
** 1 **
Kampus Kumuh
Di lantai tiga, ada empat ruangan yang berjejer dengan masing-masing dua daun pintu. Cat dindingnya mulai lapuk dan terkelupas. Kursi senyawa meja tampak berserakan di dalam ruang. Banyak guratan stip-X di atasnya, bahkan di dinding. Kebanyakan tentang pernyataan cinta, konsep jawaban untuk ujian final sampai pola gambar tak jelas. seperti ekspresi dari rasa bosan, renungan buram dan hal rumit lainnya.
Sepanjang lorongnya berserakan sampah. Kertas-kertas yang diremas padat, bungkus makanan, sampai puntung rokok. Belum lagi beratus helaian daun kering yang terbang dibawa angin. Suasananya tidak bagus, bahkan terasa mistis kala sinar senja mulai menyingsing.
Itu kampus Ajar. Walaupun seperti rumah sakit jiwa. Bukan. Bahkan rumah sakit jiwa tidak seperti itu. Namun dengan serta merta harus diterima. Coretan nakal para mahasiswa di dinding dan kursi meja adalah seni lukis langka yang tidak pernah ditemukan di tempat manapun. Kertas yang diremuk padat dan ditebar di lantai bisa jadi bunga putih yang terhempas secara acak. Hanya saja, perlu sedikit warna untuk membuatnya lebih indah. Dan, sempurna!
“Aku turun duluan, kau bereskan absen si norman dan isi materinya dengan tanggal yang benar. Jangan sampai dia meradang karena salah kau isi seperti semester lalu, gam_ *” Riuh terburu-buru.
Riuh adalah seorang petani sawah. Ia tidak akan pernah tenang saat sedang musim panen. Apakah itu panen di sawahnya, atau di sawah orang lain. Dia pernah berkata bangga, “Selagi itu menghasilkan, untuk apa malu meskipun dipermalukan.”
Kali ini musim panen sedang mendulang di kampungnya. Berarti, tidak ada jam belajar full untuknya hari ini, begitu juga hari-hari yang berikutnya.
“Hei, mau kemana kau, gam!”, ini macam mana?”
“Tak usah kau takutkan, dia suruh aku untuk kasikan absen dosen ini untuk kau. Dia bilang, isikan yang benar, kalau tidak kau tak lulus mata kuliahnya.”
“dia tak kasi materi apa-apa kepada kau?”
“Tak, tadi aku lewat di depan kedai runcit, dia sedang mesra sama istrinya berbelanja pagi. Ku liat, keningnya mengerut, seperti orang takut.” Riuh mulai tertawa dan langsung menuruni anak tangga.
Ajar masuk dan mengumumkan pagi ini tidak ada kuliah. Serontak suara gemuruh riang bergema. Seperti mendapat angin segar di kelas kumuh itu. Dalam hitungan detik, teman-temannya beranjak pergi dan berdesak-desakan di pintu. Daun Pintu itu sengaja dibuka satu, hanya untuk merasakan sensasi berdesak-desakan. Konyol memang, tapi itu pemandangan biasa. Seperti mendarah daging. Hanya butuh script dan casting serta pencahayaan yang baik untuk membuat kebiasaan itu menjadi sebuah pertunjukan seni teater kolosal.
** 2¬ **
Ajar
Ajar, ia pendiam dan pemurung. Bukan. Maksudnya tidak seperti pemurung yang tampak di video klip lagu sedih. Ia hanya tidak tertawa ketika teman-temannya tertawa. Wajahnya kaku. Tidak ada raut sedih dan senang. Seperti manusia tanpa saraf respon. Tidak ada gerakan alis, tidak ada pipi yang mengembang atau mengempis, tidak ada suara keras dan segenap ketiadaan lainnya. matanya yang menatap hanya seperti itu saja. Kosong. Seperti mata ikan asin.
Tidak ada hal yang istimewa dari Ajar. Ia tidak terkenal seperti Riuh yang setiap hari meloncat tak kenal lelah. Siulan khas yang dicuitkan ketika para perempuan datang dengan alis mata yang naik turun. Perempuan mana yang tidak tertawa melihatnya selalu melakukan itu. Setiap kali “pancingannya” digigit, ketika itu juga ia mengatakan kepada Ajar, “Amboi jar, tak nak kau macam aku?”
Ajar juga sering jadi cemoohan, katakan saja seperti Pak Norman, selalu mengatakan, “jadi lah kalian macam si Ajar tu, macam orang bisu kah pakak kah, kita suruh buat A dia buat B.” Meskipun ditertawakan oleh beberapa dosen dan temannya. Ajar tetaplah Ajar.
** 3 **
Checkpoint dan Keberkahan Rezeki
Subuh menjelang pagi. Langit belum begitu terang. Kendaraan yang berlalu lalang di jalan juga masih sepi. Para tupai pun masih berani berlarian di kabel telpon sepagi itu. Tanah di pinggir jalan masih lembab karena embun semalam. Suasana itu yang terus di lihatnya, sambil mengayuh sepeda bututnya yang berkeranjang depan. Selalu ada suara denyit di setiap kayuhan. Padahal ia sudah menyiramkan banyak oli bekas di poros kayuhan itu agar tidak berbunyi. Tidak ada nyanyian pagi, tidak ada tolehan pandangan yang berarti, hanya kayuhan sepeda yang bersahut sapa. Pelan dan mengasyikkan.
Ajar harus menempuh jarak 21 Km untuk sampai ke kampusnya. Satu demi satu tempat singgahan dilaluinya. Ia melabelkan tempat itu dengan sebutan checkpoint. Suatu tempat yang sebenarnya adalah rumah relatif mewah, warung kopi, kios dan kantin. Ia seorang loper korang.
Surat kabar itu selalu ia antarkan setiap pagi. Beberapa tempat sudah menjadi langganan. Namun tidak sedikit pula yang membeli harian. Suara uang koin yang jatuh di tangan saat di beri adalah hal yang biasa. Begitu pula saat kakinya naik turun mengayuh sepeda. Koin-koin itu saling beradu di saku celana. Terkadang sakunya jadi membengkak. Karena pembeli lebih suka memberi uang receh pada loper koran itu. Terkadang juga uang putus. Uang yang semestinya mempunyai harga seribu, namun angkanya menjadi seratus. Kadang pula ada yang hutang untuk harga 3000 rupiah, padahal sekelas warung kopi.
Ia bukan seorang penuntut. Meskipun juga, ia tidak mendapatkan untung di hari itu, bahkan rugi. Tidak ada suara protes. Tidak membuat ribut. Hanya diam saja manakala ia ditipu. Lantas ini yang membuat para pelanggan menaiki kepalanya. Pernah dalam beberapa minggu, ia rugi selalu. Jumlah modal yang harus disetor ke pemasok tidak cukup. Acap kali ia dimarahi, dikatakan bodoh, dungu, goblok dan sebagainya, baik dengan kata kasar, sering juga dengan tawa cemoohan.
Karena itu, ada semacam 2 keranjang yang dibalut dengan karung beras. Tepatnya di bangku belakang sepeda. Setiap kali ia melihat botol mineral, atau kaleng bekas di pinggir jalan, ia memungutnya. Keranjang sebelah kanan, ia memasukkan botol dan kaleng tersebut. Sementara keranjang sebelah kiri, adalah sampah-sampah yang ia pungut di sekitar tempat botol air mineral dan kaleng bekas itu dibuang.
Inilah inisiatif bila ketika rutinitas paginya tidak membawa laba atau sedang rugi. Seraya membersihkan lingkungan sebisa mungkin untuk mengharapkan keberkahan rezeki. Ia bisa mengganjal kerugiannya dengan menjual barang pungutan itu ke gudang pembeli sampah sejenis itu. Walau hanya sedikit, setidaknya dapat menutupi atau mengurangi kekurangan setoran.
Selalu seperti itu setiap pagi. Seperti mesin yang tak pernah berhenti. Tidak ada kelelahan, malu bahkan minder. Semuanya dilakukan sejauh itu masih benar dan wajar. Mengantar koran dan memungut sampah di pinggir jalan, mungkin sebuah kewajaran menurutnya.
** 4 **
Ada Sesuatu di Lubang Pembuangan Sampah
Pagi-pagi sekali, suasana kampus menjadi hingar bingar. Suara check sound terus menggema, tak seperti hari-hari biasa. Suaranya bahkan sampai ke simpang, jalan masuk kampus. Ajar yang baru mau sampai, menoleh ke arah kampusnya dari pinggir jalan. Rutinitas setahun sekali. Saat calon mahasiswa baru berkumpul untuk mengikuti kegiatan orientasi.
Ia sampai dan memarkir, namun bukan di tempat parkir. Ajar membawanya ke belakang gedung kampus dekat kantin. Tidak jauh dari tempat pembakaran sampah. Dulu pernah ada orang yang menaikkan sepedanya ke pohon. Ada juga yang menjungkirkan sepedanya dengan setang ke bawah dan roda ke atas. Entah itu ejekan, atau keisengan semata. Hal itu terjadi berkali-kali dan terus ia tangani berkali-kali pula. Tanpa bertanya, tanpa mencari tau, tanpa mengeluh dan segenap ke-tanpa-an lainnya.
Pernah suatu ketika, sepedanya yang diparkirkan di tempat parkir itu hilang. Ia melihat ke pohon dan sekeliling parkiran, terus mencari. Beberapa orang ia tanyai. “Liatkah kau sepedaku, gam?”, Beberapa dari mereka tidak tau, ada pula yang tertawa geli.
Di sanalah sepeda itu disembunyikan. Belakang gedung belajar kampus. Tepatnya lokasi pembakaran sampah. Sebuah lubang dengan diameter yang luas. Sepedanya dilempar ke lubang sampah itu. Memang kejam. Ia mencoba menariknya ke pinggir mengambil kayu karena lubang itu masih panas karena tumpukan sampah yang baru dibakar tadi pagi. Lama, sampai peluhnya bercururan.
Ketika sepedanya berhasil diangkat dari lubang itu, kondisinya buruk. Ban-nya bocor karena terbakar. Bangku duduk depan dan belakangnya pun cacat. Busanya hangus dimakan api sampai besi tulangnya tampak. Lantas ia mengambil se-ember air dan mendinginkannya.
Sepeda itu selalu membawanya setiap hari. Namun hari itu menjadi terbalik. Sejauh 21 Km, Ia berjalan bisu menggiring sepedanya. Semenjak itu pula, lahan parkiran menjadi tempat yang tidak aman. Dan gedung belakang kampus adalah tempat yang layak. Sejauh sepedanya di sana, perlakuan zalim itu tidak pernah terjadi lagi. Sampai itu menjadi salah satu rutinitas pagi, sebelum masuk perkuliahan.
** 5 **
Ditabrak
Merubah setelan dan menghempas debu jalan yang tersangkut di bajunya, ia bersiap untuk keluar dari balik layar. Langkahnya pelan tanpa suara detupan. Hanya sepatu apek, sejenis sepatu shaoilin. Terbuat dari kain tebal yang mudah untuk dicuci dan dikeringkan. Sampai Ia dijuluki misdirection oleh mahasiswa jurusan bahasa inggris karena muncul dari belakang dengan tiba-tiba tanpa hawa keberadaan.
Dalam sekejap halaman kampus menjadi putih. Para calon mahasiswa dengan topi kerucut dan tas goni bergegas merapat membuat barisan. Suara-suara lantang keluar dari speaker dengan nada menggertak. “Kalau kau semua tak merapat, ingatlah benar-benar bila seniormu meradang!!.” Tidak ada calon mahasiswa yang berjalan santai pagi itu. semuanya bergegas seperti kerumunan sapi putih yang dihalau gembala untuk masuk ke kandang.
Ajar berjalan pelan di lorong teras depan kampus. Wajahnya terus memaling ke arah lapangan tengah. Melihat keriuhan itu dengan terus berjalan. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derapan langkah cepat. Tarikan nafas terkejut melejit dari tenggorokan. “hakkk!!” Ia ditabrak seorang perempuan berkacamata, tanpa sempat menoleh ke belakang. Itu tabrakan yang kuat. Keduanya terhempas dan jatuh. Lalu, pelan-pelan Ajar bangkit dan menepuk abu lantai di celana dan bajunya. Ia melihat perempuan itu yang masih terduduk, tanpa mengucapkan satu kata pun. Lalu Ajar beranjak pergi dan tak menoleh ke belakang.
