Langsung ke konten utama

KAYUHAN TAK SEMPURNA:‎ ‎(Analogi Nilai 1 Sampai 9 dari Angka 10)‎

Gambar terkait

‎** 1 **‎
Kampus Kumuh

Di lantai tiga, ada empat ruangan yang berjejer dengan masing-‎masing dua daun pintu. Cat dindingnya mulai lapuk dan terkelupas. ‎Kursi senyawa meja tampak berserakan di dalam ruang. Banyak guratan ‎stip-X di atasnya, bahkan di dinding. Kebanyakan tentang pernyataan ‎cinta, konsep jawaban untuk ujian final sampai pola gambar tak jelas. ‎seperti ekspresi dari rasa bosan, renungan buram dan hal rumit lainnya.‎
Sepanjang lorongnya berserakan sampah. Kertas-kertas yang ‎diremas padat, bungkus makanan, sampai puntung rokok. Belum lagi ‎beratus helaian daun kering yang terbang dibawa angin. Suasananya ‎tidak bagus, bahkan terasa mistis kala sinar senja mulai menyingsing.‎
Itu kampus Ajar. Walaupun seperti rumah sakit jiwa. Bukan. ‎Bahkan rumah sakit jiwa tidak seperti itu. Namun dengan serta merta ‎harus diterima. Coretan nakal para mahasiswa di dinding dan kursi meja ‎adalah seni lukis langka yang tidak pernah ditemukan di tempat ‎manapun. Kertas yang diremuk padat dan ditebar di lantai bisa jadi ‎bunga putih yang terhempas secara acak. Hanya saja, perlu sedikit warna ‎untuk membuatnya lebih indah. Dan, sempurna!‎
‎“Aku turun duluan, kau bereskan absen si norman dan isi ‎materinya dengan tanggal yang benar. Jangan sampai dia meradang ‎karena salah kau isi seperti semester lalu, gam_‎ ‎*” Riuh terburu-buru.‎
Riuh adalah seorang petani sawah. Ia tidak akan pernah tenang ‎saat sedang musim panen. Apakah itu panen di sawahnya, atau di sawah ‎orang lain. Dia pernah berkata bangga, “Selagi itu menghasilkan, untuk ‎apa malu meskipun dipermalukan.”‎
Kali ini musim panen sedang mendulang di kampungnya. Berarti, ‎tidak ada jam belajar full untuknya hari ini, begitu juga hari-hari yang ‎berikutnya.‎
‎“Hei, mau kemana kau, gam!”, ini macam mana?”‎
‎“Tak usah kau takutkan, dia suruh aku untuk kasikan absen dosen ‎ini untuk kau. Dia bilang, isikan yang benar, kalau tidak kau tak lulus ‎mata kuliahnya.”‎
‎“dia tak kasi materi apa-apa kepada kau?”‎
‎“Tak, tadi aku lewat di depan kedai runcit, dia sedang mesra sama ‎istrinya berbelanja pagi. Ku liat, keningnya mengerut, seperti orang ‎takut.” Riuh mulai tertawa dan langsung menuruni anak tangga.‎
Ajar masuk dan mengumumkan pagi ini tidak ada kuliah. Serontak ‎suara gemuruh riang bergema. Seperti mendapat angin segar di kelas ‎kumuh itu. Dalam hitungan detik, teman-temannya beranjak pergi dan ‎berdesak-desakan di pintu. Daun Pintu itu sengaja dibuka satu, hanya ‎untuk merasakan sensasi berdesak-desakan. Konyol memang, tapi itu ‎pemandangan biasa. Seperti mendarah daging. Hanya butuh script dan ‎casting serta pencahayaan yang baik untuk membuat kebiasaan itu ‎menjadi sebuah pertunjukan seni teater kolosal.‎


‎** 2¬ **‎
Ajar ‎

Ajar, ia pendiam dan pemurung. Bukan. Maksudnya tidak seperti ‎pemurung yang tampak di video klip lagu sedih. Ia hanya tidak tertawa ‎ketika teman-temannya tertawa. Wajahnya kaku. Tidak ada raut sedih ‎dan senang. Seperti manusia tanpa saraf respon. Tidak ada gerakan alis, ‎tidak ada pipi yang mengembang atau mengempis, tidak ada suara keras ‎dan segenap ketiadaan lainnya. matanya yang menatap hanya seperti itu ‎saja. Kosong. Seperti mata ikan asin.‎
Tidak ada hal yang istimewa dari Ajar. Ia tidak terkenal seperti ‎Riuh yang setiap hari meloncat tak kenal lelah. Siulan khas yang ‎dicuitkan ketika para perempuan datang dengan alis mata yang naik ‎turun. Perempuan mana yang tidak tertawa melihatnya selalu melakukan ‎itu. Setiap kali “pancingannya” digigit, ketika itu juga ia mengatakan ‎kepada Ajar, “Amboi jar, tak nak kau macam aku?”‎
Ajar juga sering jadi cemoohan, katakan saja seperti Pak Norman, ‎selalu mengatakan, “jadi lah kalian macam si Ajar tu, macam orang bisu ‎kah pakak kah, kita suruh buat A dia buat B.” Meskipun ditertawakan ‎oleh beberapa dosen dan temannya. Ajar tetaplah Ajar.‎


‎** 3 **‎
Checkpoint dan Keberkahan Rezeki

Subuh menjelang pagi. Langit belum begitu terang. Kendaraan ‎yang berlalu lalang di jalan juga masih sepi. Para tupai pun masih berani ‎berlarian di kabel telpon sepagi itu. Tanah di pinggir jalan masih lembab ‎karena embun semalam. Suasana itu yang terus di lihatnya, sambil ‎mengayuh sepeda bututnya yang berkeranjang depan. Selalu ada suara ‎denyit di setiap kayuhan. Padahal ia sudah menyiramkan banyak oli ‎bekas di poros kayuhan itu agar tidak berbunyi. Tidak ada nyanyian ‎pagi, tidak ada tolehan pandangan yang berarti, hanya kayuhan sepeda ‎yang bersahut sapa. Pelan dan mengasyikkan.‎
Ajar harus menempuh jarak 21 Km untuk sampai ke kampusnya. ‎Satu demi satu tempat singgahan dilaluinya. Ia melabelkan tempat itu ‎dengan sebutan checkpoint. Suatu tempat yang sebenarnya adalah rumah ‎relatif mewah, warung kopi, kios dan kantin. Ia seorang loper korang.‎
Surat kabar itu selalu ia antarkan setiap pagi. Beberapa tempat ‎sudah menjadi langganan. Namun tidak sedikit pula yang membeli ‎harian. Suara uang koin yang jatuh di tangan saat di beri adalah hal yang ‎biasa. Begitu pula saat kakinya naik turun mengayuh sepeda. Koin-koin ‎itu saling beradu di saku celana. Terkadang sakunya jadi membengkak. ‎Karena pembeli lebih suka memberi uang receh pada loper koran itu. ‎Terkadang juga uang putus. Uang yang semestinya mempunyai harga ‎seribu, namun angkanya menjadi seratus. Kadang pula ada yang hutang ‎untuk harga 3000 rupiah, padahal sekelas warung kopi. ‎
Ia bukan seorang penuntut. Meskipun juga, ia tidak mendapatkan ‎untung di hari itu, bahkan rugi. Tidak ada suara protes. Tidak membuat ‎ribut. Hanya diam saja manakala ia ditipu. Lantas ini yang membuat para ‎pelanggan menaiki kepalanya. Pernah dalam beberapa minggu, ia rugi ‎selalu. Jumlah modal yang harus disetor ke pemasok tidak cukup. Acap ‎kali ia dimarahi, dikatakan bodoh, dungu, goblok dan sebagainya, baik ‎dengan kata kasar, sering juga dengan tawa cemoohan.‎
Karena itu, ada semacam 2 keranjang yang dibalut dengan karung ‎beras. Tepatnya di bangku belakang sepeda. Setiap kali ia melihat botol ‎mineral, atau kaleng bekas di pinggir jalan, ia memungutnya. Keranjang ‎sebelah kanan, ia memasukkan botol dan kaleng tersebut. Sementara ‎keranjang sebelah kiri, adalah sampah-sampah yang ia pungut di sekitar ‎tempat botol air mineral dan kaleng bekas itu dibuang.‎
Inilah inisiatif bila ketika rutinitas paginya tidak membawa laba ‎atau sedang rugi. Seraya membersihkan lingkungan sebisa mungkin ‎untuk mengharapkan keberkahan rezeki. Ia bisa mengganjal kerugiannya ‎dengan menjual barang pungutan itu ke gudang pembeli sampah sejenis ‎itu. Walau hanya sedikit, setidaknya dapat menutupi atau mengurangi ‎kekurangan setoran.‎
Selalu seperti itu setiap pagi. Seperti mesin yang tak pernah ‎berhenti. Tidak ada kelelahan, malu bahkan minder. Semuanya dilakukan ‎sejauh itu masih benar dan wajar. Mengantar koran dan memungut ‎sampah di pinggir jalan, mungkin sebuah kewajaran menurutnya.‎


‎** 4 **‎
Ada Sesuatu di Lubang Pembuangan Sampah

Pagi-pagi sekali, suasana kampus menjadi hingar bingar. Suara ‎check sound terus menggema, tak seperti hari-hari biasa. Suaranya bahkan ‎sampai ke simpang, jalan masuk kampus. Ajar yang baru mau sampai, ‎menoleh ke arah kampusnya dari pinggir jalan. Rutinitas setahun sekali. ‎Saat calon mahasiswa baru berkumpul untuk mengikuti kegiatan ‎orientasi.‎
Ia sampai dan memarkir, namun bukan di tempat parkir. Ajar  ‎membawanya ke belakang gedung kampus dekat kantin. Tidak jauh dari ‎tempat pembakaran sampah. Dulu pernah ada orang yang menaikkan ‎sepedanya ke pohon. Ada juga yang menjungkirkan sepedanya dengan ‎setang ke bawah dan roda ke atas. Entah itu ejekan, atau keisengan ‎semata. Hal itu terjadi berkali-kali dan terus ia tangani berkali-kali pula. ‎Tanpa bertanya, tanpa mencari tau, tanpa mengeluh dan segenap ke-‎tanpa-an lainnya.‎
Pernah suatu ketika, sepedanya yang diparkirkan di tempat parkir ‎itu hilang. Ia melihat ke pohon dan sekeliling parkiran, terus mencari. ‎Beberapa orang ia tanyai. “Liatkah kau sepedaku, gam?”, Beberapa dari ‎mereka tidak tau, ada pula yang tertawa geli.‎
Di sanalah sepeda itu disembunyikan. Belakang gedung belajar ‎kampus. Tepatnya lokasi pembakaran sampah. Sebuah lubang dengan ‎diameter yang luas.  Sepedanya dilempar ke lubang sampah itu. Memang ‎kejam. Ia mencoba menariknya ke pinggir mengambil kayu karena ‎lubang itu masih panas karena tumpukan sampah yang baru dibakar tadi ‎pagi. Lama, sampai peluhnya bercururan.‎
Ketika sepedanya berhasil diangkat dari lubang itu, kondisinya ‎buruk. Ban-nya bocor karena terbakar. Bangku duduk depan dan ‎belakangnya pun cacat. Busanya hangus dimakan api sampai besi ‎tulangnya tampak. Lantas ‎ ia mengambil se-ember air dan ‎mendinginkannya.‎
Sepeda itu selalu membawanya setiap hari. Namun hari itu ‎menjadi terbalik. Sejauh 21 Km, Ia berjalan bisu menggiring sepedanya. ‎Semenjak itu pula, lahan parkiran menjadi tempat yang tidak aman. Dan ‎gedung belakang kampus adalah tempat yang layak. Sejauh sepedanya di ‎sana, perlakuan zalim itu tidak pernah terjadi lagi. Sampai itu menjadi ‎salah satu rutinitas pagi, sebelum masuk perkuliahan.‎


