pertama, kritik historis. Menurutnya, keaslian sejarah
tidak ditentukan oleh pemuka agama, lembaga sejarah, atau oleh keyakinan,
melainkan harus didasarkan dari objektivitas sendiri, yang lepas dari
intervensi teologis, filosofis, mistis atau bahkan fenomenologis.
Untuk menjamin keaslian suatu teks suci, hanafi mematok aturan-aturan
khusus, pertama, teks harus ditulis pada saat pengucapannya dan tidak ada jeda
pengalihan lisan antara keduanya, artinya, teks harus ditulis secara in
verbatim (persis sama dengan apa yang diucapkan pertama kali). Kedua, adanya
keutuhan teks. Semua yang disampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan
dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang dikurangi dan dilebihkan. Ketiga, nabi
atau malaikat harus bersifat netral. Hanya sebagai media komunikasi tuhan
kepada manusia.
Jika sebuah teks telah melewati hal yang demikian, maka dapat dinilai asli
dan sempurna. Hanafi menilai bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya teks yang in
verbatim yang dapat diyakini keasliannya dan utuh.
Kedua,
proses pemahaman terhadap teks. Hanafi menyebutkan bahwa 1) penafsir harus
bersikap netral dalam memahami teks al-Qur’an, melepaskan diri dari
dogma/doktrin yang berkembang di benaknya. Ia harus bisa bertabula rasa untuk
menetralkan dirinya dari pengaruh-pengaruh tersebut dan Instrumen Yang
digunakan hanyalah alat-alat analisa linguistik. 2) setiap fase dalam teks,
al-Qur’an diturunkan secara bertahap sehingga dalam aplikasinya mengalami
perkembangan. Sifat ini harus dipahami secara komprehensif yang dapat berdiri
sendiri. Masing-masing harus dimengerti dan dipahami dalam kesatuannya, dalam
keutuhannya dan dalam intisarinya.
Ketiga,
kritik praksis. Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan
argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi
dalam suatu tindakan. Suatu penafsiran akan dianggap positif dan bermakna jika
dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar fakta-fakta material. Pesan
dari tahap ketiga ini adalah hasil dari interpretasi terhadap suatu teks dapat
diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Maka, betapa pun hebat hasil penafsiran
yang dilakukan jika tidak dapat diaplikasikan, maka itu sama saja tidak
menghasilkan apa-apa.
Komentar
Posting Komentar