** 6 **
Wahai Layang-Layang
Ajar telah yatim 10 tahun lalu. Kemudian piatu 4 tahun setelahnya. Ia anak semata wayang. Sebenarnya, Ajar punya kakak. Namun mereka tidak pernah berjumpa. 3 bulan setelah lahir, kakaknya telah meninggal dunia. Itu sebabnya ia begitu disayang. Kehidupan keluarganya berubah Pasca ayahnya meninggal dunia. Ibunya mulai sakit-sakitan sejak saat itu. Tidak ada sosok yang menjadi tulang punggung keluarga. Hidup dengan apa adanya. Tidak ada lauk ikan setiap hari, tidak ada pakaian baru, bahkan dunia kecilnya pun ikut menghilang. Anak itu putus sekolah.
Di umur 11 tahun, ia sudah mengupah ke sawah dan kebanjiran jam kerja. Merapikan pematang sawah seluas 1.600 m2 hanya dihargai 40.000 rupiah. Mencabut rumput setengah hari 15.000 rupiah. Memanen padi hingga proses perontokan, ia hanya diberi padi seperempat karung. Sudah barang tentu para petani itu lebih suka mempekerjakannya dari pada orang lain. Memang ada yang iba dengan memberi upah lebih, tapi itu sedikit.
Selama itulah, Ajar harus merawat ibunya dan mencari beras. Ibunya meninggal saat ia sedang tidak berada di rumah karena meladang di kebun orang. Ketika itu, ia pulang sore hari dan langsung memasak, menyiapkan makanan untuk ibunya. Sempat beberapa kali Ajar membangunkan ibunya yang sudah tiada. Ia tetap tidak memaksa karena mungkin ibunya sedang tertidur pulas.
Jam 10 malam sudah berlalu beberapa menit, sedang ia masih duduk menunggu ibunya bangun. Nasi dengan lauk minyak dan ikan asin itu sudah dihinggapi lalat berkali-kali. Selama itu pun ia belum sadar. Jam 12, ia kembali menggoyangkan tubuh ibunya. Sampai rasa kantuk mendera. Ajar tidur di samping ibunya. Ia memegang tangan ibunya yang dingin, dan memeluknya sampai esok.
Usai shalat subuh, ia baru menyadari bahwa ibunya sudah tiada. Biasanya, ibu Ajar sudah bangun untuk berwudhu’ dan shalat. Subuh ini tidak demikian. Ia langsung bergegas ke rumah tetangganya yang jauh di seberang kebun, untuk mencari bantuan. Lalu, Ibunya disemayamkan siang itu juga.
Doa-doa dipanjatkan dengan kusyu’ di pusara. Seorang demi seorang beranjak pulang dari lahan pemakaman. Ajar masih di sana dan membaca beberapa doa. Lantas Datuk_ ) mengelus kepalanya dan mengangkatnya bangun untuk pulang. Langkah setapak membawa mereka semakin jauh. Sedang matanya tetap menoleh ke belakang, melihat ibunya yang telah beristirahat sendirian di sana.
Datuk mengajaknya untuk pulang ke kediamannya. Namun Ajar tidak mau dan hanya ingin pulang ke rumahnya sendiri. Ia langsung beranjak dan berjalan setapak tanpa berkata banyak. Di bawah sebuah pohon, ia duduk merangkul lutut sambil melihat bocah-bocah bermain layang di pelantaran sawah, bersama ayah mereka. Sejenak ia menengadah ke atas, melihat layang-layang yang mengambang lepas. Lalu air matanya pun jatuh dengan segera.
** 7 **
Karena Dia Cantik...
Perempuan itu melihatnya aneh. Itu bukan sikap manusia normal. Semestinya ada reaksi jika seseorang ditabrak orang lain. Bisa saja marah atau memaki, bisa juga menanyakan keadaan dan menunggu ia bangun. Tapi sikapnya terlalu dingin. Tak terpahamkan.
Perempuan itu bergegas bangun dan merapat ke barisan. Ia sudah telat. Para senior dengan congkaknya membentak keras. Bahkan orang tua perempuan itu tidak pernah bersikap demikian.
“Pincang kaki kau, neung_ )?”
“tak bang”
Lalu semua senior berkumpul berdiri di hadapannya. Seperti kerumunan Heina yang mendapatkan anak rusa.
“Siapa nama kau, neung?”
“Cut Alya Syah Alam.”
“Prodimu!!??”
“Mahasiswa Fakultas Dakwah program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.”
“Kau calon, neung!!!, siapa yang cakap kau mahasiswa!!!???”
“Calon Mahasiswa Fakultas Dakwah program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.”
“Kenapa kau terlambat, apa pasal!!?”
“Tadi, bila saya nak ke sini, saya ditabrak orang dan terjatuh kat sana.”
“Kenapa jatuh, pincang kau, !??” bahasanya mulai tak enak.
“Saya ditabrak seseorang kat sana, bang.” Alya meyakinkan mereka.
Penjelasan Alya mulai tak di dengar, dianggap alibi. Ketua ospek itu menyuruhnya untuk mencari laki-laki itu sebagai pembuktian bahwa Alya benar-benar jatuh karena ditabrak olehnya. Lalu, Alya bergegas untuk mencarinya. Belum sampai beberapa meter. Langkah cepatnya berhenti. Mahasiswa otoriter itu kembali meradang dan meneriaki dengan keras kenapa ia berhenti. Lantas, Alya pun menunjuk Ajar yang sedang duduk mengelus seekor kucing.
Ajar di panggil oleh mereka, panitia ospek itu. Mereka seniornya. Ia berjalan dan mendekat. Berdiri di hadapan calon mahasiswa baru. Itu seharusnya memalukan. Sang ketua mulai menanyakan perkara itu, dimulai dengan intonasi lembut.
“Gam, apa benar kau menabraknya?”
Ajar hanya diam dan melihat Alya untuk kedua kalinya.
“Gam!!, benar kau menabrak adek ini!?” suaranya kembali mengasar.
Ajar tetap diam dan mulai memandang mata sang ketua. Merasa malu diacuhkan di depan para senior mudanya, Sang ketua pun mulai memperbaiki martabatnya.
“Sebut nama kau dan Turun, 25 kali!!”
Seketika itu pula, Ajar langsung tengkurap dan push-up. 25 kali dengan menyebut namanya sebanyak itu pula. Diselesaikan tidak lebih dari satu menit. Lalu ia bangun kembali dan membersihkan telapak tangannya.
“Turun kau, neung, 15 kali. 10 kali untuk terlambat, 5 kali karena berbohong.”
Alya terkejut. Ia bahkan tidak pernah tengkurap naik turun seperti itu. Alya melihat ke arah Ajar dan matanya berkaca.
“Turun,!!! Pakak kau, neung??!!”
Alya mulai jongkok dengan pelan dan menapak tangannya di lantai.
“Aku menabraknya kat sana, dia sedang bergegas untuk berkumpul kat sini.!” Ajar cepat mengomentari.
“Kenapa kau menabraknya?” pertanyaan itu halus namun bernuansa ancaman.
“Karena dia cantik.” Sahutnya sambil melihat ke arah Alya.
Seketika, tawa para calon mahasiswa membahana ke seluruh penjuru kampus. Sang ketua meringis marah dengan wajah merah. Ajar, dia tidak banyak berbicara dan mulai turun menggantikan push up Alya. 15 kali sesi pertama. 15 kali sebagai denda dan 15 kali lagi sebagai bunga. Seperti bunga tabungan di bank. Konsep riba dalam hukuman.
Alya. Ia hanya tertegun. Wajahnya memerah. Di 5 kali push-up terakhir. Ajar melihat wajahnya untuk ketiga kali. Dia memang cantik.
** 8 **
Kegusaran
Cut Alya, rumahnya tidak jauh dari perguruan tinggi tempat ia belajar. Sebenarnya kampus itu bukan pilihan utamanya. Masih banyak kampus lain yang lebih bagus dan berkelas. Tapi orang tuanya menghendaki demikian. Siapa yang ingin masuk ke kampus yang tidak terkenal itu.? tidak untuk para remaja kota setempat. Hanya orang-orang kampung, dan sedikit kalangan menengah ke atas. Mungkin orang-orang elit itu takut anaknya jauh dari mereka. Termasuk orang tua Cut Alya Syah Alam.
Gusar memang melihat pemandangan yang tidak biasanya. Sekolah Alya dulu di kota, Suasananya selalu riuh. Teman-temannya berpakaian bagus dengan trend masa kini. Fasilitas sekolah lengkap, Aula, ruang belajar AC dilengkapi projector. Lapangan olah raga yang layak. Toilet yang mewah serta kelebihan lainnya. Dan itu berbeda dengan perguruan tingginya sekarang. Berbanding terbalik 180 derajat.
Ia sebenarnya risih dan harus beradabtasi. Dengan kualitas fasilitas kampus seperti itu, dengan teman-teman yang cenderung tak seperti biasanya. Seperti Ajar. Beda sekali dan sedikit aneh. Sejak hari itu, Ajar menjadi orang yang paling berkesan di benaknya.
** 9 **
Norman yang Mengamuk
“Ajaarrr...!!! Ke mari kau!!??” Pak Norman berteriak dari jauh.
“Gam, aku tak berurusan dengan ini ya, kau saja.” Riuh pergi meninggalkannya.
Ajar berjalan pelan dan menghampiri. Pak norman kali ini mengamuk melihatnya. Tangan Ajar ditarik dan dibawa ke belakang gedung kampus.
“Sengaja kau salahkan absenku, supaya aku di marahi, iya!” Nada suaranya geram dengan suara pelan agar orang di sekitaran itu tidak mendengarnya.
“Pak, saya sudah mengisinya dengan betul.”
“Kau liat ini, kau liat ini..!!!” Pak norman menyelakan absen dosen itu ke wajahnya sambil menoleh ke belakang beberapa kali.
“Ini dirubah orang pak. Terstip-ex.” Jawabannya tidak tinggi, namun juga tidak takut.
“Kau tau dekan tua itu, memaki ku karena itu, bisa-bisa aku dipecat gara-gara kau.”
Ajar acuh lalu pergi. Dia tidak mau menjawab dan meladeninya. Pak Norman semakin marah. Ajar mengambil sepeda dan menaikinya.
Setelah ia benar-benar sempurna bersela di bangku sepedanya, Ajar memberi penjelasan terakhir. “Pak, saya tidak mengubah absen itu, liatlah tulisannya. Itu bukan tulisan saya.” Seketika itu pula, ia pun mengayuh meninggalkan kampus itu. pulang ke rumah dan menenangkan diri di sana.
Sebelum Ajar meninggalkan gerbang. Alya melihatnya dari jauh. Tapi di sebelah sana, juga ada seorang perempuan yang melihatnya dari jauh. Mereka berdua memandang Ajar. Lantas setelah Ajar menghilang. Kedua perempuan itu saling memandang. Namanya Amina. Ia langsung berjalan menghampiri Alya.
“Aku tau kau punya kesan kepadanya, neung. Aku tau masa kejadian ospek 2 minggu lalu. Tapi kau tidak bisa mendekatinya. Menjauhlah. Dia tidak akan memperdulikan.”
“Kakak cakap apa?, Aku cuma melihatnya.”
** 10 **
Barangkali Aku Sudah Gila
Aku juga pernah merasakan kesan seperti kau. Tapi pria itu berbeda dan sakit jiwa. Dia pernah membantukku saat jatuh diserempet orang di jalan. Ia membangunkan sepeda motorku, membantuku bangun dan memberesi barang-barangku yang jatuh. Hanya melihatku sekali. Dan langsung pergi. bahkan tidak bersuara. Awalnya kupikir ia bisu.
Aku pernah mendekatinya beberapa kali. Semakin aku mengejarnya, semakin ia jauh. Suatu kali aku tak tahan dan mengatakan cinta kepadanya di depan orang banyak. Ia hanya melihat dan meninggalkanku pergi. Sejak hari itu, aku jadi meradang dan dendam. Ku suruh temanku, Riuh untuk menyangkutkan sepedanya ke pohon dan itu terjadi beberapa kali. Pernah juga sepedanya ku buang ke lubang pembakaran sampah. Bahkan dia tidak marah dan mencari tau. Barusan dia pulang karena Pak Norman geram kepadanya. Aku yang mengubah absennya. Ia pasti sudah dimarahi besar. Jangan kau terjebak dalam diamnya, neung. Dia akan membuatmu hanyut dan sakit hati.