‎** 5 **‎
Ditabrak

Merubah setelan dan menghempas debu jalan yang tersangkut di ‎bajunya, ia bersiap untuk keluar dari balik layar. Langkahnya pelan tanpa ‎suara detupan. Hanya sepatu apek, sejenis sepatu shaoilin. Terbuat dari ‎kain tebal yang mudah untuk dicuci dan dikeringkan. Sampai Ia dijuluki ‎misdirection oleh mahasiswa jurusan bahasa inggris karena muncul dari ‎belakang dengan tiba-tiba tanpa hawa keberadaan.‎
Dalam sekejap halaman kampus menjadi putih. Para calon ‎mahasiswa dengan topi kerucut dan tas goni bergegas merapat membuat ‎barisan. Suara-suara lantang keluar dari speaker dengan nada menggertak. ‎‎“Kalau kau semua tak merapat, ingatlah benar-benar bila seniormu ‎meradang!!.” Tidak ada calon mahasiswa yang berjalan santai pagi itu. ‎semuanya bergegas seperti kerumunan sapi putih yang dihalau gembala ‎untuk masuk ke kandang. ‎
Ajar berjalan pelan di lorong teras depan kampus. Wajahnya terus ‎memaling ke arah lapangan tengah. Melihat keriuhan itu dengan terus ‎berjalan. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derapan langkah cepat. ‎Tarikan nafas terkejut melejit dari tenggorokan. “hakkk!!” Ia ditabrak ‎seorang perempuan berkacamata, tanpa sempat menoleh ke belakang. Itu ‎tabrakan yang kuat. Keduanya terhempas dan jatuh. Lalu, pelan-pelan ‎Ajar bangkit dan menepuk abu lantai di celana dan bajunya. Ia melihat ‎perempuan itu yang masih terduduk, tanpa mengucapkan satu kata pun. ‎Lalu Ajar beranjak pergi dan tak menoleh ke belakang.‎


‎** 6 **‎
Wahai Layang-Layang

Ajar telah yatim 10 tahun lalu. Kemudian piatu 4 tahun setelahnya. ‎Ia anak semata wayang. Sebenarnya, Ajar punya kakak. Namun mereka ‎tidak pernah berjumpa. 3 bulan setelah lahir, kakaknya telah meninggal ‎dunia. Itu sebabnya ia begitu disayang. Kehidupan  keluarganya berubah ‎Pasca ayahnya meninggal dunia. Ibunya mulai sakit-sakitan sejak saat itu. ‎Tidak ada sosok yang menjadi tulang punggung keluarga. Hidup dengan ‎apa adanya. Tidak ada lauk ikan setiap hari, tidak ada pakaian baru, ‎bahkan dunia kecilnya pun ikut menghilang. Anak itu putus sekolah.‎
Di umur 11 tahun, ia sudah mengupah ke sawah dan kebanjiran ‎jam kerja. Merapikan pematang sawah seluas 1.600 m2 hanya dihargai ‎‎40.000 rupiah. Mencabut rumput setengah hari 15.000 rupiah. Memanen ‎padi hingga proses perontokan, ia hanya diberi padi seperempat karung. ‎Sudah barang tentu para petani itu lebih suka mempekerjakannya dari ‎pada orang lain. Memang ada yang iba dengan memberi upah lebih, tapi ‎itu sedikit.‎
Selama itulah, Ajar harus merawat ibunya dan mencari beras. ‎Ibunya meninggal saat ia sedang tidak berada di rumah karena meladang ‎di kebun orang. Ketika itu, ia pulang sore hari dan langsung memasak, ‎menyiapkan makanan untuk ibunya. Sempat beberapa kali Ajar ‎membangunkan ibunya yang sudah tiada. Ia tetap tidak memaksa karena ‎mungkin ibunya sedang tertidur pulas.‎
Jam 10 malam sudah berlalu beberapa menit, sedang ia masih ‎duduk menunggu ibunya bangun. Nasi dengan lauk minyak dan ikan ‎asin itu sudah dihinggapi lalat berkali-kali. Selama itu pun ia belum ‎sadar. Jam 12, ia kembali menggoyangkan tubuh ibunya. Sampai rasa ‎kantuk mendera. Ajar tidur di samping ibunya. Ia memegang tangan ‎ibunya yang dingin, dan memeluknya sampai esok.‎
Usai shalat subuh, ia baru menyadari bahwa ibunya sudah tiada. ‎Biasanya, ibu Ajar  sudah bangun untuk berwudhu’ dan shalat. Subuh ini ‎tidak demikian. Ia langsung bergegas ke rumah tetangganya yang jauh di ‎seberang kebun, untuk mencari bantuan. Lalu, Ibunya disemayamkan ‎siang itu juga.‎
Doa-doa dipanjatkan dengan kusyu’ di pusara. Seorang demi ‎seorang beranjak pulang dari lahan pemakaman. Ajar masih di sana dan ‎membaca beberapa doa. Lantas Datuk_‎ ‎) mengelus kepalanya dan ‎mengangkatnya bangun untuk pulang. Langkah setapak membawa ‎mereka semakin jauh. Sedang matanya tetap menoleh ke belakang, ‎melihat ibunya yang telah beristirahat sendirian di sana.‎
Datuk mengajaknya untuk pulang ke kediamannya. Namun Ajar ‎tidak mau dan hanya ingin pulang ke rumahnya sendiri. Ia langsung ‎beranjak dan berjalan setapak tanpa berkata banyak. Di bawah sebuah ‎pohon, ia duduk merangkul lutut sambil melihat bocah-bocah bermain ‎layang di pelantaran sawah, bersama ayah mereka. Sejenak ia ‎menengadah ke atas, melihat layang-layang yang mengambang lepas. ‎Lalu air matanya pun jatuh dengan segera.‎


‎** 7 **‎
Karena Dia Cantik...‎

Perempuan itu melihatnya aneh. Itu bukan sikap manusia normal. ‎Semestinya ada reaksi jika seseorang ditabrak orang lain. Bisa saja marah ‎atau memaki, bisa juga menanyakan keadaan dan menunggu ia bangun. ‎Tapi sikapnya terlalu dingin. Tak terpahamkan.‎
Perempuan itu bergegas bangun dan merapat ke barisan. Ia sudah ‎telat. Para senior dengan congkaknya membentak keras. Bahkan orang tua ‎perempuan itu tidak pernah bersikap demikian.‎
‎“Pincang kaki kau, neung_‎ ‎)?”‎
‎“tak bang”‎
Lalu semua senior berkumpul berdiri di hadapannya. Seperti ‎kerumunan Heina yang mendapatkan anak rusa. ‎
‎“Siapa nama kau, neung?”‎
‎“Cut Alya Syah Alam.”‎
‎“Prodimu!!??”‎
‎“Mahasiswa Fakultas Dakwah program studi Komunikasi dan ‎Penyiaran Islam.”‎
‎“Kau calon, neung!!!, siapa yang cakap kau mahasiswa!!!???”‎
‎“Calon Mahasiswa Fakultas Dakwah program studi Komunikasi ‎dan Penyiaran Islam.”‎
‎“Kenapa kau terlambat, apa pasal!!?”‎
‎“Tadi, bila saya nak ke sini, saya ditabrak orang dan terjatuh kat ‎sana.”‎
‎“Kenapa jatuh, pincang kau, !??” bahasanya mulai tak enak.‎
‎“Saya ditabrak seseorang kat sana, bang.” Alya meyakinkan ‎mereka.‎
Penjelasan Alya mulai tak di dengar, dianggap alibi. Ketua ospek ‎itu menyuruhnya untuk mencari laki-laki itu sebagai pembuktian bahwa ‎Alya benar-benar jatuh karena ditabrak olehnya. Lalu, Alya bergegas ‎untuk mencarinya. Belum sampai beberapa meter. Langkah cepatnya ‎berhenti. Mahasiswa otoriter itu kembali meradang dan meneriaki ‎dengan keras kenapa ia berhenti. Lantas, Alya pun menunjuk Ajar yang ‎sedang duduk mengelus seekor kucing.‎
Ajar di panggil oleh mereka, panitia ospek itu. Mereka seniornya. ‎Ia berjalan dan mendekat. Berdiri di hadapan calon mahasiswa baru. Itu ‎seharusnya memalukan. Sang ketua mulai menanyakan perkara itu, ‎dimulai dengan intonasi lembut.‎
‎“Gam, apa benar kau menabraknya?”‎
Ajar hanya diam dan melihat Alya untuk kedua kalinya.‎
‎“Gam!!, benar kau menabrak adek ini!?” suaranya kembali ‎mengasar.‎
Ajar tetap diam dan mulai memandang mata sang ketua. Merasa ‎malu diacuhkan di depan para senior mudanya, Sang ketua pun mulai ‎memperbaiki martabatnya.‎
‎“Sebut nama kau dan Turun, 25 kali!!”‎
Seketika itu pula, Ajar langsung tengkurap dan push-up. 25 kali ‎dengan menyebut namanya sebanyak itu pula. Diselesaikan tidak lebih ‎dari satu menit. Lalu ia bangun kembali dan membersihkan telapak ‎tangannya.‎
‎“Turun kau, neung, 15 kali. 10 kali untuk terlambat, 5 kali karena ‎berbohong.”‎
Alya terkejut. Ia bahkan tidak pernah tengkurap naik turun seperti ‎itu. Alya melihat ke arah Ajar dan matanya berkaca.‎
‎“Turun,!!! Pakak kau, neung??!!”‎
Alya mulai jongkok dengan pelan dan menapak tangannya di ‎lantai.‎
‎“Aku menabraknya kat sana, dia sedang bergegas untuk ‎berkumpul kat sini.!” Ajar cepat mengomentari.‎
‎“Kenapa kau menabraknya?” pertanyaan itu halus namun ‎bernuansa ancaman.‎
‎“Karena dia cantik.” Sahutnya sambil melihat ke arah Alya.‎
Seketika, tawa para calon mahasiswa membahana ke seluruh ‎penjuru kampus. Sang ketua meringis marah dengan wajah merah. Ajar, ‎dia tidak banyak berbicara dan mulai turun menggantikan push up Alya. ‎‎15 kali sesi pertama. 15 kali sebagai denda dan 15 kali lagi sebagai bunga. ‎Seperti bunga tabungan di bank. Konsep riba dalam hukuman.‎
Alya. Ia hanya tertegun. Wajahnya memerah. Di 5 kali push-up ‎terakhir. Ajar melihat wajahnya untuk ketiga kali. Dia memang cantik.‎


‎** 8 **‎
Kegusaran

Cut Alya, rumahnya tidak jauh dari perguruan tinggi tempat ia ‎belajar. Sebenarnya kampus itu bukan pilihan utamanya. Masih banyak ‎kampus lain yang lebih bagus dan berkelas. Tapi orang tuanya ‎menghendaki demikian. Siapa yang ingin masuk ke kampus yang tidak ‎terkenal itu.? tidak untuk para remaja kota setempat. Hanya orang-orang ‎kampung, dan sedikit kalangan menengah ke atas. Mungkin orang-orang ‎elit itu takut anaknya jauh dari mereka. Termasuk orang tua Cut Alya ‎Syah Alam.‎
Gusar memang melihat pemandangan yang tidak biasanya. ‎Sekolah Alya dulu di kota, Suasananya selalu riuh. Teman-temannya ‎berpakaian bagus dengan trend masa kini. Fasilitas sekolah lengkap, ‎Aula, ruang belajar AC dilengkapi projector. Lapangan olah raga yang ‎layak. Toilet yang mewah serta kelebihan lainnya. Dan itu berbeda ‎dengan perguruan tingginya sekarang. Berbanding terbalik 180 derajat.‎
Ia sebenarnya risih dan harus beradabtasi. Dengan kualitas fasilitas ‎kampus seperti itu, dengan teman-teman yang cenderung tak seperti ‎biasanya. Seperti Ajar. Beda sekali dan sedikit aneh. Sejak hari itu, Ajar ‎menjadi orang yang paling berkesan di benaknya. ‎


‎** 9 **‎
Norman yang Mengamuk

‎“Ajaarrr...!!! Ke mari kau!!??” Pak Norman berteriak dari jauh.‎
‎“Gam, aku tak berurusan dengan ini ya, kau saja.” Riuh pergi ‎meninggalkannya.‎
Ajar berjalan pelan dan menghampiri. Pak norman kali ini ‎mengamuk melihatnya. Tangan Ajar ditarik dan dibawa ke belakang ‎gedung kampus. ‎
‎“Sengaja kau salahkan absenku, supaya aku di marahi, iya!” Nada ‎suaranya geram dengan suara pelan agar orang di sekitaran itu tidak ‎mendengarnya.‎
‎“Pak, saya sudah mengisinya dengan betul.”‎
‎“Kau liat ini, kau liat ini..!!!” Pak norman menyelakan absen dosen ‎itu ke wajahnya sambil menoleh ke belakang beberapa kali.‎
‎“Ini dirubah orang pak. Terstip-ex.” Jawabannya tidak tinggi, ‎namun juga tidak takut.‎
‎“Kau tau dekan tua itu, memaki ku karena itu, bisa-bisa aku ‎dipecat gara-gara kau.”‎
Ajar acuh lalu pergi. Dia tidak mau menjawab dan meladeninya. ‎Pak Norman semakin marah. Ajar mengambil sepeda dan menaikinya.‎
Setelah ia benar-benar sempurna bersela di bangku sepedanya, ‎Ajar memberi penjelasan terakhir. “Pak, saya tidak mengubah absen itu, ‎liatlah tulisannya. Itu bukan tulisan saya.” Seketika itu pula, ia pun ‎mengayuh meninggalkan kampus itu. pulang ke rumah dan ‎menenangkan diri di sana.‎
Sebelum Ajar meninggalkan gerbang. Alya melihatnya dari jauh. ‎Tapi di sebelah sana, juga ada seorang perempuan yang melihatnya dari ‎jauh. Mereka berdua memandang Ajar. Lantas setelah Ajar menghilang. ‎Kedua perempuan itu saling memandang. Namanya Amina. Ia langsung ‎berjalan menghampiri Alya.‎
‎“Aku tau kau punya kesan kepadanya, neung. Aku tau masa ‎kejadian ospek 2 minggu lalu. Tapi kau tidak bisa mendekatinya. ‎Menjauhlah. Dia tidak akan memperdulikan.”‎
‎“Kakak cakap apa?, Aku cuma melihatnya.”‎


‎** 10 **‎
Barangkali Aku Sudah Gila

Aku juga pernah merasakan kesan seperti kau. Tapi pria itu ‎berbeda dan sakit jiwa. Dia pernah membantukku saat jatuh diserempet ‎orang di jalan. Ia membangunkan sepeda motorku, membantuku bangun ‎dan memberesi barang-barangku yang jatuh. Hanya melihatku sekali. ‎Dan langsung pergi. bahkan tidak bersuara. Awalnya kupikir ia bisu.‎
Aku pernah mendekatinya beberapa kali. Semakin aku ‎mengejarnya, semakin ia jauh. Suatu kali aku tak tahan dan mengatakan ‎cinta kepadanya di depan orang banyak. Ia hanya melihat dan ‎meninggalkanku pergi. Sejak hari itu, aku jadi meradang dan dendam. ‎Ku suruh temanku, Riuh untuk menyangkutkan sepedanya ke pohon dan ‎itu terjadi beberapa kali. Pernah juga sepedanya ku buang ke lubang ‎pembakaran sampah. Bahkan dia tidak marah dan mencari tau. Barusan ‎dia pulang karena Pak Norman geram kepadanya. Aku yang mengubah ‎absennya. Ia pasti sudah dimarahi besar. Jangan kau terjebak dalam ‎diamnya, neung. Dia akan membuatmu hanyut dan sakit hati.‎
Kalimat itu berdenging di telinga Alya. “Sesakit itukah hati ‎seseorang hanya karena hal demikian.”‎
Amina di ajak duduk dan Alya mulai menghapus air matanya. ‎‎“Kak, kau semestinya tak harus melakukan itu. Ia seperti itu bukan ‎karena keinginannya. Kau telah berbuat tidak baik kepadanya kak. ‎Mintalah maaf. Dia akan memaafkanmu. Sungguh aku mengenalnya,”‎
‎“Aku barangkali sudah gila.” Tangisan Amina kemudian ‎menderas.‎


‎** 11 **‎
Kayuhan Tak Sempurna

Subuh menjelang pagi. Ajar kembali mengayuh sepedanya dan ‎membawa setumpuk koran. Seperti biasanya. Satu demi satu checkpoint ‎itu di singgahi. Gemerincing recehan yang jatuh di tangan dan beradu di ‎saku celana juga terjadi beberapa kali.‎
Salah satu langganannya. Rumah besar dengan pagar tinggi. Ia ‎tidak masuk dan hanya menyelipkan surat kabar itu di sela pagar. Seperti ‎itu setiap pagi. Namun, pagi ini berbeda. Suara seorang perempuan ‎menyeru namanya dari balik pagar. Bang Ajar. . .‎
Ajar hanya diam dan melihatnya lagi untuk keempat kali. Lalu ‎sepedanya dikayuh dan pergi. Dari balik pagar, alya melihatnya berlalu. ‎Ia memperhatikan kaki Ajar berhayun. Kayuhannya tidak sempurna ‎seperti arah rotasi. Jika sekali putaran dayung bernilai 10, maka ia hanya ‎mendayungnya sampai nilai 9, menarik kayuhannya sedikit ke belakang ‎dan kembali mendayungnya dari nilai 1 dan ke nilai 9 lagi. Begitu ‎seterusnya, sampai ia sampai ke kampus. Alya tau kalau ada masalah di ‎sepedanya. Jika kayuhan itu dikayuh penuh, maka rantai sepedanya pasti ‎akan jatuh.‎
Selama beberapa hari, Hal itu terus terjadi. Memanggil dari balik ‎pagar dan ia dilihat Ajar untuk kelima, keenam, ketujuh kali dan kali ‎selanjutnya. Tidak ada yang berubah.‎
Suatu pagi di kampus, Alya membawa seseorang untuk ‎mengambil sepeda Ajar yang diparkir di belakang sekolah. Sepeda itu ‎kemudian diangkat dan dibawa pergi. Ketika perkuliahan selesai dan ‎Ajar hendak beranjak pulang, ia tidak melihat sepedanya di sana. Lantas ‎pencariannya pun dilakukan. Di mulia dari lubang sampah, tanpa ‎berpikir panjang. Ia mengaisnya dengan kayu dan tidak menemukannya ‎di sana. Ajar bergegas ke depan dan berniat untuk menyisir seluruh ‎bagian kampus. Dan ketika ia sampai di lorong depan, Alya berdiri di ‎halaman depan dan melihatnya. “bang Ajar...” demikian alya ‎memanggilnya lagi seperti tadi pagi dan beberapa hari sebelumnya. Ia ‎melihat perempuan itu untuk yang ke-15 kalinya. Dengan pelan, Ajar ‎menghampirinya.‎
‎“Kau melihat sepedaku, neung?”‎
Wajah Alya memerah. Itu komunikasi pertama setelah sekian lama. ‎ia gerogi dengan menekan jari-jari tangannya untuk menenangkan diri.‎
‎“Bang, kita duduk di sana.?”‎
‎“Kau melihat sepedaku.?‎
‎“Ya, sebentar lagi sampai. Abang tunggulah sekejab.”‎
Ajar duduk menunggu di sebuah bangku duduk halaman depan. ‎Sementara Alya langsung menelpon seseorang dan sebuah mobil pick-up ‎datang kemudian menurunkan sepedanya. Ajar tidak bangun dari tempat ‎duduknya. Sampai supir mobil itu pergi setelah alya memberinya sedikit ‎uang.‎
‎“Terimakasih.” Ajar mengucapkan dan langsung beranjak naik ke ‎sepedannya.‎
‎“Kembali kasih.” Sebuah balasan kata yang tidak didengarkan Ajar ‎sama sekali karena ia telah jauh. Alya melihat kayuhannya. Itu kayuhan ‎sempurna.‎
Keesokan pagi. Alya kembali menunggu di balik pagar rumahnya. ‎Kemudian Ajar datang, turun dan hendak menyelipkan surat kabar di ‎sela pagar. Sebuah tangan cantik terjulur dari jeruji pagar itu. Kali ini ia ‎menyerahkannya langsung tanpa harus menyelipkan koran itu di sela ‎pagar. Tidak berlama-lama, Ajar langsung bergegas pergi. Dari balik ‎pagar itu juga alya memperhatikannya dari jauh. Melihat kayuhannya. ‎Putaran dengan nilai 1-9 lagi. Padahal kemarin, sepedanya sudah ‎diperbaiki ke bengkel oleh Alya. Heran.‎


‎** 12 **‎
Teman kecil...‎

Alya memang mengenal Ajar. Dulu ia adalah teman bermainnya. Ia ‎benar-benar ingat ketika masih bocah dulu, mereka bermain bersama ‎dengan segenap keceriaan. Kala itu mereka masih kecil, sebelum alya ‎bersekolah. Ia bocah dulu yang pernah diajaknya bermain masak-masak-‎an. Wajahnya mirip, belum lagi sepeda itu yang sama sekali tidak ‎berubah. ‎
Dulu ayah Ajar bekerja sebagai tukang kebun di rumah Teuku ‎Danish Alam Syah, ayah Alya. Ajar setiap hari di bawa oleh ayahnya. ‎Namun, kebersamaan mereka hanya berlangsung beberapa bulan. Ayah ‎Ajar sudah tidak lagi bekerja di sana karena suatu sebab. Sampai saat ‎itulah mereka tidak berjumpa lagi. Namun, Alya masih mengenalnya ‎dengan pasti.‎
Dulu, Setiap pagi ketika Alya diantar ke sekolah oleh ayahnya, Ia ‎hampir selalu melihat Ajar mengayuh sepeda dari balik kaca mobil. ‎Sempat beberapa kali juga, ia menanyakan pendapat ayahya tentang Ajar ‎ketika ia tampak di pinggir jalan. Ayahnya bilang, itu memang anak ‎tukang kebun itu.‎
Ajar yang dulu dan sekarang telah jauh berbeda. Kenapa? ‎Pertanyaan itu yang acap kali muncul ketika Alya mengingatnya. Dulu, ‎dengan senyuman penuh ia menanggapi semua komentar Alya. Sekarang, ‎bahkan tidak sama sekali.‎


‎** 13 **‎
Kau mengenalku?‎

Subuh menjelang pagi, untuk kesekian kali. Alya tidak lagi berdiri ‎di balik pagar. Ia berdiri di luar menunggunya. Di waktu yang sama ‎seperti hari-hari kemarin, Ajar mulai tampak dari jauh. Suara denyitan ‎kayuhan itu pun mulai terdengar semakin besar. Ajar tidak turun, hanya ‎meraba surat kabar di keranjang depan, dan mengambil selembar koran ‎kemudian menyerahkannya. Ajar mengerti bahwa ia tidak harus turun ‎karena Alya berdiri di sana. Alya kemudian mengambil dan menaruhnya ‎di sela pagar. Dengan spontan ia langsung duduk di bangku belakang ‎sepeda. Posisinya menghadap ke belakang dengan kaki terbujur ke ‎bawah. 2 keranjang itu menghalanginya untuk duduk menyamping. Lalu ‎Ajar melihat ke belakang. Itu posisi duduk yang tidak normal. Alya ‎hanya duduk dan tak beranjak, menunggu Ajar berkomentar seperti apa. ‎Keduanya mulai diam dan tak berkata apa-apa.‎
Dan sepeda itu pun akhirnya dikayuh. Alya, tersenyum melihat ‎rumahnya yang semakin jauh. Sepeda itu berjalan pelan. Satu persatu ‎check point di singgahi. Pula memungut botol air meniral dan sampah. ‎Alya mulai merasakan bagaimana keseharian paginya. Para pelanggan ‎Ajar, semuanya terkejut. Sebuah pemandangan yang tidak seperti ‎biasanya terjadi pagi ini.‎
‎2 Km lagi jarak ke kampus setelah semua checkpoint selesai ‎disinggahi. Perbincangan mulai dibuka dalam laju sepeda yang berjalan ‎pelan.‎
‎“Bang, kau masih mengenalku?”‎
‎“.................................” Suara denyitan dan hentakan kayuhan sepeda ‎itu mungkin menjadi jawaban.‎
‎“Kau pasti masih mengenalku.”‎
‎“..................................” Suara denyitan dan hentakan lagi.‎
‎“Kenapa lajunya terlalu pelan, apakah aku terlalu berat?”‎
Denyitan dan hentakan di nilai satu kayuhannya itu masih menjadi ‎jawaban.‎
‎“Kenapa hari itu, kau pergi ke bengkel dan menyuruh mereka ‎untuk memasang balik alat kayuh rusak ini.?”‎
‎“Karena ini sepeda ayahku.”‎
Jawaban itu membuat Alya terdiam sampai ke kampus. Mereka ‎tiba sangat pagi. Alya diturunkan di gerbang dan Ajar langsung bergegas ‎ke belakang, tanpa menoleh ke belakang.‎