Kalimat itu berdenging di telinga Alya. “Sesakit itukah hati seseorang hanya karena hal demikian.”
Amina di ajak duduk dan Alya mulai menghapus air matanya. “Kak, kau semestinya tak harus melakukan itu. Ia seperti itu bukan karena keinginannya. Kau telah berbuat tidak baik kepadanya kak. Mintalah maaf. Dia akan memaafkanmu. Sungguh aku mengenalnya,”
“Aku barangkali sudah gila.” Tangisan Amina kemudian menderas.
** 11 **
Kayuhan Tak Sempurna
Subuh menjelang pagi. Ajar kembali mengayuh sepedanya dan membawa setumpuk koran. Seperti biasanya. Satu demi satu checkpoint itu di singgahi. Gemerincing recehan yang jatuh di tangan dan beradu di saku celana juga terjadi beberapa kali.
Salah satu langganannya. Rumah besar dengan pagar tinggi. Ia tidak masuk dan hanya menyelipkan surat kabar itu di sela pagar. Seperti itu setiap pagi. Namun, pagi ini berbeda. Suara seorang perempuan menyeru namanya dari balik pagar. Bang Ajar. . .
Ajar hanya diam dan melihatnya lagi untuk keempat kali. Lalu sepedanya dikayuh dan pergi. Dari balik pagar, alya melihatnya berlalu. Ia memperhatikan kaki Ajar berhayun. Kayuhannya tidak sempurna seperti arah rotasi. Jika sekali putaran dayung bernilai 10, maka ia hanya mendayungnya sampai nilai 9, menarik kayuhannya sedikit ke belakang dan kembali mendayungnya dari nilai 1 dan ke nilai 9 lagi. Begitu seterusnya, sampai ia sampai ke kampus. Alya tau kalau ada masalah di sepedanya. Jika kayuhan itu dikayuh penuh, maka rantai sepedanya pasti akan jatuh.
Selama beberapa hari, Hal itu terus terjadi. Memanggil dari balik pagar dan ia dilihat Ajar untuk kelima, keenam, ketujuh kali dan kali selanjutnya. Tidak ada yang berubah.
Suatu pagi di kampus, Alya membawa seseorang untuk mengambil sepeda Ajar yang diparkir di belakang sekolah. Sepeda itu kemudian diangkat dan dibawa pergi. Ketika perkuliahan selesai dan Ajar hendak beranjak pulang, ia tidak melihat sepedanya di sana. Lantas pencariannya pun dilakukan. Di mulia dari lubang sampah, tanpa berpikir panjang. Ia mengaisnya dengan kayu dan tidak menemukannya di sana. Ajar bergegas ke depan dan berniat untuk menyisir seluruh bagian kampus. Dan ketika ia sampai di lorong depan, Alya berdiri di halaman depan dan melihatnya. “bang Ajar...” demikian alya memanggilnya lagi seperti tadi pagi dan beberapa hari sebelumnya. Ia melihat perempuan itu untuk yang ke-15 kalinya. Dengan pelan, Ajar menghampirinya.
“Kau melihat sepedaku, neung?”
Wajah Alya memerah. Itu komunikasi pertama setelah sekian lama. ia gerogi dengan menekan jari-jari tangannya untuk menenangkan diri.
“Bang, kita duduk di sana.?”
“Kau melihat sepedaku.?
“Ya, sebentar lagi sampai. Abang tunggulah sekejab.”
Ajar duduk menunggu di sebuah bangku duduk halaman depan. Sementara Alya langsung menelpon seseorang dan sebuah mobil pick-up datang kemudian menurunkan sepedanya. Ajar tidak bangun dari tempat duduknya. Sampai supir mobil itu pergi setelah alya memberinya sedikit uang.
“Terimakasih.” Ajar mengucapkan dan langsung beranjak naik ke sepedannya.
“Kembali kasih.” Sebuah balasan kata yang tidak didengarkan Ajar sama sekali karena ia telah jauh. Alya melihat kayuhannya. Itu kayuhan sempurna.
Keesokan pagi. Alya kembali menunggu di balik pagar rumahnya. Kemudian Ajar datang, turun dan hendak menyelipkan surat kabar di sela pagar. Sebuah tangan cantik terjulur dari jeruji pagar itu. Kali ini ia menyerahkannya langsung tanpa harus menyelipkan koran itu di sela pagar. Tidak berlama-lama, Ajar langsung bergegas pergi. Dari balik pagar itu juga alya memperhatikannya dari jauh. Melihat kayuhannya. Putaran dengan nilai 1-9 lagi. Padahal kemarin, sepedanya sudah diperbaiki ke bengkel oleh Alya. Heran.
** 12 **
Teman kecil...
Alya memang mengenal Ajar. Dulu ia adalah teman bermainnya. Ia benar-benar ingat ketika masih bocah dulu, mereka bermain bersama dengan segenap keceriaan. Kala itu mereka masih kecil, sebelum alya bersekolah. Ia bocah dulu yang pernah diajaknya bermain masak-masak-an. Wajahnya mirip, belum lagi sepeda itu yang sama sekali tidak berubah.
Dulu ayah Ajar bekerja sebagai tukang kebun di rumah Teuku Danish Alam Syah, ayah Alya. Ajar setiap hari di bawa oleh ayahnya. Namun, kebersamaan mereka hanya berlangsung beberapa bulan. Ayah Ajar sudah tidak lagi bekerja di sana karena suatu sebab. Sampai saat itulah mereka tidak berjumpa lagi. Namun, Alya masih mengenalnya dengan pasti.
Dulu, Setiap pagi ketika Alya diantar ke sekolah oleh ayahnya, Ia hampir selalu melihat Ajar mengayuh sepeda dari balik kaca mobil. Sempat beberapa kali juga, ia menanyakan pendapat ayahya tentang Ajar ketika ia tampak di pinggir jalan. Ayahnya bilang, itu memang anak tukang kebun itu.
Ajar yang dulu dan sekarang telah jauh berbeda. Kenapa? Pertanyaan itu yang acap kali muncul ketika Alya mengingatnya. Dulu, dengan senyuman penuh ia menanggapi semua komentar Alya. Sekarang, bahkan tidak sama sekali.
** 13 **
Kau mengenalku?
Subuh menjelang pagi, untuk kesekian kali. Alya tidak lagi berdiri di balik pagar. Ia berdiri di luar menunggunya. Di waktu yang sama seperti hari-hari kemarin, Ajar mulai tampak dari jauh. Suara denyitan kayuhan itu pun mulai terdengar semakin besar. Ajar tidak turun, hanya meraba surat kabar di keranjang depan, dan mengambil selembar koran kemudian menyerahkannya. Ajar mengerti bahwa ia tidak harus turun karena Alya berdiri di sana. Alya kemudian mengambil dan menaruhnya di sela pagar. Dengan spontan ia langsung duduk di bangku belakang sepeda. Posisinya menghadap ke belakang dengan kaki terbujur ke bawah. 2 keranjang itu menghalanginya untuk duduk menyamping. Lalu Ajar melihat ke belakang. Itu posisi duduk yang tidak normal. Alya hanya duduk dan tak beranjak, menunggu Ajar berkomentar seperti apa. Keduanya mulai diam dan tak berkata apa-apa.
Dan sepeda itu pun akhirnya dikayuh. Alya, tersenyum melihat rumahnya yang semakin jauh. Sepeda itu berjalan pelan. Satu persatu check point di singgahi. Pula memungut botol air meniral dan sampah. Alya mulai merasakan bagaimana keseharian paginya. Para pelanggan Ajar, semuanya terkejut. Sebuah pemandangan yang tidak seperti biasanya terjadi pagi ini.
2 Km lagi jarak ke kampus setelah semua checkpoint selesai disinggahi. Perbincangan mulai dibuka dalam laju sepeda yang berjalan pelan.
“Bang, kau masih mengenalku?”
“.................................” Suara denyitan dan hentakan kayuhan sepeda itu mungkin menjadi jawaban.
“Kau pasti masih mengenalku.”
“..................................” Suara denyitan dan hentakan lagi.
“Kenapa lajunya terlalu pelan, apakah aku terlalu berat?”
Denyitan dan hentakan di nilai satu kayuhannya itu masih menjadi jawaban.
“Kenapa hari itu, kau pergi ke bengkel dan menyuruh mereka untuk memasang balik alat kayuh rusak ini.?”
“Karena ini sepeda ayahku.”
Jawaban itu membuat Alya terdiam sampai ke kampus. Mereka tiba sangat pagi. Alya diturunkan di gerbang dan Ajar langsung bergegas ke belakang, tanpa menoleh ke belakang.
** 14 **
Kau Tak Pernah Tau Perasaannya
“Ajar, maafkan aku.” Amina mengucapkannya sambil melihat mata ajar. Dia sudah di sana lebih awal pagi itu, di belakang sekolah. Ajar hanya melihatnya sekilas. Menyenderkan sepedanya ke dinding dan ditopang dengan kayu agar tidak jatuh.
“Aku sudah jahat kepada kau.” Ia tahu pertanyaannya tak akan dijawab. Ajar mengambil gembok dan mulai merantai sepedanya. Memasukkan sisa koran pagi ini ke dalam tas dan beranjak pergi.
“Akulah yang sangkutkan sepeda kau di pohon, Jar” Ia mulai mengikuti langkah ajar yang berjalan santai.
“Juga sepedamu di lubang sampah itu.” Ia mendahului ke depan dan memperlihatkan tangisannya. Ajar masih terus berjalan. Lantas Amina menghalangi langkah ajar yang terus maju agar ia berhenti.
“Setidaknya, katakanlah sesuatu, Jar” Ia mulai menarik tangannya dan ajar mulai berhenti telak. Ia menarik tangannya dari pegangan erat Amina.
“Kau tak harus menarik tanganku, duduklah di sana.”
Amina pun terus berjalan di depan sambil menyeka air matanya. Ia duduk di sebuah bangku panjang dan Ajar berdiri melihatnya.
“Minumlah” ia mengeluarkan sebotol air minum yang dibawa dari rumah. Amina meminumnya.
“Kau tak perlu memberi tau semuanya. Aku sudah tau. Dan tak perlu meminta maaf, aku sudah memaafkan kau jauh sebelumnya.”
“Tapi kau tak tau perasaanku, gam.” Tangisannya sudah pecah sepagi itu.
“Dan kau tak pernah tau perasaan Riuh.”
Hanya dengan sepatah kata itu saja, tangisan pecahnya terhenti seketika. Ia mencoba mengingat sesuatu dan mencocokkannya, sambil melihat Ajar pergi dan menaiki tangga. Selembar kertas dengan sepotong tulisan, amina menaruhnya di bawah botol air ajar. “Air ini menyejukkan.”
** 15 **
Aku Lupa Itu Sepeda Kau, Tapi Aku Juga Tau Itu Sepeda Kau
Gam, aku harus jujur kepada kau. Sepeda kau yang tergantung di pohon dan terjungkir, sarung shalat kau yang sobek, sepatu kau yang di atap perpustakaan, aku lah yang menjahati. Maafkan aku. Aku hilang kesadaran karena dia, gam.
Kau tau, dia yang paling sulit untuk didekati, wajah cantik, gayanya menarik, amboi..., kau tau kan. Sejak itu aku tak bisa tidur karena terus terbayang wajahnya. Ketika aku di sawah, di kebun, di pabrik roti, kau tau, aku jadi bekerja dengan laju. Setiap kali aku membayangkan wajahnya, aku juga lupa. Lupa bahwa sepeda itu sepeda kau, walaupun aku juga tau kalau itu juga sepeda kau.
Lama aku merenung. Ini tak semestinya aku buat. Tapi karena cinta ini aku jadi mabuk, gam. Sampai “orang baik ini” pun ku jahati. Alamak... bodohnya aku. Aku tak tau apa kau pernah jatuh cinta sampai kau mengerti mengapa aku tega melakukan ini kepada kau, gam. Tapi, maafkan aku.
“Kau tak perlu meminta maaf, jika memang kau menyukainya. Kenapa tak kau katakan saja.” Ajar tersenyum tipis.