‎** 14 **‎
Kau Tak Pernah Tau Perasaannya

‎“Ajar, maafkan aku.” Amina mengucapkannya sambil melihat ‎mata ajar. Dia sudah di sana lebih awal pagi itu, di belakang sekolah. Ajar ‎hanya melihatnya sekilas. Menyenderkan sepedanya ke dinding dan ‎ditopang dengan kayu agar tidak jatuh.‎
‎“Aku sudah jahat kepada kau.” Ia tahu pertanyaannya tak akan ‎dijawab. Ajar mengambil gembok dan mulai merantai sepedanya. ‎Memasukkan sisa koran pagi ini ke dalam tas dan beranjak pergi.‎
‎“Akulah yang sangkutkan sepeda kau di pohon, Jar” Ia mulai ‎mengikuti langkah ajar yang berjalan santai.‎
‎“Juga sepedamu di lubang sampah itu.” Ia mendahului ke depan ‎dan memperlihatkan tangisannya. Ajar masih terus berjalan. Lantas ‎Amina menghalangi langkah ajar yang terus maju agar ia berhenti.‎
‎“Setidaknya, katakanlah sesuatu, Jar” Ia mulai menarik tangannya ‎dan ajar mulai berhenti telak. Ia menarik tangannya dari pegangan erat ‎Amina.‎
‎“Kau tak harus menarik tanganku, duduklah di sana.”‎
Amina pun terus berjalan di depan sambil menyeka air matanya. Ia ‎duduk di sebuah bangku panjang dan Ajar berdiri melihatnya.‎
‎“Minumlah” ia mengeluarkan sebotol air minum yang dibawa dari ‎rumah. Amina meminumnya.‎
‎“Kau tak perlu memberi tau semuanya. Aku sudah tau. Dan tak ‎perlu meminta maaf, aku sudah memaafkan kau jauh sebelumnya.”‎
‎“Tapi kau tak tau perasaanku, gam.” Tangisannya sudah pecah ‎sepagi itu.‎
‎“Dan kau tak pernah tau perasaan Riuh.”‎
Hanya dengan sepatah kata itu saja, tangisan pecahnya terhenti ‎seketika. Ia mencoba mengingat sesuatu dan mencocokkannya, sambil ‎melihat Ajar pergi dan menaiki tangga. Selembar kertas dengan sepotong ‎tulisan, amina menaruhnya di bawah botol air ajar. “Air ini ‎menyejukkan.”‎

** 15 **‎
Aku Lupa Itu Sepeda Kau, Tapi Aku Juga Tau Itu Sepeda Kau

Gam, aku harus jujur kepada kau. Sepeda kau yang tergantung di ‎pohon dan terjungkir, sarung shalat kau yang sobek, sepatu kau yang di ‎atap perpustakaan, aku lah yang menjahati. Maafkan aku. Aku hilang ‎kesadaran karena dia, gam.‎
Kau tau, dia yang paling sulit untuk didekati, wajah cantik, ‎gayanya menarik, amboi..., kau tau kan. Sejak itu aku tak bisa tidur ‎karena terus terbayang wajahnya. Ketika aku di sawah, di kebun, di ‎pabrik roti, kau tau, aku jadi bekerja dengan laju. Setiap kali aku ‎membayangkan wajahnya, aku juga lupa. Lupa bahwa sepeda itu sepeda ‎kau, walaupun aku juga tau kalau itu juga sepeda kau.‎
Lama aku merenung. Ini tak semestinya aku buat. Tapi karena ‎cinta ini aku jadi mabuk, gam. Sampai “orang baik ini” pun ku jahati. ‎Alamak... bodohnya aku. Aku tak tau apa kau pernah jatuh cinta sampai ‎kau mengerti mengapa aku tega melakukan ini kepada kau, gam. Tapi, ‎maafkan aku.‎
‎“Kau tak perlu meminta maaf, jika memang kau menyukainya. ‎Kenapa tak kau katakan saja.” Ajar tersenyum tipis.‎
Itu pernyataan Riuh kepada ajar, beberapa minggu sebelum amina ‎jujur terhadap segala kesalahannya kepada Ajar pula. Satu hal yang ‎mungkin tidak akan dilupakan oleh Riuh pada hari itu. Siang itu ada ‎sebuah senyuman tipis milik Ajar yang tak pernah tampak sedari dulu.‎


‎** 16 **‎
Turun !!!‎

‎“Setelah itu, bagaimana mungkin aku bisa membuatnya ‎berbicara.” Alya berpikir sambil menunggu Ajar di depan rumah. ‎Denyitan itu mulai terdengar dan mulai familiar setelah tumpangan ‎kemarin.‎
Ajar berhenti dan tidak turun. Meraba keranjang depan dan ‎memberikan surat kabar itu kepada Alya. Seterusnya, ia menyelipkannya ‎di sela pagar. Itu dilakukan dengan cepat agar sepeda itu tidak sempat ‎berjalan lebih dulu sebelum ia duduk di belakang.‎
Seperti hari kemarin. Alya duduk membelakangi. Namun kali ini ‎kakinya diangkat dan diletakkan di ujung kursi belakang. Ia lebih ‎merapat ke bangku Ajar. Kedua Tangannya memegang penopang ‎keranjang.‎
‎“Bang, kau tau ini agak menakutkan.” Nada suara Alya meninggi ‎dan mulai tertawa.‎
‎“................................” Suara denyitan dan hentakan di nilai 1 ‎kayuhan.‎
‎“Jangan sampai goyang bang, aku bisa jatuh.” Ia tetap tertawa.‎
‎“...................................”‎
‎“Bang, jangan marah kalau aku bersandar di punggung kau y?” ‎Alya mulai bersandar.‎
‎“...................................”‎
‎“Kau tidak bicara kepadaku. Padahal kemarin, aku melihat dan ‎mendengar kau sempat berbicara kepada kak Amina.”‎
‎“..................................”‎
‎“Apa aku harus menangis seperti itu, agar abang mau bicara ‎dengan alya kah?”‎
‎“................................”‎
Dan seketika itu juga sepeda Ajar berhenti.‎
‎“Kenapa kau berhenti. Apa kau nak marah....” Alya menoleh ke ‎atas depan, melihat wajah Ajar.‎
‎“turun !!” Ajar memotong komentarnya.‎
Alya bergegas turun dan mulai heran. Mungkin Ajar memang ‎marah karena perkataannya itu. ia berpikir demikian. Namun ternyata, ‎bukan demikian.‎
Sebuah mobil mewah berhenti mendadak di depan mereka. Itu ‎ayah alya dan ia benar-benar terkejut melihat itu. Ayahnya keluar dan ‎menutup pintu mobil dengan kencang. Itu pelampiasan kemarahan. ‎Seketika itu juga tangan Alya ditarik menuju mobil. Membuka pintu ‎bagian belakang dan memasukkan Alya dengan sekejab.‎
Ajar hanya berdiri dan tidak berbalik. Ayahnya berjalan dengan ‎sigap dan . . . “prak..!!”. Itu tamparan keras.‎
‎“Siapa kau, berani membonceng anakku, hah? Apa kau tak cukup ‎menyesal dengan kesalahan yang pernah kau buat?”‎
Kali ini rambutnya di jambak. Ajar ditampar berkali-kali dan di ‎tendang jatuh. Lalu, sepedanya di hempas ke parit pinggir jalan. Ajar ‎yang terduduk kemudian mencoba bangkit.‎
‎“Kau ingat baik-baik, jangan kau dekati anakku lagi. Jangan kau ‎racuni dia. Kalau kau ingin selamat.”‎
Ayahnya langsung menaiki mobil dan tancap gas. Hanya asap ‎putih pekat yang tertinggal di belakang. Juga pandangan alya, dari balik ‎kaca belakang mobil yang gelap.‎


‎** 17 **‎
Amukan di dalam mobil

‎“Kenapa kau!?, kenapa kau menangis, hah!!??” Pekik Teuku ‎Danish memarahi anaknya. Alya benar-benar menangis pilu. Jilbabnya di ‎bagian leher sampai basah. ‎
‎“Kenapa ayah memukulnya,?, Ayah semestinya memukul aku.” ‎Suaranya mendera dari belakang mobil.‎
‎“Dasar anak bertuah. Sejak kapan kau berani membalas marahan ‎ayah mu, hah?” Suara ayahnya mulai meninggi sambil melihat ‎kebelakang sepersekian detik.‎
‎“Alya yang mau pergi ke kampus dengan dia, kenapa ayah malah ‎memukulnya, hah!?” Tangisannya mulai terdengar seperti orang ‎menderita.‎
‎“Kau mau kenak pukul, ya.!”‎
‎“Pukul, yah. Pukul!”‎
Mobil mewah itu pun seketika berhenti. Ayahnya lantas ‎melangkahi sela bangku depan mobil dan menampar Alya beberapa kali. ‎Hari itu menjadi hari yang mengerikan. Alya hanya menangis, tanpa ‎bicara. Menyertakan ayahnya menamparnya berkali-kali.‎
Setelah melihat hidung anaknya berdarah, ia merasa cukup. Keluar ‎dan masuk lagi ke dalam mobil, Lalu mengubah haluan dan pulang ke ‎rumah.‎
‎“Kau seharusnya mendengar nasehat ayahmu, sejak kapan kau ‎menjadi anak durhaka sekarang, hah,?” Suara ayahnya memang besar.‎
Alya hanya menangis menyapu darah yang keluar dari hidungnya. ‎Mobil mereka melaju kencang. Dari serentetan pohon-pohon yang mulai ‎tertinggal dengan cepat, Alya melihat kembali Ajar dari balik kaca mobil. ‎Ia sedang memungut sampah di pinggir jalan. Dan, tangisan Alya memilu ‎lagi.‎


‎** 18 ** ‎
Rencana Gila

Azan subuh berkumandang merdu. Ajar bangkit dari ranjangnya ‎yang hanya beralaskan tikar. Ia bercermin dan memegang wajahnya. ‎Tamparan kemarin masih terasa sakit. Belum lagi rasa nyeri di perutnya ‎karena tendangan itu. “Mungkin Pak Danish pernah belajar silat.” Hingga ‎rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Lalu, ia bergegas mandi dan ‎berangkat ke mesjid.‎
Para jamaah subuh selalu ramah kepadanya. Meskipun ia tidak ‎pernah menegur mereka. Tidak ada anak muda yang shalat subuh di ‎mesjid itu selain dia. Para jamaah terkesan dengan sikap konsistennya ‎untuk selalu hadir. Belum lagi, ia selalu membersihkan pekarangan ‎mesjid yang kotor setelah shalat usai. Memang tidak ada anak muda ‎seperti dia di kampung itu.‎
Setelah dari mesjid, Ia pulang ke rumah untuk memulai rencana ‎baru. Ajar masuk ke kamar ibunya dan melihat tabungan keramik ayam, ‎berjejer di sebuah rak lemari. Warnanya tidak serupa satu sama lain. Dari ‎ujung kanan, tabungan itu terlihat usang dimakan usia. Sementara ‎semakin ke kiri, warnanya semakin kontras. Ia melihat ke atas, ada 13. ‎‎“ini sudah cukup.”‎
Ia mengambil kursi dan mulai menurunkan tabungan itu satu ‎persatu. Mengurutkannya dari ujung sebelah kanan. Lantas, sepotong ‎kain digelar ke lantai. Satu persatu tabungan tersebut dipecahkan. Raut ‎wajahnya menjadi sedih. Tabungan yang paling usang ini adalah ‎tabungan ayahnya. Uang kertas dan recehan meruah. Seketika waktu ‎seperti bergerak ke belakang. Alat tukar 14 tahun yang lalu. Tentu beda ‎dengan bentuk uang sekarang. “Ini harus ditukarkan ke bank.”‎
Semua tabungan itu sudah dipecahkan. Uang kertas dan recehan ‎dipisahkan dalam dua tempat. 7 juta 200 ribu Rupiah. Itu uang yang ‎banyak. Ia bahkan tidak menyangka tabungannya akan sebanyak itu. Kain ‎yang berisikan uang itu lantas dibungkus.‎
Matahari mulai terbit. Ajar bergegas ke bank. Ingin mengganti ‎rupiah tempo dulu yang tidak bisa digunakan lagi untuk masa sekarang. ‎Ajar mengayuh sepedanya. Nilai 1 sampai 9. Alisnya mulai menurun. ‎Matanya mengaca dan pipinya memerah. Itu mimik sedih.‎
Setelah menukarkan uang tersebut, ia memasuki langkah kedua ‎dari rencananya. Ke rumah Alya. Ajar bahkan tidak takut sedikit pun. ‎Uang itu ditaruh di keranjang depan dengan balutan kain. Ia sengaja ‎tidak menukarnya dengan uang ratusan ribu. Padahal itu lebih simpel ‎untuk di taruh di saku celana. Ajar hanya menukarkan mode uang yang ‎tidak laku lagi.‎
Suara denyitan sepedanya itu terus bernyayi. Menemaninya ‎hingga sampai di depan rumah Alya. Semestinya suara itu ‎menjengkelkan. “ciiiiieettt... takk, ciiiieeettt takk,...........!”‎


‎** 19 **‎
Nasab Kita

‎“Kau semestinya mendengar, apa yang dikatakan ayahmu, nak.” ‎Suara lembut itu sangat bertolak belakang dengan intonasi suaminya. ‎Teuku Danish. Ibunya mencoba untuk mengobati kondisi mental Alya ‎hari kemarin. Tangannya berulang-ulang mengelus kepala Alya yang ‎tidur dipangkuannya.‎
‎“Tapi, ajar itu anak baik, mak. Kenapa ayah sampai memukulnya ‎seperti itu. dia tak buat apa-apa. Alya yang membuat semua itu terjadi.”‎
‎“Mungkin ayahmu tak suka kau terlalu akrab dengan orang seperti ‎itu. Mungkin juga ayahmu juga tak pernah membayangkannya.”‎
‎“Kenapa ayah harus membayangkan seperti apa teman-teman Alya ‎nanti?, Alya tau dengan siapa Alya harus berkawan, Ajar itu anak baik.” ‎tangisannya kembali hadir.‎
‎“Ayahmu memilih kampus itu agar kau tak jauh dari mak dan ‎ayah. Bukan untuk berkawan dengan anak seperti itu. Bahkan kau sudah ‎begitu akrab sampai dia memboncengimu pagi kemarin.”‎
‎“Mamak sepaham dengan ayah kah?” Alya mulai bangkit dari ‎pangkuan ibunya.‎
‎“Nak, kau tau nasab keluarga kita kan?”‎
‎“Lalu hanya karena Alya, cut, lantas harus berteman dengan ‎teuku?”‎
‎“Kau boleh berteman dengan anak itu, tapi semestinya janganlah ‎terlalu akrab.”‎
‎“Alya tak paham.” Tangisannya malah semakin memilu.‎
‎“Dulu, ketika ayah ingin menyekolahkan kau ke kampus itu, kau ‎sempat tidak setuju kan?, ayahmu akan mengurus surat pindah kau dari ‎kampus itu,”‎
Wajah Alya mengerut bingung.‎
‎“Ayahmu akan mengurus pindahan. Kau akan belajar di kampus ‎yang pernah kau cita-citakan dulu.”‎
Lalu, Alya langsung berlari ke kamar dan membanting pintu.‎

** 20 **‎
‎1 syarat‎

Ajar turun dari sepedanya dan menekan bel di ujung kiri pagar. ‎Tangan kanannya memegang bakul uang itu. Ia terus menatap ke arah ‎pintu rumah. Ajar menekan kembali bel itu. Suara deringnya sampai ‎terdengar ke luar pagar. Lantas, ibu Alya membuka pintu dan melihat ‎Ajar berdiri di luar sana.‎
Ibunya berjalan pelan sambil memperhatikan anak itu. “Kau, anak ‎tukang kebun itu?” Kening Ibu Alya mengerut.‎
‎“Ya” Ajar menjawab sambil melihat mata orang tua itu.‎
Gerbang itu pun dibuka. Ajar diajak masuk.‎
‎“Suti.!! Suti.!!” Ia memanggil pembantunya.‎
‎“Duduklah nak.” Ajar disilakan duduk di teras rumah mereka ‎yang mewah. sebuah kursi jati dengan ukiran jepara.‎
‎“Buatkan kopi satu.” Perintah Ibu Alya kepada pembantunya.‎
‎“Lama sekali kau tak nampak nak, ke mana saja kau. Mak prihatin ‎mendengar berita ayah dan mak kau meninggal.”‎
‎“....................”‎
‎“Apa hal nak, kau melangkah ke sini?”‎
‎“Saya nak berjumpa dengan Pak Danish, mak?”‎
‎“Minumlah dulu, jauh sekali kau mengayuh sepeda. Itu sepeda ‎ayahmu dulu kan?”‎
Ajar tak menanggapi. Ia malah menoleh ke halaman depan. Penuh ‎dengan ragam bunga. Dulu Ajar dan ayahnya kerap di sana. Memotong ‎rumput hias, memangkas daun-daun kering, memupuk dan aktivitas ‎lainnya. Sementara pertanyaan Ibu Alya terus melayang tanpa jawaban.‎
Merasa rancu, Ibu Alya langsung menelpon suaminya. “Minumlah ‎dulu nak, mak ke dalam sebentar.”‎
Tak lama setelah itu, mobil mewah itu pun sampai dan ‎membunyikan klakson. Ibu Alya langsung bergegas dan membuka ‎gerbang pagar. Ia cekatan menghampiri suaminya. Lalu, Pak danish ‎turun. Ibunya memberi gambaran tentang kondisi semenjak Ajar sampai ‎ke rumah mereka.‎
Seketika Pak Danish melangkah cepat. Ibu alya mengikutinya dari ‎belakang. Dengan pelan, Ajar menoleh ke arah wajah Pak Danish yang ‎mulai meradang.‎
‎“Sial kau !, berani kau ke sini, hah!!??”‎
Ibu Alya menenangkan suaminya dan diajak duduk. Pak Danish ‎duduk dan mulai membuka pembicaraan.‎
‎“Ini dia mak, yang telah meracuni anakmu.”‎
Seketika Ibu Alya terkejut. Ia menutup mulutnya sangkin tidak ‎percaya.‎
‎“Kenapa kau ke sini!!??” Suara Pak Danish mengeras sambil ‎menepuk meja.‎
‎“Saya ingin mengganti guci bapak yang saya pecahkan dulu. Ini ‎adalah tabungan saya dan bapak saya.” Ia menyodorkan bakul kain berisi ‎uang itu.‎
‎“Hah? cukup uang kau?”‎
Alya mendengar suara gaduh itu. Ia lantas ke luar dari kamarnya ‎dan beranjak ke teras. Alya benar-benar terkejut melihat Ajar sedang ‎berpapasan dengan ayahnya.‎
‎“Bapak saya bilang, harga guci itu 6 juta. Hari ini saya nak bayar ‎lebih. 7 juta dan maafkan kesalahan saya dan bapak saya.”‎
Ibu alya mulai menangis. Pak Danish langsung mereguh bakul ‎kain itu dan membukanya. Uang pecahan dalam jumlah banyak.‎
‎“Baik, aku tak menghitungnya lagi. Ku maafkan kesalahan kau dan ‎bapak kau. Dan satu lagi yang harus kau ingat. Jangan bermimpi untuk ‎mendekati anakku. Paham kau?”‎
‎“Tapi, saya punya satu syarat sebelum bapak bawa uang itu ‎masuk ke dalam.”‎
‎“Apa itu.!”‎
‎“Saya ingin menendang perut bapak.”‎
Saat itu juga, Ajar babak belur dipukuli. Ibu Alya jatuh pingsan ‎sedang Alya menopangnya. Anak itu tidak diberi ampun meski ada ‎perlawanan kecil. Sampai, para tetangga datang dan melerai. Mereka ‎memegang Pak Danish yang tidak mau berhenti memukulnya. Ajar ‎tergeletak lemas. Kepalanya berdarah. Wajahnya juga lebam.‎
Perlu banyak orang untuk menghentikan Pak Danish. Ia kalab. ‎ramainya orang membuat tempat itu menjadi semakin riuh. Banyak orang ‎yang menonton adegan tersebut dari luar pagar. Mereka tidak bisa ‎berkomentar banyak. Pak Danish adalah orang terpandang di kawasan ‎itu.‎
Ajar mulai bangun tanpa harus dipapah. Ia menaiki sepedanya dan ‎sejenak melihat Alya yang masih duduk menopang ibunya. Ajar memutar ‎sepedanya dan mulai pergi. Hanya beberapa bercak darah yang tertinggal ‎di teras dan halaman rumahnya. Juga kegaduhan, yang tak pernah di ‎saksikan Alya sebelumnya.‎

** 21 **‎
Sejak Saat Itu

Alya, ia tidak menyangka bahwa perkenalannya dengan Ajar ‎akhirnya menyisakan tragedi. Ia mulai paham dengan perkataan Amina ‎bahwa Ajar sakit jiwa. Acuh dan tidak mau mengerti keadaan dan ‎perasaan orang lain. Ia menyesali semua usahanya saat mendekati Ajar ‎dulu. Semua itu sia-sia. Seharusnya ia mendengarkan Amina dan juga ‎ayahnya.‎
Sejak saat itu mereka tidak lagi berpapasan. Alya sengaja tidak ‎keluar rumah sepagi kemarin, hanya tidak untuk melihat Ajar yang selalu ‎datang membawa koran dan menyelipkannya di sela pagar rumahnya.‎
Sejak saat itu, ia tidak melihat keluar dari balik kaca mobil ketika ‎berangkat ke kampus bersama ayahnya. Tidak mau melihat Ajar yang ‎sedang mengayuh sepeda atau sedang mengutip sampah di pinggir jalan.‎
Sejak saat itu, ia tidak lagi ke kantin yang letaknya tidak jauh dari ‎tempat parkir sepeda Ajar. Ia takut sewaktu-waktu Ajar muncul dari ‎belakang gedung belajar kampus atau ke sana untuk mengambil ‎sepedanya.‎
Sejak saat itu, ia tidak shalat lagi di mushalla kampus, di mana ‎semua mahasiswa berkumpul di sana ketika Zuhur dan Ashar. Alya ‎harus keluar mencari tempat shalat terdekat lainnya karena malas melihat ‎wajah kakunya yang menyimpan sejuta rahasia.‎
Sejak saat itu, ruang geraknya terbatas dam banyak menghabiskan ‎waktu di kelas. Ketika jam kelas berakhir, ia menelpon ayahnya untuk ‎menjemput. Ia tidak akan keluar kelas sebelum mobil ayahnya tiba.‎
Sejak saat itu pula, ia tidak pernah bertukar pikiran lagi dengan ‎Amina. Padahal Amina sudah beberapa kali mendekatinya untuk duduk ‎dan berbincang. Namun Alya selalu menghindar.‎
Sebenarnya Alya tau, bahwa sikapnya itu tidak menyamankan ‎hatinya. Ada sesuatu yang mengganjal dan kurang. Ia tidak ambil pusing. ‎‎“Toh, setelah semester ini, aku akan meninggalkan kampus ini.” ‎