Itu pernyataan Riuh kepada ajar, beberapa minggu sebelum amina jujur terhadap segala kesalahannya kepada Ajar pula. Satu hal yang mungkin tidak akan dilupakan oleh Riuh pada hari itu. Siang itu ada sebuah senyuman tipis milik Ajar yang tak pernah tampak sedari dulu.
** 16 **
Turun !!!
“Setelah itu, bagaimana mungkin aku bisa membuatnya berbicara.” Alya berpikir sambil menunggu Ajar di depan rumah. Denyitan itu mulai terdengar dan mulai familiar setelah tumpangan kemarin.
Ajar berhenti dan tidak turun. Meraba keranjang depan dan memberikan surat kabar itu kepada Alya. Seterusnya, ia menyelipkannya di sela pagar. Itu dilakukan dengan cepat agar sepeda itu tidak sempat berjalan lebih dulu sebelum ia duduk di belakang.
Seperti hari kemarin. Alya duduk membelakangi. Namun kali ini kakinya diangkat dan diletakkan di ujung kursi belakang. Ia lebih merapat ke bangku Ajar. Kedua Tangannya memegang penopang keranjang.
“Bang, kau tau ini agak menakutkan.” Nada suara Alya meninggi dan mulai tertawa.
“................................” Suara denyitan dan hentakan di nilai 1 kayuhan.
“Jangan sampai goyang bang, aku bisa jatuh.” Ia tetap tertawa.
“...................................”
“Bang, jangan marah kalau aku bersandar di punggung kau y?” Alya mulai bersandar.
“...................................”
“Kau tidak bicara kepadaku. Padahal kemarin, aku melihat dan mendengar kau sempat berbicara kepada kak Amina.”
“..................................”
“Apa aku harus menangis seperti itu, agar abang mau bicara dengan alya kah?”
“................................”
Dan seketika itu juga sepeda Ajar berhenti.
“Kenapa kau berhenti. Apa kau nak marah....” Alya menoleh ke atas depan, melihat wajah Ajar.
“turun !!” Ajar memotong komentarnya.
Alya bergegas turun dan mulai heran. Mungkin Ajar memang marah karena perkataannya itu. ia berpikir demikian. Namun ternyata, bukan demikian.
Sebuah mobil mewah berhenti mendadak di depan mereka. Itu ayah alya dan ia benar-benar terkejut melihat itu. Ayahnya keluar dan menutup pintu mobil dengan kencang. Itu pelampiasan kemarahan. Seketika itu juga tangan Alya ditarik menuju mobil. Membuka pintu bagian belakang dan memasukkan Alya dengan sekejab.
Ajar hanya berdiri dan tidak berbalik. Ayahnya berjalan dengan sigap dan . . . “prak..!!”. Itu tamparan keras.
“Siapa kau, berani membonceng anakku, hah? Apa kau tak cukup menyesal dengan kesalahan yang pernah kau buat?”
Kali ini rambutnya di jambak. Ajar ditampar berkali-kali dan di tendang jatuh. Lalu, sepedanya di hempas ke parit pinggir jalan. Ajar yang terduduk kemudian mencoba bangkit.
“Kau ingat baik-baik, jangan kau dekati anakku lagi. Jangan kau racuni dia. Kalau kau ingin selamat.”
Ayahnya langsung menaiki mobil dan tancap gas. Hanya asap putih pekat yang tertinggal di belakang. Juga pandangan alya, dari balik kaca belakang mobil yang gelap.
** 17 **
Amukan di dalam mobil
“Kenapa kau!?, kenapa kau menangis, hah!!??” Pekik Teuku Danish memarahi anaknya. Alya benar-benar menangis pilu. Jilbabnya di bagian leher sampai basah.
“Kenapa ayah memukulnya,?, Ayah semestinya memukul aku.” Suaranya mendera dari belakang mobil.
“Dasar anak bertuah. Sejak kapan kau berani membalas marahan ayah mu, hah?” Suara ayahnya mulai meninggi sambil melihat kebelakang sepersekian detik.
“Alya yang mau pergi ke kampus dengan dia, kenapa ayah malah memukulnya, hah!?” Tangisannya mulai terdengar seperti orang menderita.
“Kau mau kenak pukul, ya.!”
“Pukul, yah. Pukul!”
Mobil mewah itu pun seketika berhenti. Ayahnya lantas melangkahi sela bangku depan mobil dan menampar Alya beberapa kali. Hari itu menjadi hari yang mengerikan. Alya hanya menangis, tanpa bicara. Menyertakan ayahnya menamparnya berkali-kali.
Setelah melihat hidung anaknya berdarah, ia merasa cukup. Keluar dan masuk lagi ke dalam mobil, Lalu mengubah haluan dan pulang ke rumah.
“Kau seharusnya mendengar nasehat ayahmu, sejak kapan kau menjadi anak durhaka sekarang, hah,?” Suara ayahnya memang besar.
Alya hanya menangis menyapu darah yang keluar dari hidungnya. Mobil mereka melaju kencang. Dari serentetan pohon-pohon yang mulai tertinggal dengan cepat, Alya melihat kembali Ajar dari balik kaca mobil. Ia sedang memungut sampah di pinggir jalan. Dan, tangisan Alya memilu lagi.
** 18 **
Rencana Gila
Azan subuh berkumandang merdu. Ajar bangkit dari ranjangnya yang hanya beralaskan tikar. Ia bercermin dan memegang wajahnya. Tamparan kemarin masih terasa sakit. Belum lagi rasa nyeri di perutnya karena tendangan itu. “Mungkin Pak Danish pernah belajar silat.” Hingga rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Lalu, ia bergegas mandi dan berangkat ke mesjid.
Para jamaah subuh selalu ramah kepadanya. Meskipun ia tidak pernah menegur mereka. Tidak ada anak muda yang shalat subuh di mesjid itu selain dia. Para jamaah terkesan dengan sikap konsistennya untuk selalu hadir. Belum lagi, ia selalu membersihkan pekarangan mesjid yang kotor setelah shalat usai. Memang tidak ada anak muda seperti dia di kampung itu.
Setelah dari mesjid, Ia pulang ke rumah untuk memulai rencana baru. Ajar masuk ke kamar ibunya dan melihat tabungan keramik ayam, berjejer di sebuah rak lemari. Warnanya tidak serupa satu sama lain. Dari ujung kanan, tabungan itu terlihat usang dimakan usia. Sementara semakin ke kiri, warnanya semakin kontras. Ia melihat ke atas, ada 13. “ini sudah cukup.”
Ia mengambil kursi dan mulai menurunkan tabungan itu satu persatu. Mengurutkannya dari ujung sebelah kanan. Lantas, sepotong kain digelar ke lantai. Satu persatu tabungan tersebut dipecahkan. Raut wajahnya menjadi sedih. Tabungan yang paling usang ini adalah tabungan ayahnya. Uang kertas dan recehan meruah. Seketika waktu seperti bergerak ke belakang. Alat tukar 14 tahun yang lalu. Tentu beda dengan bentuk uang sekarang. “Ini harus ditukarkan ke bank.”
Semua tabungan itu sudah dipecahkan. Uang kertas dan recehan dipisahkan dalam dua tempat. 7 juta 200 ribu Rupiah. Itu uang yang banyak. Ia bahkan tidak menyangka tabungannya akan sebanyak itu. Kain yang berisikan uang itu lantas dibungkus.
Matahari mulai terbit. Ajar bergegas ke bank. Ingin mengganti rupiah tempo dulu yang tidak bisa digunakan lagi untuk masa sekarang. Ajar mengayuh sepedanya. Nilai 1 sampai 9. Alisnya mulai menurun. Matanya mengaca dan pipinya memerah. Itu mimik sedih.
Setelah menukarkan uang tersebut, ia memasuki langkah kedua dari rencananya. Ke rumah Alya. Ajar bahkan tidak takut sedikit pun. Uang itu ditaruh di keranjang depan dengan balutan kain. Ia sengaja tidak menukarnya dengan uang ratusan ribu. Padahal itu lebih simpel untuk di taruh di saku celana. Ajar hanya menukarkan mode uang yang tidak laku lagi.
Suara denyitan sepedanya itu terus bernyayi. Menemaninya hingga sampai di depan rumah Alya. Semestinya suara itu menjengkelkan. “ciiiiieettt... takk, ciiiieeettt takk,...........!”
** 19 **
Nasab Kita
“Kau semestinya mendengar, apa yang dikatakan ayahmu, nak.” Suara lembut itu sangat bertolak belakang dengan intonasi suaminya. Teuku Danish. Ibunya mencoba untuk mengobati kondisi mental Alya hari kemarin. Tangannya berulang-ulang mengelus kepala Alya yang tidur dipangkuannya.
“Tapi, ajar itu anak baik, mak. Kenapa ayah sampai memukulnya seperti itu. dia tak buat apa-apa. Alya yang membuat semua itu terjadi.”
“Mungkin ayahmu tak suka kau terlalu akrab dengan orang seperti itu. Mungkin juga ayahmu juga tak pernah membayangkannya.”
“Kenapa ayah harus membayangkan seperti apa teman-teman Alya nanti?, Alya tau dengan siapa Alya harus berkawan, Ajar itu anak baik.” tangisannya kembali hadir.
“Ayahmu memilih kampus itu agar kau tak jauh dari mak dan ayah. Bukan untuk berkawan dengan anak seperti itu. Bahkan kau sudah begitu akrab sampai dia memboncengimu pagi kemarin.”
“Mamak sepaham dengan ayah kah?” Alya mulai bangkit dari pangkuan ibunya.
“Nak, kau tau nasab keluarga kita kan?”
“Lalu hanya karena Alya, cut, lantas harus berteman dengan teuku?”
“Kau boleh berteman dengan anak itu, tapi semestinya janganlah terlalu akrab.”
“Alya tak paham.” Tangisannya malah semakin memilu.
“Dulu, ketika ayah ingin menyekolahkan kau ke kampus itu, kau sempat tidak setuju kan?, ayahmu akan mengurus surat pindah kau dari kampus itu,”
Wajah Alya mengerut bingung.
“Ayahmu akan mengurus pindahan. Kau akan belajar di kampus yang pernah kau cita-citakan dulu.”
Lalu, Alya langsung berlari ke kamar dan membanting pintu.
** 20 **
1 syarat
Ajar turun dari sepedanya dan menekan bel di ujung kiri pagar. Tangan kanannya memegang bakul uang itu. Ia terus menatap ke arah pintu rumah. Ajar menekan kembali bel itu. Suara deringnya sampai terdengar ke luar pagar. Lantas, ibu Alya membuka pintu dan melihat Ajar berdiri di luar sana.
Ibunya berjalan pelan sambil memperhatikan anak itu. “Kau, anak tukang kebun itu?” Kening Ibu Alya mengerut.
“Ya” Ajar menjawab sambil melihat mata orang tua itu.
Gerbang itu pun dibuka. Ajar diajak masuk.
“Suti.!! Suti.!!” Ia memanggil pembantunya.
“Duduklah nak.” Ajar disilakan duduk di teras rumah mereka yang mewah. sebuah kursi jati dengan ukiran jepara.
“Buatkan kopi satu.” Perintah Ibu Alya kepada pembantunya.
“Lama sekali kau tak nampak nak, ke mana saja kau. Mak prihatin mendengar berita ayah dan mak kau meninggal.”
“....................”
“Apa hal nak, kau melangkah ke sini?”
“Saya nak berjumpa dengan Pak Danish, mak?”
“Minumlah dulu, jauh sekali kau mengayuh sepeda. Itu sepeda ayahmu dulu kan?”
Ajar tak menanggapi. Ia malah menoleh ke halaman depan. Penuh dengan ragam bunga. Dulu Ajar dan ayahnya kerap di sana. Memotong rumput hias, memangkas daun-daun kering, memupuk dan aktivitas lainnya. Sementara pertanyaan Ibu Alya terus melayang tanpa jawaban.
Merasa rancu, Ibu Alya langsung menelpon suaminya. “Minumlah dulu nak, mak ke dalam sebentar.”
Tak lama setelah itu, mobil mewah itu pun sampai dan membunyikan klakson. Ibu Alya langsung bergegas dan membuka gerbang pagar. Ia cekatan menghampiri suaminya. Lalu, Pak danish turun. Ibunya memberi gambaran tentang kondisi semenjak Ajar sampai ke rumah mereka.