** 22 **‎
Senyuman yang disembunyikan

Hari terakhir Alya dikampus itu. Ia diantar oleh ayahnya. Hari ini ‎jadwal pengambilan KHS. Ia juga harus menghadap Kasubbag TU untuk ‎mengambil surat keterangan pindah dari kampus itu.‎
Alya diantar sampai ke dalam kampus. Ia mengambil tas dan ‎turun dari mobilnya. Langkahnya pelan dan tidak bergairah. Alya tidak ‎bisa membohongi dirinya sendiri bahwa kampus itu, setidaknya telah ‎memberikan banyak kenangan. Terasa berat jika harus meninggalkan ‎teman-temannya yang mulai akrab dengannya. Juga Situasi dan suasana ‎yang telah melekat di benak.‎
Di hari itu pula, Alya mulai berpikir bahwa ucapan perpisahan ‎harus ditunaikan. Permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah ‎dilakukan. Agar ketika pergi, tidak ada perasaan yang tersangkut dan ‎tidak lega. Dan hari ini menjadi pengecualian. Bahwa Alya harus ‎membaur seperti dulu. Ke kantin dengan leluasa, ke mushalla, berjumpa ‎Amina dan mungkin, dapat berjumpa dengan Ajar untuk meminta maaf ‎atas semua kesalahan yang mungkin pernah ia lakukan.‎
Waktu zuhur tiba. Lantas para mahasiswa bergegas ke Mushalla ‎kampus. Alya, ia berjalan pelan sambil digandeng temannya. Berbincang ‎ringan sambil melepas senyuman dan tawa kecil, menuju tempat wudhu’. ‎Ia berdiri di depan tangga mushalla. Melihat sekitar.‎
‎“Kau mencari Ajar, alya?” amina tersenyum menyapanya.‎
‎“Tak, aku hanya melihat si aji, tadi dia meminjam cas hp ku.” Alya ‎sedikit terkejut dengan jawaban terbata-bata.‎
‎“Duduklah.” Amina menduduki anak tangga sambil membuka ‎sepatunya. Lalu alya duduk.‎
‎“Kenapa kau tak ingin berbicara denganku, padahal waktu itu aku ‎selalu mencari kau?” Amina tersenyum.‎
‎“Hehe, maafkan aku tentang kejadian itu kak.”‎
‎“Lalu sekarang, kenapa kau mau berjumpa denganku?”‎
‎“Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan. Sungguh.”‎
‎“Aku bahkan tak melihatmu pergi dengan Ajar lagi semenjak kau ‎berubah.” Amina melihat ke depan dan sangat tenang.‎
‎“.....................”‎
‎“Janganlah lama-lama merajuk, dulu dia banyak berubah karena ‎kau.”‎
Kening Alya mengerut sambil melihat ke wajah Amina.‎
‎“Senyum kalian di atas sepeda. Setiap pagi aku melihatnya. Aku ‎bahkan tak pernah melihat ajar tersenyum. Apalagi sambil mengayuh ‎sepeda seperti itu.”‎
‎“Tersenyum????”‎
‎“Janganlah pura-pura terkejut macam tu. Bagaimana mungkin ‎wajahnya yang kaku itu dapat tersenyum kalau tidak ada orang yang ‎membuatnya tersenyum.”‎
Jantung Alya jatuh dalam.‎
‎“Ajar di mana kak?”‎
‎“Dia tidak masuk hari ini.”‎
‎“Kakak punya no. Hp-nya?”‎
‎“Aku tak pernah memintanya.”‎
‎“Tau rumahnya?”‎
‎“Riuh tau di mana rumahnya.”‎
‎“Kak, kalau begitu. Bisa kakak tolong jumpakan aku dengan ‎Riuh?”‎
‎“Hmhm. Tentu.”‎


‎** 23 **‎
Menunggu angin...‎

‎“Ayah, Kenapa layang-layang bisa terbang? Padahal ia tidak sama ‎seperti burung?”‎
‎“Itu karena angin. Jika kau ingin layangan itu terbang tinggi, maka ‎tunggulah saat angin sedang kencang. Kau bisa menerbangkannya ‎tinggi.”‎
‎“Berarti, aku bisa menerbangkannya waktu sepeda kita berjalan?”‎
Ajar duduk membelakangi ayahnya di bangku belakang. ‎layangannya di terbangkan rendah sedang sepeda mereka tengah melaju. ‎Ayahnya tersenyum sambil mengayuh sepedanya. Nilai 1-9. Beberapa ‎kali Ajar memanggil ayahnya untuk melihat layangannya yang terbang. ‎Jelas Ajar melihat ayahnya tersenyum ketika ia menoleh ke belakang.‎
Mereka tiba di rumah Pak Danish. Ayah Ajar membunyikan bel ‎dan suti membukakan pintu. Boy!!, Alya yang sedang duduk di teras ‎memanggil Ajar. Mereka belum saling berkenalan. Padahal sudah ‎hitungan bulan mereka telah bermain bersama. Boy, itu sebuah nama ‎tokoh film kartun. Super boy. Alya sering menontonnya. Ia memanggil Ajar ‎seperti itu karena ia memang mirip tokoh Super Boy di film itu. lantas, ‎nama itu melekat.‎
‎“Wah, kau punya layangan bagus.”‎
‎“Ya, ayahku yang membuatnya.”‎
‎“Apakah itu bisa terbang?”‎
‎“Bisa, tapi kita harus menunggu angin dulu.”‎
Dua bocah itu pun duduk di teras dan memandang pohon. ‎Memantau kapan daun-daunnya mengipas dan bergoyang. Sesekali angin ‎hanya berlalu. Sontak mereka jadi ribut. Lalu ketika angin itu berhenti, ‎mereka duduk kembali.‎
Ayah Ajar tertawa melihat tingkah mereka sambil mengurusi ‎taman rumah Alya. Wajahnya penuh dengan keringat. Di kota benar-‎benar panas. Krisis angin. Hanya sejuk ketika hujan datang membasahi ‎hawa.‎
‎“Kita tak bisa menerbangkan layang-layang ini kalau tidak ada ‎angin.” Ajar melihat ke arah Alya dengan serius.‎
‎“Yahh....” Alya tertunduk lesu.‎
‎“Hey, tapi waktu aku di sepeda tadi, layangan ini boleh terbang.”‎
‎“Ya, kau harus berlari.”‎
Ajar langsung beranjak sambil membawa benang dan layangnya ke ‎arah terjauh dari Alya. Kemudian, ia berlari ke arahnya. Layangan itu ‎terhempas ke udara dan tidak stabil. Lantas Ajar memacu langkahnya. ‎Layangan itu semakin meninggi. Ajar kemudian berlari mundur ke arah ‎Alya sambil melihat kondisi layangnya yang mulai naik. Dan, “praanggg!” ‎sebuah guci glamor di teras rumah itu pecah. Ayah Ajar langsung bangkit ‎dan membangunkan Ajar yang jatuh di pecahan guci keramik itu.‎
Seketika, Pak Danish keluar cepat dari dalam rumah. Ia melihat ‎Ajar yang dibangunkan ayahnya. Ada luka di sikunya.‎
‎“Oooiiii, apa yang anak kau buat hah?”‎
‎“Maaf pak, anakku tak sengaja.”‎
Ibu Alya tau, kejadian itu akan menjadi perang besar. Lantas ia ‎langsung membawa Alya masuk dan menutup pintu rumah.‎
‎“Kau kira harganya berapa!!”‎
‎“Saya akan ganti pak.”‎
‎“Kau cakap apa, tiga bulan gaji kau pun tak bisa tutup harga guci ‎ini, tau kau?”‎
‎“Saya mohon maaf sekali pak.”‎
Lalu, Pak Danish melangkah dan ingin memukul Ajar. Ayah Ajar ‎pun memeluk anaknya agar Pak Danish tidak sampai memukulinya. ‎Tidak lain, Ayah Ajar yang menahan segala tinjuan dan tamparan pak ‎Danish yang bertubuh besar.‎
‎“Pak, Cukup!” Ayah Ajar mulai menangis. Namun, Pak Danish ‎tidak puas hati sebelum menghantam rahang anak itu.‎
‎“Kau harus lari nak.!”‎
Seketika Ajar lari ke luar pagar. Pak Danish mulai mengejarnya, ‎namun Ayah Ajar menahannya. Saat itulah, Pak Danish menumpahkan ‎emosinya ke tubuh ayah anak kecil itu. Ia terus menendang dan memijak ‎perut Ayah Ajar yang tergeletak jatuh. Sedang saat itu, Ajar hanya melihat ‎ayahnya yang terus dipukuli dari balik pagar.‎
‎“Nak, !!! Lari, lari!!.”‎
Ucapan itu yang berdeging setiap kali ia melihat rumah Alya dari ‎balik pagar. Setelah kejadian itulah, ayahnya mulai tak sehat. Dua ‎minggu setelah tragedi pemukulan itu, rasa sakit di perut Ayah Ajar tak ‎kunjung sembuh.‎

** 24 **‎
Cepat !!‎

Sore itu, Alya mengendari sepeda motor Amina dengan kecepatan ‎tinggi. Kendaraan lainnya disalip dengan cepat. Padahal, ia belum ‎terbiasa. Terkadang seseorang akan  bertindak nekat di saat-saat genting, ‎seperti Alya kali ini. Sedang  Amina di belakang hanya menunjukkan ‎arah. Ia tidak berani mengendarai sepeda motor secepat itu.‎
Melewati jalan kampung dan berlubang. Itu benar-benar kawasan ‎pedesaan yang tidak terkontaminasi dengan pengaruh hiruk pikuk kota. ‎Alya bahkan tidak pernah ke sana. Jalanan turun dan menanjak di apit ‎pegunungan yang melapangkan pandangan, semestinya dapat dinikmati ‎jika saja mereka berjalan santai.‎
Riuh mulai terlihat dari jauh. Ia sedang mematuk-matuk tanah ‎ladang di pelantaran sawah. Mereka hanya menanam padi pada musim ‎hujan karena tidak ada irigasi di sekitaran sana. Hanya memakai air hujan ‎untuk mengairi sawah. Saat ini, hujan jarang sekali turun. Para petani di ‎daerah itu bersepakat untuk tidak bersawah beberapa bulan ini.‎
‎“Riuh.!!” Amina memanggil namanya dari jauh.‎
Seketika sepeda motor itu berhenti. Alya langsung turun dan ‎berlari di pematang sawah. Ia sempat terpeleset beberapa kali dan ‎bangkit lagi.‎
‎ “Kau harus mengantarku ke rumah Ajar, bang.! Sebaiknya kau ‎tidak bertanya kenapa.”‎
Alya langsung berputar balik dan berlari lagi. Bahkan nafasnya ‎tidak menjadi cepat sama sekali. Riuh masih bingung dan mengikuti Alya ‎dari belakang sambil berjalan membawa cangkulnya.‎
‎“Cepat kau, gam!!!” teriak Amina dari pinggir jalan. lantas Riuh ‎pun mulai berlari.‎
‎“Kau harus cepat !!, bawa kami ke rumah Ajar.!!”‎
‎“Hei, tapi rumah ku di sana.” Riuh mulai serius.‎
‎“Kau bawa dia kat sana, aku tunggu kau di sini. Kau harus ‎cepat.!!”‎
Riuh, tanpa berbasa basi ia bergegas. Seperti merespon perintah ‎seorang komandan. Sepeda motor itu pun melaju cepat. Lebih cepat dari ‎tadi.‎
Jalanan semakin sepi. Rentetan rumah sudah mulai jarang. Alya ‎semakin terkesima. Ia tak pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di ‎kampung se-sepi itu.‎
‎“Itu dia, neung.”‎
Ajar sedang memakul 2 tempat air dengan tuas kayu di bahunya. ‎Ia sedang menyiram ladang kacang panjangnya yang mulai berkecambah.‎
‎“Kau bagaimana?, ku tinggalkan di sini? Atau...?”‎
‎“Pulanglah bang, sampaikan kepada Kak Amina, terimakasih ‎sudah mengantar.”‎
‎“Ya, kau memang mengerti.” Riuh seperti kegirangan.‎
Alya mulai memanjat pintu pagar yang sengaja dibuat tinggi. Ajar ‎tau dia di sana. Ia melihatnya sekali. Kemudian menyiram tanamannya ‎lagi.‎

** 25 **‎
Tidak Jika Kau Ingin Bermalam di Sini

‎“Bang, luangkan waktu mu sekejab.” Alya terus mengikutinya dari ‎belakang, sedang Ajar sibuk menyirami tanamannya. ‎
‎`“Aku ingin kita membahas sesuatu.”‎
‎“....................” Ajar tetap dengan pekerjaannya.‎
‎“Baaaaangggg!!, kau tak dengar kah? Berapa kali aku harus ‎meminta kau untuk....”‎
‎“Suara kau persis sama seperti ayahmu.” Ajar memotong pekikan ‎itu.‎
‎“Duduklah sebentar.” Suaranya memelan dan Air matanya ‎menderas.‎
Ajar mulai berjalan ke arah sebuah pohon tumbang. Meletakkan ‎tempat penyiram airnya dan duduk. Alya berdiri di hadapannya.‎
‎“Ayah kau pasti akan marah jika tau kau di sini.” Ucapnya sambil ‎mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan api.‎
‎“Sejak kapan kau mulai pandai membakar racun itu.”‎
‎“Bahkan aku sendiri adalah racun bagi kau, sejak kapan kau sudah ‎pandai jauh pergi ke sini dan menghampiri racun ini?”‎
Praakkk!!, Alya menampar ajar sampai rokok di bibirnya jatuh.‎
‎“Kau sangat mirip dengan ayahmu.” Ia memungut rokok yang ‎jatuh itu.‎
‎“Kenapa kau ingin menendang perut ayahku waktu itu,?”‎
‎“Aku hanya ingin membalas perbuatannya.”‎
‎“Hanya karena dia memukul dan menendang perutmu waktu itu? ‎kenapa kau tak memarahiku saja, dan menjelaskan kepada ayahku bahwa ‎aku yang memulai semuanya.” Alya berbicara cepat dan tersedu.‎
‎“Kau ingat, tukang kebun yang selalu menyisir rambutmu di teras ‎rumah setiap pagi. Ayahmu menendang dan memijak perutnya 19 kali, di ‎depan mataku.” Pandangan Ajar mulai menajam.‎
Alya mematung. Ia benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. ‎Lalu, jatuh bersimpuh. Matanya mulai berkaca.‎
‎“2 minggu setelah itu, ibuku membawanya ke dokter. Limpanya ‎pecah dan kronis. Ia meninggal dengan sebab itu. Ibuku lantas sakit ‎karena ayahku meninggal. Lalu aku yatim piatu. Aku tak perlu ‎berkomentar banyak. Tentu kau sudah mengerti.” Suaranya kembali ‎memelan.‎
Mereka terdiam beberapa saat. Suara serangga hutan hingga ‎terdengar begitu jelas.‎
‎“Aku tau kenapa kau menghindar sejak saat itu.” Untuk pertama ‎kalinya Ajar membuka perbincangan, tepatnya semenjak pertemanan itu.‎
Alya, rasa pilunya jatuh semakin dalam sampai tidak mampu ‎berbicara. Suasana hening kembali untuk beberapa saat.‎
‎“Seharusnya kau tidak seperti itu kepada orang lain. Bagaimana ‎caranya aku boleh mengerti apa keinginanmu, bagaimana perasaanmu, ‎sedang kau hanya diam saat kutanyai. Kau seharusnya berbicara! ‎Menjelaskan!, Jika kau tak mau aku menghindar.”‎
‎“........................” Ajar mulai terdiam.‎
‎“Bahkan, senyuman mu di sepeda itu pun kau tutupi. Kenapa ‎tidak kau tumpahkan saja, agar aku tau?”‎
‎“agar kau tau apa?” Ajar berkomentar cepat.‎
Tangisannya Alya memilu lagi.‎
‎“Sudah. Kau tak lihat matahari mulai turun. Ayahmu tentu akan ‎marah jika tau kau di sini.” Ajar bangun dan mengambil tempat air itu.‎
‎“Kau akan mengantarku pulang?” Alya mulai bangun dan ‎mengusap mata sembabnya.‎
‎“Tidak, jika kau ingin bermalam di sini.”‎
Tangisan yang sedari tadi berjatuhan, akhirnya mampu digantikan ‎hanya dengan satu kalimat itu. Alya tersenyum sambil mengikuti langkah ‎kaki Ajar. Persis memijak jejak langkah Ajar yang tertinggal di belakang. ‎

** 26 **‎
Air Mata Yang Mengering

Jejak kaki Ajar membawa Alya ke rumah itu. Lagi-lagi ia tidak ‎pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di rumah se-reyot itu. Sendiri. ‎Ia mulai memaklumi segala sikapnya yang tak normal. “Jika aku jadi dia, ‎mungkin aku sudah gila.” Besit benaknya sedih, sambil melihat Ajar ‎melepas keranjang sampah di sepedanya.‎
‎“Naiklah, kita harus cepat.”‎
Alya langsung duduk menyamping. Sepeda itu pun melaju. Nilai ‎‎1-9. Mereka harus turun setiap kali jalan menanjak. Sepeda itu tidak akan ‎bergerak naik karena dayungannya tidak bisa dikayuh sempurna. ‎Rantainya akan lepas. Mereka terus melakukan itu sampai jalan lempang ‎terpampang.‎
‎“Kenapa kau tersenyum ketika itu?”‎
‎“...........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.‎
‎“Padahal tadi kau berbicara banyak. Tapi sekarang kau malah ‎diam.”‎
‎“...........................”‎
‎“Kenapa kau sampai berbohong kepada ketua ospek itu, bahwa ‎kau yang menabrakku. Padahal aku yang menabrakmu.”‎
‎“...........................”‎
‎“Kau juga bilang aku cantik. Apakah kau juga berbohong atas ‎alasan itu.?” Alya tersipu malu sendiri.‎
‎“..........................”‎
‎“Kau membiarkanku menaiki sepedamu, bahkan kau tidak ‎menolaknya sama sekali.”‎
‎“..........................”‎
‎“Kau tau bang, sejak aku menghindar waktu itu. sebenarnya ‎perasaanku menolak.”‎
‎“Kau selalu banyak bicara.” Ajar mulai menanggapi.‎
‎“Dulu, kau bahkan lebih banyak bicara daripada aku, bang.” Alya ‎mencoba melihat wajah Ajar yang sedang mengayuh.‎
‎“Tapi hari ini, pertanyaanmu sangat banyak.” Ajar dengan suara ‎datar.‎
‎“Kau tidak bertanya kenapa pertanyaanku sangat banyak hari ini.”‎
‎“Kenapa?” Ajar sibuk mendayung. ‎
‎“Kenapa apa bang?” Alya sedikit menyudutkannya.‎
‎“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”‎
Alya mengambil nafas dalam dan memejamkan mata. Suara ‎denyitan sepeda itu terdengar jelas lagi.‎
‎“Tanyakanlah sekali lagi.”‎
‎“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”‎
‎“Aku akan berangkat ke Malang besok.”‎
‎“oohhh...”‎
‎“Apa maksudmu ooohhh...?” Alya marah.‎
‎“........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.‎
‎“Kau terkadang sangat menyebalkan.”‎
‎“Sekarang jawablah pertanyaanku dengan jelas dan lengkap. Kau ‎tau, ini sudah waktunya.”‎
‎“baik.”‎
‎“Kenapa kau tersenyum saat memboncengku, pagi itu?”‎
‎“...........................”‎
‎“Sudahlah bang, aku lelah mendengar kebisuanmu dan suara ‎denyitan kayuhan itu.”‎
‎“Seharusnya kau mendengarkannya dengan baik.” Ajar tersenyum.‎
Alya mulai memukul punggung Ajar, berkali-kali. Semakin lama ‎semakin melambat. Ajar menoleh ke belakang dan melihat wajah alya. Ia ‎menangis lagi.‎
Sebuah tarikan nafas panjang dan dalam. Ajar bersiap menjelaskan.‎
‎“Aku memang tersenyum waktu itu. itu memang jarang sekali ‎terjadi.”‎
Alya mulai melihat ke arahnya.‎
‎“Aku hanya teringat. Saat kau duduk seperti itu. membelakangiku ‎dan menaikkan kedua kakimu di ujung bangku. Aku sering ‎melakukannya ketika kecil dulu, sedang ayahku mengayuh sepeda ‎seperti ini. Kayuhan tidak sempurna. Sampai memori yang hadir itu, ‎membuatku bahagia sejenak.”‎
‎“Padahal aku sudah menyukaimu sejak hari ospek itu.” alya ‎sedikit kecewa dan menegarkan diri. Ia sempat berpikir, bahwa Ajar ‎memang benar-benar menyukainya.‎
‎“.............................”‎
‎“Mungkin pun, kita seharusnya tidak bertemu.” Pernyataan ‎singkat alya.‎
Sejenak kemudian, Alya menyuruhnya untuk berhenti. Ia ‎mengeluarkan ponselnya dan menelpon Amina. Alya minta untuk ‎dijemput.‎
Mereka berhenti. Lalu Alya duduk bersila di tepi jalan. Sedang ‎Ajar, hanya duduk di sepedanya. Mereka menghadap matahari yang ‎mulai menguning, tanpa berkata sepatah kata pun. Ajar, dia tidak pernah ‎bisa berbicara banyak. Sementara Alya, airmatanya telah mengering ‎karena sedari tadi sudah banyak tumpah, seolah semuanya sia-sia.‎
Kemudian Amina datang, dan tersenyum. “Naiklah Alya, ayahmu ‎pasti sudah risau.” Alya pun bangkit dan melihat Ajar, mungkin untuk ‎kali terakhir. Ia berjalan dan menaiki sepeda motor Amina. Bahkan Ajar ‎tidak berputar arah. Ia mematung.‎
‎“Apa ada masalah baru?” Amina berbisik pelan.‎
‎“Sudah. Jalanlah.” Alya menyahut tersenyum. Sepeda motor itu ‎mulai berjalan.‎
Ajar tidak menoleh ke belakang. Namun, ia mulai fokus pada ‎suara motor Amina yang semakin mengecil. Lalu, seketika sesuatu ‎melintas di pikirannya. Ia mengambil sepedanya dan memacu sebisa ‎mungkin. Mereka belum terlalu jauh.‎
‎“Dia mengejarmu.” Amina melihat Ajar dari spion dan ‎melambatkan laju motornya.‎
‎“Tetaplah jalan kak. Biarkan dia berteriak.”‎
‎“Alya.!!” Ajar benar-benar berteriak.‎
Alya melihatnya tersenyum. Kayuhan Ajar terlihat sangat susah, 1-‎‎9, karena dikebut kencang.‎
‎“Apakah benar kau akan ke Malang!!” Ia terus mengayuh dan ‎berteriak.‎
Sebuah anggukan, senyuman ramah nan manis, serta lambaian ‎pelannya. Dan itu cukup untuk membuat Ajar berhenti. Ya, dia memang ‎benar-benar berhenti. Kedua saling memandang di jalan lurus itu. ‎sampai, jarak pandang membatasi.‎

** 27 **‎
Antarkan Saja Aku ke Kampus, Kak.‎

Pak Danish sudah menelpon Alya berkali-kali. Beberapa panggilan ‎tak terjawab, Alya mengacuhkannya begitu saja. Padahal, Langit di ‎sebelah barat sudah memerah. Pak Danish tentu akan marah besar saat ‎Alya pulang nanti. Amina tak menyadari hal itu. Sepeda motor mereka ‎terus melaju pulang, seperti tidak akan terjadi apa-apa.‎
Amina, ia mulai prihatin dengan keadaan Alya. Kondisinya ‎bahkan sangat buruk. Dengan baju sekotor itu, ujung bawah rok-nya pun ‎tersobek saat memanjat pintu kebun Ajar tadi sore. Belum lagi, ia ‎menangis sepanjang perjalanan. Matanya sembab. Ia tentu sedang ‎memikul sesuatu yang berat.‎
‎“Kau ingin ku antar ke mana?”‎
‎“Antarkan saja aku ke kampus kak.”‎
‎“Kenapa?”‎
‎“Aku shalat di sana saja.”‎
Amina tidak berpikir panjang. Ia terus memacu sepeda motornya. ‎Suara azan mulai berkumandang di mana-mana. Sementara ponsel Alya ‎terus berdering meminta di angkat. Amina tak banyak mengomentari. ‎Mereka tiba di jalan simpang kampus. Sepi. ‎
‎“Terimakasih kau telah banyak membantuku kak.”‎
‎“Tak apa, Cuma ini yang bisa ku buat untuk kau.”‎
‎“Kau sangat baik.”‎
‎“Aku bahkan sangat mengerti keadaan kau sekarang. Semoga di ‎lain waktu, kita dapat berjumpa lagi.”‎
Mereka berpelukan untuk kali terakhir. Amina tidak bisa lama di ‎sana dan langsung pamit. Ia pun beranjak dan meninggalkan Alya di ‎sana, sendiri. Suasana kampus menjadi sangat berbeda saat malam hari. ‎Biasanya ramai dan terang. Dan sekarang gelap dan sendiri. “Ini seperti ‎akhir ceritaku di sini.”‎
Setelah shalat magrib, Alya menghubungi ayahnya. Tentu ia di ‎marahi besar. Tapi Alya sudah terlanjur tenang. Beberapa saat kemudian ‎ayahnya pun tiba. Kemarahan Pak Danish ketika berpapasan memang ‎jauh lebih menakutkan dari pada di telpon tadi. Alya bahkan tidak ‎menanggapinya. Ia hanya masuk ke mobil dan duduk. Dari balik jendela ‎belakang mobil. Ia melihat bangunan itu semakin jauh. “Memang banyak ‎kenangan yang tak mungkin di lupakan di sini.”‎