Seketika Pak Danish melangkah cepat. Ibu alya mengikutinya dari belakang. Dengan pelan, Ajar menoleh ke arah wajah Pak Danish yang mulai meradang.
“Sial kau !, berani kau ke sini, hah!!??”
Ibu Alya menenangkan suaminya dan diajak duduk. Pak Danish duduk dan mulai membuka pembicaraan.
“Ini dia mak, yang telah meracuni anakmu.”
Seketika Ibu Alya terkejut. Ia menutup mulutnya sangkin tidak percaya.
“Kenapa kau ke sini!!??” Suara Pak Danish mengeras sambil menepuk meja.
“Saya ingin mengganti guci bapak yang saya pecahkan dulu. Ini adalah tabungan saya dan bapak saya.” Ia menyodorkan bakul kain berisi uang itu.
“Hah? cukup uang kau?”
Alya mendengar suara gaduh itu. Ia lantas ke luar dari kamarnya dan beranjak ke teras. Alya benar-benar terkejut melihat Ajar sedang berpapasan dengan ayahnya.
“Bapak saya bilang, harga guci itu 6 juta. Hari ini saya nak bayar lebih. 7 juta dan maafkan kesalahan saya dan bapak saya.”
Ibu alya mulai menangis. Pak Danish langsung mereguh bakul kain itu dan membukanya. Uang pecahan dalam jumlah banyak.
“Baik, aku tak menghitungnya lagi. Ku maafkan kesalahan kau dan bapak kau. Dan satu lagi yang harus kau ingat. Jangan bermimpi untuk mendekati anakku. Paham kau?”
“Tapi, saya punya satu syarat sebelum bapak bawa uang itu masuk ke dalam.”
“Apa itu.!”
“Saya ingin menendang perut bapak.”
Saat itu juga, Ajar babak belur dipukuli. Ibu Alya jatuh pingsan sedang Alya menopangnya. Anak itu tidak diberi ampun meski ada perlawanan kecil. Sampai, para tetangga datang dan melerai. Mereka memegang Pak Danish yang tidak mau berhenti memukulnya. Ajar tergeletak lemas. Kepalanya berdarah. Wajahnya juga lebam.
Perlu banyak orang untuk menghentikan Pak Danish. Ia kalab. ramainya orang membuat tempat itu menjadi semakin riuh. Banyak orang yang menonton adegan tersebut dari luar pagar. Mereka tidak bisa berkomentar banyak. Pak Danish adalah orang terpandang di kawasan itu.
Ajar mulai bangun tanpa harus dipapah. Ia menaiki sepedanya dan sejenak melihat Alya yang masih duduk menopang ibunya. Ajar memutar sepedanya dan mulai pergi. Hanya beberapa bercak darah yang tertinggal di teras dan halaman rumahnya. Juga kegaduhan, yang tak pernah di saksikan Alya sebelumnya.
** 21 **
Sejak Saat Itu
Alya, ia tidak menyangka bahwa perkenalannya dengan Ajar akhirnya menyisakan tragedi. Ia mulai paham dengan perkataan Amina bahwa Ajar sakit jiwa. Acuh dan tidak mau mengerti keadaan dan perasaan orang lain. Ia menyesali semua usahanya saat mendekati Ajar dulu. Semua itu sia-sia. Seharusnya ia mendengarkan Amina dan juga ayahnya.
Sejak saat itu mereka tidak lagi berpapasan. Alya sengaja tidak keluar rumah sepagi kemarin, hanya tidak untuk melihat Ajar yang selalu datang membawa koran dan menyelipkannya di sela pagar rumahnya.
Sejak saat itu, ia tidak melihat keluar dari balik kaca mobil ketika berangkat ke kampus bersama ayahnya. Tidak mau melihat Ajar yang sedang mengayuh sepeda atau sedang mengutip sampah di pinggir jalan.
Sejak saat itu, ia tidak lagi ke kantin yang letaknya tidak jauh dari tempat parkir sepeda Ajar. Ia takut sewaktu-waktu Ajar muncul dari belakang gedung belajar kampus atau ke sana untuk mengambil sepedanya.
Sejak saat itu, ia tidak shalat lagi di mushalla kampus, di mana semua mahasiswa berkumpul di sana ketika Zuhur dan Ashar. Alya harus keluar mencari tempat shalat terdekat lainnya karena malas melihat wajah kakunya yang menyimpan sejuta rahasia.
Sejak saat itu, ruang geraknya terbatas dam banyak menghabiskan waktu di kelas. Ketika jam kelas berakhir, ia menelpon ayahnya untuk menjemput. Ia tidak akan keluar kelas sebelum mobil ayahnya tiba.
Sejak saat itu pula, ia tidak pernah bertukar pikiran lagi dengan Amina. Padahal Amina sudah beberapa kali mendekatinya untuk duduk dan berbincang. Namun Alya selalu menghindar.
Sebenarnya Alya tau, bahwa sikapnya itu tidak menyamankan hatinya. Ada sesuatu yang mengganjal dan kurang. Ia tidak ambil pusing. “Toh, setelah semester ini, aku akan meninggalkan kampus ini.”
** 22 **
Senyuman yang disembunyikan
Hari terakhir Alya dikampus itu. Ia diantar oleh ayahnya. Hari ini jadwal pengambilan KHS. Ia juga harus menghadap Kasubbag TU untuk mengambil surat keterangan pindah dari kampus itu.
Alya diantar sampai ke dalam kampus. Ia mengambil tas dan turun dari mobilnya. Langkahnya pelan dan tidak bergairah. Alya tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa kampus itu, setidaknya telah memberikan banyak kenangan. Terasa berat jika harus meninggalkan teman-temannya yang mulai akrab dengannya. Juga Situasi dan suasana yang telah melekat di benak.
Di hari itu pula, Alya mulai berpikir bahwa ucapan perpisahan harus ditunaikan. Permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Agar ketika pergi, tidak ada perasaan yang tersangkut dan tidak lega. Dan hari ini menjadi pengecualian. Bahwa Alya harus membaur seperti dulu. Ke kantin dengan leluasa, ke mushalla, berjumpa Amina dan mungkin, dapat berjumpa dengan Ajar untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang mungkin pernah ia lakukan.
Waktu zuhur tiba. Lantas para mahasiswa bergegas ke Mushalla kampus. Alya, ia berjalan pelan sambil digandeng temannya. Berbincang ringan sambil melepas senyuman dan tawa kecil, menuju tempat wudhu’. Ia berdiri di depan tangga mushalla. Melihat sekitar.
“Kau mencari Ajar, alya?” amina tersenyum menyapanya.
“Tak, aku hanya melihat si aji, tadi dia meminjam cas hp ku.” Alya sedikit terkejut dengan jawaban terbata-bata.
“Duduklah.” Amina menduduki anak tangga sambil membuka sepatunya. Lalu alya duduk.
“Kenapa kau tak ingin berbicara denganku, padahal waktu itu aku selalu mencari kau?” Amina tersenyum.
“Hehe, maafkan aku tentang kejadian itu kak.”
“Lalu sekarang, kenapa kau mau berjumpa denganku?”
“Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan. Sungguh.”
“Aku bahkan tak melihatmu pergi dengan Ajar lagi semenjak kau berubah.” Amina melihat ke depan dan sangat tenang.
“.....................”
“Janganlah lama-lama merajuk, dulu dia banyak berubah karena kau.”
Kening Alya mengerut sambil melihat ke wajah Amina.
“Senyum kalian di atas sepeda. Setiap pagi aku melihatnya. Aku bahkan tak pernah melihat ajar tersenyum. Apalagi sambil mengayuh sepeda seperti itu.”
“Tersenyum????”
“Janganlah pura-pura terkejut macam tu. Bagaimana mungkin wajahnya yang kaku itu dapat tersenyum kalau tidak ada orang yang membuatnya tersenyum.”
Jantung Alya jatuh dalam.
“Ajar di mana kak?”
“Dia tidak masuk hari ini.”
“Kakak punya no. Hp-nya?”
“Aku tak pernah memintanya.”
“Tau rumahnya?”
“Riuh tau di mana rumahnya.”
“Kak, kalau begitu. Bisa kakak tolong jumpakan aku dengan Riuh?”
“Hmhm. Tentu.”
** 23 **
Menunggu angin...
“Ayah, Kenapa layang-layang bisa terbang? Padahal ia tidak sama seperti burung?”
“Itu karena angin. Jika kau ingin layangan itu terbang tinggi, maka tunggulah saat angin sedang kencang. Kau bisa menerbangkannya tinggi.”
“Berarti, aku bisa menerbangkannya waktu sepeda kita berjalan?”
Ajar duduk membelakangi ayahnya di bangku belakang. layangannya di terbangkan rendah sedang sepeda mereka tengah melaju. Ayahnya tersenyum sambil mengayuh sepedanya. Nilai 1-9. Beberapa kali Ajar memanggil ayahnya untuk melihat layangannya yang terbang. Jelas Ajar melihat ayahnya tersenyum ketika ia menoleh ke belakang.
Mereka tiba di rumah Pak Danish. Ayah Ajar membunyikan bel dan suti membukakan pintu. Boy!!, Alya yang sedang duduk di teras memanggil Ajar. Mereka belum saling berkenalan. Padahal sudah hitungan bulan mereka telah bermain bersama. Boy, itu sebuah nama tokoh film kartun. Super boy. Alya sering menontonnya. Ia memanggil Ajar seperti itu karena ia memang mirip tokoh Super Boy di film itu. lantas, nama itu melekat.
“Wah, kau punya layangan bagus.”
“Ya, ayahku yang membuatnya.”
“Apakah itu bisa terbang?”
“Bisa, tapi kita harus menunggu angin dulu.”
Dua bocah itu pun duduk di teras dan memandang pohon. Memantau kapan daun-daunnya mengipas dan bergoyang. Sesekali angin hanya berlalu. Sontak mereka jadi ribut. Lalu ketika angin itu berhenti, mereka duduk kembali.
Ayah Ajar tertawa melihat tingkah mereka sambil mengurusi taman rumah Alya. Wajahnya penuh dengan keringat. Di kota benar-benar panas. Krisis angin. Hanya sejuk ketika hujan datang membasahi hawa.
“Kita tak bisa menerbangkan layang-layang ini kalau tidak ada angin.” Ajar melihat ke arah Alya dengan serius.
“Yahh....” Alya tertunduk lesu.
“Hey, tapi waktu aku di sepeda tadi, layangan ini boleh terbang.”
“Ya, kau harus berlari.”
Ajar langsung beranjak sambil membawa benang dan layangnya ke arah terjauh dari Alya. Kemudian, ia berlari ke arahnya. Layangan itu terhempas ke udara dan tidak stabil. Lantas Ajar memacu langkahnya. Layangan itu semakin meninggi. Ajar kemudian berlari mundur ke arah Alya sambil melihat kondisi layangnya yang mulai naik. Dan, “praanggg!” sebuah guci glamor di teras rumah itu pecah. Ayah Ajar langsung bangkit dan membangunkan Ajar yang jatuh di pecahan guci keramik itu.
Seketika, Pak Danish keluar cepat dari dalam rumah. Ia melihat Ajar yang dibangunkan ayahnya. Ada luka di sikunya.
“Oooiiii, apa yang anak kau buat hah?”
“Maaf pak, anakku tak sengaja.”
Ibu Alya tau, kejadian itu akan menjadi perang besar. Lantas ia langsung membawa Alya masuk dan menutup pintu rumah.
“Kau kira harganya berapa!!”
“Saya akan ganti pak.”
“Kau cakap apa, tiga bulan gaji kau pun tak bisa tutup harga guci ini, tau kau?”
“Saya mohon maaf sekali pak.”
Lalu, Pak Danish melangkah dan ingin memukul Ajar. Ayah Ajar pun memeluk anaknya agar Pak Danish tidak sampai memukulinya. Tidak lain, Ayah Ajar yang menahan segala tinjuan dan tamparan pak Danish yang bertubuh besar.
“Pak, Cukup!” Ayah Ajar mulai menangis. Namun, Pak Danish tidak puas hati sebelum menghantam rahang anak itu.
“Kau harus lari nak.!”
Seketika Ajar lari ke luar pagar. Pak Danish mulai mengejarnya, namun Ayah Ajar menahannya. Saat itulah, Pak Danish menumpahkan emosinya ke tubuh ayah anak kecil itu. Ia terus menendang dan memijak perut Ayah Ajar yang tergeletak jatuh. Sedang saat itu, Ajar hanya melihat ayahnya yang terus dipukuli dari balik pagar.
“Nak, !!! Lari, lari!!.”
Ucapan itu yang berdeging setiap kali ia melihat rumah Alya dari balik pagar. Setelah kejadian itulah, ayahnya mulai tak sehat. Dua minggu setelah tragedi pemukulan itu, rasa sakit di perut Ayah Ajar tak kunjung sembuh.
** 24 **
Cepat !!
Sore itu, Alya mengendari sepeda motor Amina dengan kecepatan tinggi. Kendaraan lainnya disalip dengan cepat. Padahal, ia belum terbiasa. Terkadang seseorang akan bertindak nekat di saat-saat genting, seperti Alya kali ini. Sedang Amina di belakang hanya menunjukkan arah. Ia tidak berani mengendarai sepeda motor secepat itu.
Melewati jalan kampung dan berlubang. Itu benar-benar kawasan pedesaan yang tidak terkontaminasi dengan pengaruh hiruk pikuk kota. Alya bahkan tidak pernah ke sana. Jalanan turun dan menanjak di apit pegunungan yang melapangkan pandangan, semestinya dapat dinikmati jika saja mereka berjalan santai.
Riuh mulai terlihat dari jauh. Ia sedang mematuk-matuk tanah ladang di pelantaran sawah. Mereka hanya menanam padi pada musim hujan karena tidak ada irigasi di sekitaran sana. Hanya memakai air hujan untuk mengairi sawah. Saat ini, hujan jarang sekali turun. Para petani di daerah itu bersepakat untuk tidak bersawah beberapa bulan ini.
“Riuh.!!” Amina memanggil namanya dari jauh.
Seketika sepeda motor itu berhenti. Alya langsung turun dan berlari di pematang sawah. Ia sempat terpeleset beberapa kali dan bangkit lagi.
“Kau harus mengantarku ke rumah Ajar, bang.! Sebaiknya kau tidak bertanya kenapa.”
Alya langsung berputar balik dan berlari lagi. Bahkan nafasnya tidak menjadi cepat sama sekali. Riuh masih bingung dan mengikuti Alya dari belakang sambil berjalan membawa cangkulnya.
“Cepat kau, gam!!!” teriak Amina dari pinggir jalan. lantas Riuh pun mulai berlari.
“Kau harus cepat !!, bawa kami ke rumah Ajar.!!”
“Hei, tapi rumah ku di sana.” Riuh mulai serius.
“Kau bawa dia kat sana, aku tunggu kau di sini. Kau harus cepat.!!”
Riuh, tanpa berbasa basi ia bergegas. Seperti merespon perintah seorang komandan. Sepeda motor itu pun melaju cepat. Lebih cepat dari tadi.
Jalanan semakin sepi. Rentetan rumah sudah mulai jarang. Alya semakin terkesima. Ia tak pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di kampung se-sepi itu.
“Itu dia, neung.”
Ajar sedang memakul 2 tempat air dengan tuas kayu di bahunya. Ia sedang menyiram ladang kacang panjangnya yang mulai berkecambah.
“Kau bagaimana?, ku tinggalkan di sini? Atau...?”
“Pulanglah bang, sampaikan kepada Kak Amina, terimakasih sudah mengantar.”
“Ya, kau memang mengerti.” Riuh seperti kegirangan.
Alya mulai memanjat pintu pagar yang sengaja dibuat tinggi. Ajar tau dia di sana. Ia melihatnya sekali. Kemudian menyiram tanamannya lagi.
** 25 **
Tidak Jika Kau Ingin Bermalam di Sini
“Bang, luangkan waktu mu sekejab.” Alya terus mengikutinya dari belakang, sedang Ajar sibuk menyirami tanamannya.
`“Aku ingin kita membahas sesuatu.”
“....................” Ajar tetap dengan pekerjaannya.
“Baaaaangggg!!, kau tak dengar kah? Berapa kali aku harus meminta kau untuk....”
“Suara kau persis sama seperti ayahmu.” Ajar memotong pekikan itu.
“Duduklah sebentar.” Suaranya memelan dan Air matanya menderas.
Ajar mulai berjalan ke arah sebuah pohon tumbang. Meletakkan tempat penyiram airnya dan duduk. Alya berdiri di hadapannya.
“Ayah kau pasti akan marah jika tau kau di sini.” Ucapnya sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan api.
“Sejak kapan kau mulai pandai membakar racun itu.”
“Bahkan aku sendiri adalah racun bagi kau, sejak kapan kau sudah pandai jauh pergi ke sini dan menghampiri racun ini?”
Praakkk!!, Alya menampar ajar sampai rokok di bibirnya jatuh.
“Kau sangat mirip dengan ayahmu.” Ia memungut rokok yang jatuh itu.
“Kenapa kau ingin menendang perut ayahku waktu itu,?”
“Aku hanya ingin membalas perbuatannya.”
“Hanya karena dia memukul dan menendang perutmu waktu itu? kenapa kau tak memarahiku saja, dan menjelaskan kepada ayahku bahwa aku yang memulai semuanya.” Alya berbicara cepat dan tersedu.
“Kau ingat, tukang kebun yang selalu menyisir rambutmu di teras rumah setiap pagi. Ayahmu menendang dan memijak perutnya 19 kali, di depan mataku.” Pandangan Ajar mulai menajam.
Alya mematung. Ia benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. Lalu, jatuh bersimpuh. Matanya mulai berkaca.
“2 minggu setelah itu, ibuku membawanya ke dokter. Limpanya pecah dan kronis. Ia meninggal dengan sebab itu. Ibuku lantas sakit karena ayahku meninggal. Lalu aku yatim piatu. Aku tak perlu berkomentar banyak. Tentu kau sudah mengerti.” Suaranya kembali memelan.
Mereka terdiam beberapa saat. Suara serangga hutan hingga terdengar begitu jelas.
“Aku tau kenapa kau menghindar sejak saat itu.” Untuk pertama kalinya Ajar membuka perbincangan, tepatnya semenjak pertemanan itu.
Alya, rasa pilunya jatuh semakin dalam sampai tidak mampu berbicara. Suasana hening kembali untuk beberapa saat.
“Seharusnya kau tidak seperti itu kepada orang lain. Bagaimana caranya aku boleh mengerti apa keinginanmu, bagaimana perasaanmu, sedang kau hanya diam saat kutanyai. Kau seharusnya berbicara! Menjelaskan!, Jika kau tak mau aku menghindar.”
“........................” Ajar mulai terdiam.
“Bahkan, senyuman mu di sepeda itu pun kau tutupi. Kenapa tidak kau tumpahkan saja, agar aku tau?”
“agar kau tau apa?” Ajar berkomentar cepat.
Tangisannya Alya memilu lagi.
“Sudah. Kau tak lihat matahari mulai turun. Ayahmu tentu akan marah jika tau kau di sini.” Ajar bangun dan mengambil tempat air itu.
“Kau akan mengantarku pulang?” Alya mulai bangun dan mengusap mata sembabnya.
“Tidak, jika kau ingin bermalam di sini.”
Tangisan yang sedari tadi berjatuhan, akhirnya mampu digantikan hanya dengan satu kalimat itu. Alya tersenyum sambil mengikuti langkah kaki Ajar. Persis memijak jejak langkah Ajar yang tertinggal di belakang.
** 26 **
Air Mata Yang Mengering
Jejak kaki Ajar membawa Alya ke rumah itu. Lagi-lagi ia tidak pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di rumah se-reyot itu. Sendiri. Ia mulai memaklumi segala sikapnya yang tak normal. “Jika aku jadi dia, mungkin aku sudah gila.” Besit benaknya sedih, sambil melihat Ajar melepas keranjang sampah di sepedanya.
“Naiklah, kita harus cepat.”
Alya langsung duduk menyamping. Sepeda itu pun melaju. Nilai 1-9. Mereka harus turun setiap kali jalan menanjak. Sepeda itu tidak akan bergerak naik karena dayungannya tidak bisa dikayuh sempurna. Rantainya akan lepas. Mereka terus melakukan itu sampai jalan lempang terpampang.
“Kenapa kau tersenyum ketika itu?”
“...........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.
“Padahal tadi kau berbicara banyak. Tapi sekarang kau malah diam.”
“...........................”
“Kenapa kau sampai berbohong kepada ketua ospek itu, bahwa kau yang menabrakku. Padahal aku yang menabrakmu.”
“...........................”
“Kau juga bilang aku cantik. Apakah kau juga berbohong atas alasan itu.?” Alya tersipu malu sendiri.
“..........................”
“Kau membiarkanku menaiki sepedamu, bahkan kau tidak menolaknya sama sekali.”
“..........................”
“Kau tau bang, sejak aku menghindar waktu itu. sebenarnya perasaanku menolak.”
“Kau selalu banyak bicara.” Ajar mulai menanggapi.
“Dulu, kau bahkan lebih banyak bicara daripada aku, bang.” Alya mencoba melihat wajah Ajar yang sedang mengayuh.
“Tapi hari ini, pertanyaanmu sangat banyak.” Ajar dengan suara datar.
“Kau tidak bertanya kenapa pertanyaanku sangat banyak hari ini.”
“Kenapa?” Ajar sibuk mendayung.
“Kenapa apa bang?” Alya sedikit menyudutkannya.
“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”
Alya mengambil nafas dalam dan memejamkan mata. Suara denyitan sepeda itu terdengar jelas lagi.
“Tanyakanlah sekali lagi.”
“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”
“Aku akan berangkat ke Malang besok.”
“oohhh...”
“Apa maksudmu ooohhh...?” Alya marah.
“........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.
“Kau terkadang sangat menyebalkan.”
“Sekarang jawablah pertanyaanku dengan jelas dan lengkap. Kau tau, ini sudah waktunya.”
“baik.”
“Kenapa kau tersenyum saat memboncengku, pagi itu?”
“...........................”
“Sudahlah bang, aku lelah mendengar kebisuanmu dan suara denyitan kayuhan itu.”
“Seharusnya kau mendengarkannya dengan baik.” Ajar tersenyum.
Alya mulai memukul punggung Ajar, berkali-kali. Semakin lama semakin melambat. Ajar menoleh ke belakang dan melihat wajah alya. Ia menangis lagi.
Sebuah tarikan nafas panjang dan dalam. Ajar bersiap menjelaskan.
“Aku memang tersenyum waktu itu. itu memang jarang sekali terjadi.”
Alya mulai melihat ke arahnya.
“Aku hanya teringat. Saat kau duduk seperti itu. membelakangiku dan menaikkan kedua kakimu di ujung bangku. Aku sering melakukannya ketika kecil dulu, sedang ayahku mengayuh sepeda seperti ini. Kayuhan tidak sempurna. Sampai memori yang hadir itu, membuatku bahagia sejenak.”
“Padahal aku sudah menyukaimu sejak hari ospek itu.” alya sedikit kecewa dan menegarkan diri. Ia sempat berpikir, bahwa Ajar memang benar-benar menyukainya.
“.............................”
“Mungkin pun, kita seharusnya tidak bertemu.” Pernyataan singkat alya.
Sejenak kemudian, Alya menyuruhnya untuk berhenti. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon Amina. Alya minta untuk dijemput.
Mereka berhenti. Lalu Alya duduk bersila di tepi jalan. Sedang Ajar, hanya duduk di sepedanya. Mereka menghadap matahari yang mulai menguning, tanpa berkata sepatah kata pun. Ajar, dia tidak pernah bisa berbicara banyak. Sementara Alya, airmatanya telah mengering karena sedari tadi sudah banyak tumpah, seolah semuanya sia-sia.
Kemudian Amina datang, dan tersenyum. “Naiklah Alya, ayahmu pasti sudah risau.” Alya pun bangkit dan melihat Ajar, mungkin untuk kali terakhir. Ia berjalan dan menaiki sepeda motor Amina. Bahkan Ajar tidak berputar arah. Ia mematung.
“Apa ada masalah baru?” Amina berbisik pelan.
“Sudah. Jalanlah.” Alya menyahut tersenyum. Sepeda motor itu mulai berjalan.
Ajar tidak menoleh ke belakang. Namun, ia mulai fokus pada suara motor Amina yang semakin mengecil. Lalu, seketika sesuatu melintas di pikirannya. Ia mengambil sepedanya dan memacu sebisa mungkin. Mereka belum terlalu jauh.
“Dia mengejarmu.” Amina melihat Ajar dari spion dan melambatkan laju motornya.
“Tetaplah jalan kak. Biarkan dia berteriak.”
“Alya.!!” Ajar benar-benar berteriak.
Alya melihatnya tersenyum. Kayuhan Ajar terlihat sangat susah, 1-9, karena dikebut kencang.
“Apakah benar kau akan ke Malang!!” Ia terus mengayuh dan berteriak.
Sebuah anggukan, senyuman ramah nan manis, serta lambaian pelannya. Dan itu cukup untuk membuat Ajar berhenti. Ya, dia memang benar-benar berhenti. Kedua saling memandang di jalan lurus itu. sampai, jarak pandang membatasi.
** 27 **
Antarkan Saja Aku ke Kampus, Kak.
Pak Danish sudah menelpon Alya berkali-kali. Beberapa panggilan tak terjawab, Alya mengacuhkannya begitu saja. Padahal, Langit di sebelah barat sudah memerah. Pak Danish tentu akan marah besar saat Alya pulang nanti. Amina tak menyadari hal itu. Sepeda motor mereka terus melaju pulang, seperti tidak akan terjadi apa-apa.
Amina, ia mulai prihatin dengan keadaan Alya. Kondisinya bahkan sangat buruk. Dengan baju sekotor itu, ujung bawah rok-nya pun tersobek saat memanjat pintu kebun Ajar tadi sore. Belum lagi, ia menangis sepanjang perjalanan. Matanya sembab. Ia tentu sedang memikul sesuatu yang berat.
“Kau ingin ku antar ke mana?”
“Antarkan saja aku ke kampus kak.”
“Kenapa?”
“Aku shalat di sana saja.”
Amina tidak berpikir panjang. Ia terus memacu sepeda motornya. Suara azan mulai berkumandang di mana-mana. Sementara ponsel Alya terus berdering meminta di angkat. Amina tak banyak mengomentari. Mereka tiba di jalan simpang kampus. Sepi.
“Terimakasih kau telah banyak membantuku kak.”
“Tak apa, Cuma ini yang bisa ku buat untuk kau.”
“Kau sangat baik.”
“Aku bahkan sangat mengerti keadaan kau sekarang. Semoga di lain waktu, kita dapat berjumpa lagi.”
Mereka berpelukan untuk kali terakhir. Amina tidak bisa lama di sana dan langsung pamit. Ia pun beranjak dan meninggalkan Alya di sana, sendiri. Suasana kampus menjadi sangat berbeda saat malam hari. Biasanya ramai dan terang. Dan sekarang gelap dan sendiri. “Ini seperti akhir ceritaku di sini.”
Setelah shalat magrib, Alya menghubungi ayahnya. Tentu ia di marahi besar. Tapi Alya sudah terlanjur tenang. Beberapa saat kemudian ayahnya pun tiba. Kemarahan Pak Danish ketika berpapasan memang jauh lebih menakutkan dari pada di telpon tadi. Alya bahkan tidak menanggapinya. Ia hanya masuk ke mobil dan duduk. Dari balik jendela belakang mobil. Ia melihat bangunan itu semakin jauh. “Memang banyak kenangan yang tak mungkin di lupakan di sini.”
** 28 **
Maaf dan Terimakasih
Ajar mengotak-ngatik sepedanya. Alat dayung sepedanya di copot dan diganti dengan yang baru. Tepatnya suku cadang yang pernah di ganti di bengkel tempo lalu. Saat orang suruhan Alya mengangkut sepedanya di kampus. Di hari itu juga Ajar menggantinya kembali. Suku cadang yang baru itu dikembalikan kepada Ajar oleh montir bengkel itu, karena alya sudah membelinya.
Ia sadar, anggukan petang kemarin benar-benar serius. Alya akan pindah ke Malang. Bahkan ia tidak tau jam berapa Alya akan berangkat. Berarti sepedanya harus siap melaju cepat. Alat kayuh lama hanya akan memperlambat. Ajar tangkas memperbaiki barang-barnag rusak. Termasuk sepedanya. Tangannya sudah hitam karena banyaknya oli bekas yang bersarang di selinder kayuhan sepedannya. Butuh banyak sabun untuk membersihkannya.
Pagi ini, setelan Ajar sangat rapi. Ia bahkan memasukkan bajunya ke dalam dan mengenakan sepatu hitam ayahnya yang sudah tersimpan lama. Tapi, tetap saja perawakan anak kampung tidak pernah hilang. Bahkan dengan setelan serapi itu. Itu akan lucu jika pemuda-pemuda kota melihatnya.
Ia mendayung sepedanya dengan sigap. Sesekali ia memacunya dengan cepat setiap kali terlintas di pikirannya, “Ini sudah telat.” Tanjakan, turunan, lubang jalan, dan jalan lempang. Ini lebih menantang dari kompetisi balap sepeda. Alat kayuh baru itu memang memberikan sensasi yang berbeda. Lebih landai dan mudah.
Ia tau bahwa berhenti di rumah Alya hanya memunculkan masalah baru. Ia terus berpikir sambil mengayuh sepedanya. “Di mana sebaiknya aku bisa berjumpa dengannya.” Baju itu tidak lagi rapi. Bahkan sudah basah karena keringat. Sebaiknya ia membaikkan pakaiannya ketika ia sampai. Tapi itu tidak penting.
Pagar rumah Alya sudah tampak dari jauh. Ajar memelankan sepedanya. Ia mulai mengambil nafas untuk menurunkan frekuensi detak jantung karena aktivitas cepat tersebut. Laju sepedanya semakin memelan seiring semakin dekatnya rumah Alya. Pagar hitam rumah Alya memang meninggi gagah. Jerujinya juga rapat. Sulit untuk melihat ke dalam jika laju sepedanya cepat.
10 meter sebelum sampai di gerbang pagar. Sebuah tangan cantik terjulur ke luar dan melambai, seperti gelagat menyetop angkutan umum. Kemudian Ajar berhenti. Sementara Alya, ia memakai gamis yang cantik. Kainnya kilap berwarna putih dengan motif bunga sakura lengkap dengan cabangnya. Jelbabnya merah jambu dan ada kecamata hitam di atasnya. Ia memang benar-benar cantik.
“Kau betul akan berangkat hari ini.” Ajar dengan nafasnya yang cepat karena kelelahan.
“Apa kau pernah melihatku memakai baju sebagus ini.” Ia mengibaskan roknya ke kiri dan ke kanan sambil melihat ke bawah dan tersenyum.
“Ya, sepertinya kau akan pergi.”
“Lantas kenapa kau berhenti di sini.”
“Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan. Dan terimakasih juga atas semuanya.”
“Ya, juga maafkan aku.” Alya tersenyum dengan sedikit memaksa.
Kemudian Ajar melihat ada gerakan di pintu rumah. Tanpa berbasa basi. Ia langsung melaju lagi. Ajar sebenarnya sudah siaga bahwa sewaktu-waktu Pak Danish bisa saja keluar dari dalam rumah. Tak jauh setelah mengayuh sepedanya, ia menoleh ke belakang. Alya masih di sana memandanginya. Lantas ajar melambai dan alya langsung masuk. Raut wajahnya sedih dan Ajar tidak melihatnya.
Lalu, sepintas Ajar bingung sambil mengayuh sepedanya. Ia mulai merasa sedih pula, namun dengan topik yang berbeda. Ia sering sedih ketika merindukan orang tuanya. Tapi kali ini topiknya lain. Maka setelah hari ini, tidak adalagi sosok yang duduk di bangku belakang seperdanya. Juga tidak adalagi yang dengan berani dan bersabar menghadapinya yang tidak normal itu. untuk mengajak berbincang dan penuh perhatian.
Sepedanya terus melaju. Hingga sampai di simpang kampus. Ia berhenti di sana. Tidak ada tempat singgahan yang familiar ke depan lagi. Lantas ia berbelok dan menuju ke kampusnya. Hari ini sangat berbeda. Biasanya saat ini suasana di sini mulai ramai. Kendaraan yang berlalu lalang keluar dan masuk untuk pulang, pergi dan keluar sebentar. “sekarang terang dan sendiri.”
Sepedanya di parkir di belakang kampus. Padahal perkuliahan sedang libur. Kebiasaan itu sudah mendarah daging. Tidak perlu menganalisa dan menunggu perintah diri, gerakan tubuhnya secara otomatis membawanya ke sana. Sepedanya di parkir normal. Cukup dengan cagak. Biasanya butuh kayu untuk menopang sepedanya agar tidak jatuh. Karena ada dua keranjang sampah di bangku belakang.
Ia duduk di tanggal mushalla. Menunggu azan zuhur tiba beberapa menit lagi. Sambil duduk pun, pikirannya tentang Alya tak kunjung lekang. Kenangan itu terlanjur bermain di kepalanya. Wajar untuk laki-laki seperti Ajar. Ia bahkan tidak pernah merasakan pertemanan seakrab itu, apalagi dengan perempuan. “Alya itu seperti mobil tempur. Langsung merangsek masuk tak kenal takut.”
Azan zuhur berkumandang. Ia bergegas berwudhu’ dan shalat. Ini semakin mengherankannya, wajah Alya pun terbawa masuk dalam shalatnya. Istighfar dan ta’awuz diucapkan berkali-laki. Sesekali bayangan-banyangan itu ditarik agar tidak muncul. Namun, beberapa saat setelahnya ia muncul lagi. “Syaitan sedang mengganggu shalatku.”
Usai shalat, Ajar berniat pulang. Ia menapak ke arah belakang kampus. Seketika tampak Pak Norman yang menyeka absen dosen ke wajahnya waktu itu. Ia tertawa kecil. Sepedanya mulai di tarik dan diputar arahnya. Lalu sepintas, ada visual yang berbeda. Itu tidak seperti biasanya. Dinding pagar itu seharusnya berwarna putih. Tapi, sekarang ada semacam coretan hitam. Mata Ajar langsung menoleh dan memperhatikan nuansa visual yang berbeda itu.
“Tuhan, maafkan diri ini, yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya. Namun, apalah daya ini bila ternyata, sesungguhnya . . . Aku terlalu cinta dia.” Di bawahnya tertera sepotong nama. “Alya”
Pikiran Ajar lengang. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Lalu menggiring sepedanya dari belakang gedung itu. Ia berjalan pelan. Melihat lorong itu. Mereka terhempas karena tertabrak. Melihat ke bagian depan, Alya berdiri dengan wajahnya yang memerah, dan di lapangan tengah, ia yang sedang push up dan melihat wajah Alya, ia memang cantik. Hingga sampai ke gerbang kampus. Ia menaiki sepedanya dan mengayuhnya sambil berdiri. Ajar melaju kencang dan beberapa tetes airmatanya terhempas ke belakang.
Ia memacu sepedanya secepat mungkin. Bukan ke rumah Alya, namun arah sebaliknya. Ajar tidak tau apakah mereka sudah berangkat atau belum. Jika sudah, ia akan mengejar mobil mereka sejauh mungkin. Jika belum, tentu mobil itu tidak lama lagi akan melewatinya.
Kayuhan itu cepat sekali. Namun secepat apapun, sepedanya hanyalah sepeda biasa. Bukan seperti sepeda gunung atau sepeda balap yang mempunyai gear untuk memilih tingkat kecepatan kayuhan yang berbeda. Ajar tidak memikirkan apakah mobil itu sudah lebih dulu di depan atau masih di belakang. Ia hanya berpikir sepeda itu harus melacu secepat mungkin dan memperhatikan setiap mobil yang menyalipnya.
Benar, beberapa menit kemudian mobil Alya lewat. Lajunya tidak terlalu cepat. Namun ia tetap saja tertinggal.
“Alya.!!” Ajar berteriak. Bahkan tak cukup sekali.
Ia tetap mengayuh.
** 29 **
Wo Ai Ni
“Ayah, berhenti.!! Alya memekik di dalam mobil. Sementara Pak Danish tidak menghiraukannya dan menambah kecepatan kendaraannya. Ibu Alya mulai bingung karena Alya tak berhenti memekik di belakang. “Berhentilah bang, kau tak kasian melihat anak kau. Ini hari terakhirnya di sini. Kasikanlah kesempatan untuk anakmu berjumpa dengan kawannya.” Ibu Alya mencoba memberi masukan. Sementara Alya tetap menangis di belakang, seperti orang histeris. Beberapa kali ia melihat ke belakang. Melihat Ajar yang mulai jauh.
Kaki Ajar tidak bisa lagi mengayuh lebih cepat daripada itu. Ia semakin panik karena mobil itu semakin menjauh. Dan tiba-tiba, kakinya keram. Dari rumah ia sudah memacu cepat sepedanya dan sekarang batasnya sudah sampai. Kakinya yang keram mengacaukan ritme dayungan dan akhirnya... Brakk !!! Ajar tersungkur jatuh.
Alya benar-benar melihat Ajar jatuh. Lantas ia membuka pintu mobilnya. “Kalau ayah tidak berhenti sekarang juga, alya lompat ke luar.” Alya mulai nekat. Sontak Pak Danish terkejut dan memarahinya. Alya mulai mengeluarkan kakinya dan... mobil itu pun berhenti. Pak Danish benar-benar tau bahwa Alya pasti akan benar-benar melompat jika mobilnya tidak berhenti.
Alya, ia mengambil sebuah pulpen dan langsung berlari secepat mungkin ke arah ajar yang terjatuh dari sepedanya. Tangan kanan dan kirinya mengangkat ujung bawah gamisnya sedikit ke atas agar itu tidak memperlambat. Ia tau bahwa dalam sekejab, ayahnya akan datang dan menariknya masuk ke dalam mobil lagi.
Ajar, ia menyeret sepeda dan dirinya ke pinggir. Ia bahkan tidak bisa berdiri. Sikunya lecet dan hidungnya berdarah karena menghantam setang sepeda. Ajar melihat Alya berlari dan tertawa sambil mengelengkan kepalanya. Alya pun demikian, berlari dan menangis sambil tertawa.
“Kau memang mirip ayahmu.” Ajar tersenyum.
“Kau tentu tak akan mengejarku seperti jika tidak ada sesuatu. Berikan tanganmu!” Alya, sambil menoleh ke belakang dan melihat mobil ayahnya mulai mundur.
“Berikan tanganmu!” Alya meraih tangan Ajar dan menuliskan nomor ponselnya dengan cepat. Dan mobil itu sudah tepat berada di belakang mereka.
“Tuliskan nomer mu. Cepat !!” Alya memberikan pulpen itu kepadanya.
Ia lantas bergegas meraih tangan Alya dan menuliskannya. Sementara Alya sudah panik sambil melihat ayahnya yang sudah turun dari mobil dan mulai menghampiri mereka.
“Sudah !” Ajar melepas tangannya.
Alya lantas berlari dan masuk ke mobil sebelum ayahnya datang untuk menarik tangannya.
“Kau memang sudah meracuni anakku.” Itu bentakan terakhir. Mungkin jika kondisi Ajar tidak seburuk itu, ia pasti akan di hajar lagi. minimal ditampar.
Pak Danish menghampiri Alya dan menuju pintu di mana Alya duduk. Ia melakukan sesuatu kepadanya di dalam mobil. Ajar tidak bisa melihat apa yang dilakukan Pak Danish dari sana. Setelah selesai, ia menutup pintu dan melihat Ajar dengan ngeri. Namun, pelototan mata orang tua itu menjadi tidak menyeramkan lagi di mata Ajar. Mungkin karena setelah dipukuli hari itu.
Ketika mobil hendak berjalan. Kepala dan tangan Alya mendongak ke luar. “Tanganku diikat” tuturnya sambil memperlihatkan kedua tangannya yang terikat. Ia bahkan tertawa. Ajar yang melihatnya, juga tertawa. Dan hari itu menjadi hari terakhir mereka bertemu.
Dua jam perjalanan, mereka sudah sampai di bandara. Tentu ikatan tangan alya sudah di lepas. Pak Danish terus mengomel karena jadwal penerbangan Alya hampir terlambat. Mereka bergegas. Alya mohon izin. Wajahnya gemilang. Ia mencium tangan ibunya. Dan ketika Pak Danish memberikan tangannya untuk disalami, Alya langsung berlari menuju lapangan bandara.
“Hei...! salami dulu ayahmu.
Alya menggeleng sambil tertawa. Ia benar-benar tak mau menyalami ayahnya.
Alya menaiki pesawat dan tak lama kemudian meluncur terbang. Sepintas ia mengambil ponsel-nya dan menyetel flight mode agar ia tetap bisa mendengarkan musik dari ponselnya tanpa mengganggu sinyal di pesawat. Seraya melakukan itu, Ia juga ingin memasukkan nomor ponsel ajar ke ponselnya dengan segera. Jika tidak tulisan itu akan kabur. Alya mulai memperhatikan telapak tangannya.
Seketika ia tertawa pelan, juga menangis. Melihat telapak tangannya berkali-kali. Juga melihat gumpalan awan dari balik jendela pesawat. Alya bahkan tidak curiga sama sekali, kenapa Ajar bisa dengan cepat menulis 12 digit nomer di tengah kepanikan seperti itu. Ia baru sadar, waktu itu hanya dia yang panik sementara ajar tidak. Tulisannya dilukis bagus. “Wo ai ni.” Keputusan yang tepat untuk mengungkapkan cinta di waktu sesingkat itu. hanya butuh 6 huruf untuk 3 kata.
** 30 **
Rahasia di balik kayuhan Itu
Sebulan libur telah berlalu. Mahasiswa berdatangan untuk mengurus administrasi perkuliahan semester genap. Beberapa di antara mereka ada yang baru pergi ke bank untuk menutup SPP. Beberapa sudah bisa duduk santai sambil berbagi cerita karena lama tidak berjumpa.
Riuh datang bersama Amina. Sepertinya, tidak lama lagi mereka akan menikah. Riuh sering datang ke rumah Amina pada hari libur. Ia bahkan sangat berani berbicara dengan ayahnya amina. Waktu itu, Riuh banyak dicecar pertanyaan. Ia menjawab dengan cepat. Seperti dibuat tidak betah, Ia langsung berkomentar, “Boleh kah saya menikahi anak ayah?”. Aminah yang menguping pembicaraan mereka di luar jendela, tertawa geli. Ayah Amina pun terpaku dengan jebakannya sendiri.
Ajar, ia datang dengan sepeda. Amina menunggunya di lorong arah ke belakang kampus. Ajar kemudian berhenti. Amina menutup jalannya dan tidak berbicara.
“Hei amina, janganlah tutup jalanku...” Ajar tersenyum setengah tertawa.
Jelas amina terkejut. Obat apa yang telah diberikan Alya kepadanya sampai sakit jiwanya sembuh. Wajah Amina melongo dan mulai memberi jalan. Ajar lewat dan Amina mengikut di belakangnya.
“Hei Jar, aku tak salah liat? Kau biasanya sangat diam.” Amina bertanya serius.
“Apakah kau sudah mendaftar ulang?” Ajar memotong pembicaraan.
“Sudah.” Amina menjawab tertegun
“Aku belum. Apakah antriannya sudah panjang?” tuturnya sambil menepuk abu jalanan yang tersangkut di celananya.
“Cepatlah kau pergi, mungkin sebentar lagi akan panjang.”
Ajar mengambil tasnya di keranjang depan dan bergegas pergi. sedang Amina masih di sana dan memperhatikan sepedanya. Tidak adalagi dua keranjang sampah. Pedal dan alat kayuhan itu pun tampak baru. Tampak lebih menjanjikan. Lalu, Amina memutar arah dan ingin meninggalkan tempat itu. Seperti Ajar yang sedang di sana sebulan yang lalu. Amina melihat tulisan Alya yang terpampang besar di pagar beton belakang. Tulisan itu ditulis dengan arang. Lalu di bawahnya ada bentuk tulisan yang berbeda. “Kau adalah cut dan aku bukan teuku.” “Sesuatu telah terjadi.” Besitnya dalam hati. Kemudian, tulisan di dinding pagar itu difoto Amina.
Setelah zuhur, Amina dan Riuh menunggu Ajar di tangga mushalla. Cerita singkat tentang pertemuan Amina dengan Ajar tadi pagi diceritakan kepada Riuh. Riuh setengah percaya. Tak lama kemudian Ajar keluar dari dalam mushalla. “Bagaimana kalau kita duduk di luar sebentar, minum kopi mungkin?” Riuh mengajaknya. “Kenapa tidak.” Ajar tersenyum tenang. Lantas Riuh memukul-mukul bahunya sambil tertawa girang. “Ku kira, Amina tadi membohongiku.”
Sesampainya di warung kopi, Amina dan Riuh menanyakan semuanya. Ceritanya dan Alya dari awal sampai akhir. Butuh waktu hingga tiga jam untuk menjelaskan semuanya. Itu pun tidak utuh. Amina dan Riuh mendengarkannya dengan baik tan takjub.
“Lalu, sepeda kau tampak baru. Kau tidak menaruh keranjang sampah di bangku belakang. Itu juga termasuk hal yang berbeda dari kau hari ini, kenapa?”
“Aku hanya mengganti alat kayuh yang dibelikan Alya. Dua keranjang itu tidak ada karena aku tidak meloper koran lagi. Kalian tau gudang penampungan pinang di tikungan sana,?” –amina dan riuh mengangguk- “Aku sudah bekerja di sana sebagai akuntan.”
“Wah, hebat kau, gam.!” Riuh takjub.
“Kau pasti kangen dengan dia, kan? Tak jumpa dia, alat dayungnya pun jadi.” Amina tertawa.
“Ada benarnya juga. Kalau dia pulang, aku tentu akan mengganti alat kayuh itu dengan yang lama.”
“Kenapa?”
“Supaya waktu dia duduk di belakang, dia bisa mendengar bunyi denyitan dan hentakan itu lagi.”
Riuh tertawa, Ajar pun demikian. Sedang Amina melihat keduanya.
“Kejam lah kau Jar, tega kau tak menjawab pertanyaannya yang banyak itu. Kau malah memperdengarkan suara denyitan itu.”
“Ya benar, aku sekarang pun berpikir demikian. Itu memang kejam. Tapi, aku yang waktu itu, cuma ingin memperdengarkan suara itu kepadanya sebagai sebuah pesan.”
“Apa itu?” Mereka mulai memusatkan perhatiannya.
“Bunyi denyitan itu, ciieeeet, lalu aku harus menarik kayuhanku ke sedikit belakang supaya rantainya tidak jatuh. Kemudian kayuhan itu harus kudayung ke depan lagi, tapi kayuhan itu sedikit loss sepersekian detik dan memunculkan suara hentakan “takkk.” Waktu itu, ku harap ia tau, bahwa suara denyitan sepeda ini sedang mewakilkanku untuk menjawab semua pertanyaannya.”
“Ku kira kau sudah sembuh total jar.” Riuh mencandai dan ajar tertawa.
“Coba kau bayangkan baik-baik. Suara denyitan dan hentakan itu hampir sama dengan kata cinta.”
“Bagaimana bisa.” Mereka heran dan mulai tertawa.
“Cieeeettt takkk, = Cinta.” Ajar menjelaskan sambil menuliskannya di selembar tisu. Lantas tawa mereka pun pecah.
“Ya, bagaimana mungkin dia boleh mengerti tentang itu. Aku pun bodoh sekali. Kenapa sampai berpikir demikian.”
Ajar tertawa. Ia tampak riang. Kemudan Amina dengan sekejab mengambil ponselnya dan mem-foto Ajar dengan ekspresi itu, tanpa di ketahui. Lalu Amina meng-upload gambar tulisan di pagar itu dan wajah ajar yang tertawa sekarang ke salah satu media sosial. Ia menulis status di atas gambarnya, “suara denyitan dan kayuhan. Cieeeett.... takkk = Cinta. :D. Kawanku ini tertawa lepas menceritakannya.”
Tak lama kemudian, satu pemberitahuan masuk. Alya menjadi orang pertama yang menyukai status itu. Amina tersenyum, “Berarti pesan ini sampai.”
“Jar, kenapa kau tak membeli ponsel saja? kau pasti akan membutuhkannya.”
“Ya, ku rasa aku mulai membutuhkannya sekarang.” Ia menggaruk keningnya dan tertawa lagi.
Komentar
Posting Komentar