** 28 **‎
Maaf dan Terimakasih

Ajar mengotak-ngatik sepedanya. Alat dayung sepedanya di copot ‎dan diganti dengan yang baru. Tepatnya suku cadang yang pernah di ‎ganti di bengkel tempo lalu. Saat orang suruhan Alya mengangkut ‎sepedanya di kampus. Di hari itu juga Ajar menggantinya kembali. Suku ‎cadang yang baru itu dikembalikan kepada Ajar oleh montir bengkel itu, ‎karena alya sudah membelinya.‎
Ia sadar, anggukan petang kemarin benar-benar serius. Alya akan ‎pindah ke Malang. Bahkan ia tidak tau jam berapa Alya akan berangkat. ‎Berarti sepedanya harus siap melaju cepat. Alat kayuh lama hanya akan ‎memperlambat. Ajar tangkas memperbaiki barang-barnag rusak. ‎Termasuk sepedanya. Tangannya sudah hitam karena banyaknya oli ‎bekas yang bersarang di selinder kayuhan sepedannya. Butuh banyak ‎sabun untuk membersihkannya.‎
Pagi ini, setelan Ajar sangat rapi. Ia bahkan memasukkan bajunya ‎ke dalam dan mengenakan sepatu hitam ayahnya yang sudah tersimpan ‎lama. Tapi, tetap saja perawakan anak kampung tidak pernah hilang. ‎Bahkan dengan setelan serapi itu. Itu akan lucu jika pemuda-pemuda ‎kota melihatnya.‎
Ia mendayung sepedanya dengan sigap. Sesekali ia memacunya ‎dengan cepat setiap kali terlintas di pikirannya, “Ini sudah telat.” ‎Tanjakan, turunan, lubang jalan, dan jalan lempang. Ini lebih menantang ‎dari kompetisi balap sepeda. Alat kayuh baru itu memang memberikan ‎sensasi yang berbeda. Lebih landai dan mudah.‎
Ia tau bahwa berhenti di rumah Alya hanya memunculkan masalah ‎baru. Ia terus berpikir sambil mengayuh sepedanya. “Di mana sebaiknya ‎aku bisa berjumpa dengannya.” Baju itu tidak lagi rapi. Bahkan sudah ‎basah karena keringat. Sebaiknya ia membaikkan pakaiannya ketika ia ‎sampai. Tapi itu tidak penting.‎
Pagar rumah Alya sudah tampak dari jauh. Ajar memelankan ‎sepedanya. Ia mulai mengambil nafas untuk menurunkan frekuensi detak ‎jantung karena aktivitas cepat tersebut. Laju sepedanya semakin ‎memelan seiring semakin dekatnya rumah Alya. Pagar hitam rumah Alya ‎memang meninggi gagah. Jerujinya juga rapat. Sulit untuk melihat ke ‎dalam jika laju sepedanya cepat.‎
‎10 meter sebelum sampai di gerbang pagar. Sebuah tangan cantik ‎terjulur ke luar dan melambai, seperti gelagat menyetop angkutan ‎umum. Kemudian Ajar berhenti. Sementara Alya, ia memakai gamis yang ‎cantik. Kainnya kilap berwarna putih dengan motif bunga sakura lengkap ‎dengan cabangnya. Jelbabnya merah jambu dan ada kecamata hitam di ‎atasnya. Ia memang benar-benar cantik.‎
‎“Kau betul akan berangkat hari ini.” Ajar dengan nafasnya yang ‎cepat karena kelelahan.‎
‎“Apa kau pernah melihatku memakai baju sebagus ini.” Ia ‎mengibaskan roknya ke kiri dan ke kanan sambil melihat ke bawah dan ‎tersenyum.‎
‎“Ya, sepertinya kau akan pergi.”‎
‎“Lantas kenapa kau berhenti di sini.”‎
‎“Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan. Dan ‎terimakasih juga atas semuanya.”‎
‎“Ya, juga maafkan aku.” Alya tersenyum dengan sedikit memaksa.‎
Kemudian Ajar melihat ada gerakan di pintu rumah. Tanpa ‎berbasa basi. Ia langsung melaju lagi. Ajar sebenarnya sudah siaga bahwa ‎sewaktu-waktu Pak Danish bisa saja keluar dari dalam rumah. Tak jauh ‎setelah mengayuh sepedanya, ia menoleh ke belakang. Alya masih di ‎sana memandanginya. Lantas ajar melambai dan alya langsung masuk. ‎Raut wajahnya sedih dan Ajar tidak melihatnya.‎
Lalu, sepintas Ajar bingung sambil mengayuh sepedanya. Ia mulai ‎merasa sedih pula, namun dengan topik yang berbeda. Ia sering sedih ‎ketika merindukan orang tuanya. Tapi kali ini topiknya lain. Maka ‎setelah hari ini, tidak adalagi sosok yang duduk di bangku belakang ‎seperdanya. Juga tidak adalagi yang dengan berani dan bersabar ‎menghadapinya yang tidak normal itu. untuk mengajak berbincang dan ‎penuh perhatian.‎
Sepedanya terus melaju. Hingga sampai di simpang kampus. Ia ‎berhenti di sana. Tidak ada tempat singgahan yang familiar ke depan lagi. ‎Lantas ia berbelok dan menuju ke kampusnya. Hari ini sangat berbeda. ‎Biasanya saat ini suasana di sini mulai ramai. Kendaraan yang berlalu ‎lalang keluar dan masuk untuk pulang, pergi dan keluar sebentar. ‎‎“sekarang terang dan sendiri.”‎
Sepedanya di parkir di belakang kampus. Padahal perkuliahan ‎sedang libur. Kebiasaan itu sudah mendarah daging. Tidak perlu ‎menganalisa dan menunggu perintah diri, gerakan tubuhnya secara ‎otomatis membawanya ke sana. Sepedanya di parkir normal. Cukup ‎dengan cagak. Biasanya butuh kayu untuk menopang sepedanya agar ‎tidak jatuh. Karena ada dua keranjang sampah di bangku belakang.‎
Ia duduk di tanggal mushalla. Menunggu azan zuhur tiba ‎beberapa menit lagi. Sambil duduk pun, pikirannya tentang Alya tak ‎kunjung lekang. Kenangan itu terlanjur bermain di kepalanya. Wajar ‎untuk laki-laki seperti Ajar. Ia bahkan tidak pernah merasakan ‎pertemanan seakrab itu, apalagi dengan perempuan. “Alya itu seperti ‎mobil tempur. Langsung merangsek masuk tak kenal takut.”‎
Azan zuhur berkumandang. Ia bergegas berwudhu’ dan shalat. Ini ‎semakin mengherankannya, wajah Alya pun terbawa masuk dalam ‎shalatnya. Istighfar dan ta’awuz diucapkan berkali-laki. Sesekali bayangan-‎banyangan itu ditarik agar tidak muncul. Namun, beberapa saat ‎setelahnya ia muncul lagi. “Syaitan sedang mengganggu shalatku.”‎
Usai shalat, Ajar berniat pulang. Ia menapak ke arah belakang ‎kampus. Seketika tampak Pak Norman yang menyeka absen dosen ke ‎wajahnya waktu itu. Ia tertawa kecil. Sepedanya mulai di tarik dan ‎diputar arahnya. Lalu sepintas, ada visual yang berbeda. Itu tidak seperti ‎biasanya. Dinding pagar itu seharusnya berwarna putih. Tapi, sekarang ‎ada semacam coretan hitam. Mata Ajar langsung menoleh dan ‎memperhatikan nuansa visual yang berbeda itu.‎
‎“Tuhan, maafkan diri ini, yang tak pernah bisa menjauh dari angan ‎tentangnya. Namun, apalah daya ini bila ternyata, sesungguhnya . . . Aku terlalu ‎cinta dia.” Di bawahnya tertera sepotong nama. “Alya”‎
Pikiran Ajar lengang. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. ‎Lalu menggiring sepedanya dari belakang gedung itu. Ia berjalan pelan. ‎Melihat lorong itu. Mereka terhempas karena tertabrak. Melihat ke bagian ‎depan, Alya berdiri dengan wajahnya yang memerah, dan di lapangan ‎tengah, ia yang sedang push up dan melihat wajah Alya, ia memang ‎cantik. Hingga sampai ke gerbang kampus. Ia menaiki sepedanya dan ‎mengayuhnya sambil berdiri. Ajar melaju kencang dan beberapa tetes ‎airmatanya terhempas ke belakang.‎
Ia memacu sepedanya secepat mungkin. Bukan ke rumah Alya, ‎namun arah sebaliknya. Ajar tidak tau apakah mereka sudah berangkat ‎atau belum. Jika sudah, ia akan mengejar mobil mereka sejauh mungkin. ‎Jika belum, tentu mobil itu tidak lama lagi akan melewatinya.‎
Kayuhan itu cepat sekali. Namun secepat apapun, sepedanya ‎hanyalah sepeda biasa. Bukan seperti sepeda gunung atau sepeda balap ‎yang mempunyai gear untuk memilih tingkat kecepatan kayuhan yang ‎berbeda. Ajar tidak memikirkan apakah mobil itu sudah lebih dulu di ‎depan atau masih di belakang. Ia hanya berpikir sepeda itu harus melacu ‎secepat mungkin dan memperhatikan setiap mobil yang menyalipnya.‎
Benar, beberapa menit kemudian mobil Alya lewat. Lajunya tidak ‎terlalu cepat. Namun ia tetap saja tertinggal. ‎
‎“Alya.!!” Ajar berteriak. Bahkan tak cukup sekali.‎
Ia tetap mengayuh.‎


‎** 29 **‎
Wo Ai Ni

‎“Ayah, berhenti.!! Alya memekik di dalam mobil. Sementara Pak ‎Danish tidak menghiraukannya dan menambah kecepatan kendaraannya. ‎Ibu Alya mulai bingung karena Alya tak berhenti memekik di belakang. ‎‎“Berhentilah bang, kau tak kasian melihat anak kau. Ini hari terakhirnya ‎di sini. Kasikanlah kesempatan untuk anakmu berjumpa dengan ‎kawannya.” Ibu Alya mencoba memberi masukan. Sementara Alya tetap ‎menangis di belakang, seperti orang histeris. Beberapa kali ia melihat ke ‎belakang. Melihat Ajar yang mulai jauh.‎
Kaki Ajar tidak bisa lagi mengayuh lebih cepat daripada itu. Ia ‎semakin panik karena mobil itu semakin menjauh. Dan tiba-tiba, kakinya ‎keram. Dari rumah ia sudah memacu cepat sepedanya dan sekarang ‎batasnya sudah sampai. Kakinya yang keram mengacaukan ritme ‎dayungan dan akhirnya... Brakk !!! Ajar tersungkur jatuh.‎
Alya benar-benar melihat Ajar jatuh. Lantas ia membuka pintu ‎mobilnya. “Kalau ayah tidak berhenti sekarang juga, alya lompat ke ‎luar.” Alya mulai nekat. Sontak Pak Danish terkejut dan memarahinya. ‎Alya mulai mengeluarkan kakinya dan... mobil itu pun berhenti. Pak ‎Danish benar-benar tau bahwa Alya pasti akan benar-benar melompat jika ‎mobilnya tidak berhenti.‎
Alya, ia mengambil sebuah pulpen dan langsung berlari secepat ‎mungkin ke arah ajar yang terjatuh dari sepedanya. Tangan kanan dan ‎kirinya mengangkat ujung bawah gamisnya sedikit ke atas agar itu tidak ‎memperlambat. Ia tau bahwa dalam sekejab, ayahnya akan datang dan ‎menariknya masuk ke dalam mobil lagi.‎
Ajar, ia menyeret sepeda dan dirinya ke pinggir. Ia bahkan tidak ‎bisa berdiri. Sikunya lecet dan hidungnya berdarah karena menghantam ‎setang sepeda. Ajar melihat Alya berlari dan tertawa sambil ‎mengelengkan kepalanya. Alya pun demikian, berlari dan menangis ‎sambil tertawa.‎
‎“Kau memang mirip ayahmu.” Ajar tersenyum.‎
‎“Kau tentu tak akan mengejarku seperti jika tidak ada sesuatu. ‎Berikan tanganmu!” Alya, sambil menoleh ke belakang dan melihat mobil ‎ayahnya mulai mundur.‎
‎“Berikan tanganmu!” Alya meraih tangan Ajar dan menuliskan ‎nomor ponselnya dengan cepat. Dan mobil itu sudah tepat berada di ‎belakang mereka.‎
‎“Tuliskan nomer mu. Cepat !!” Alya memberikan pulpen itu ‎kepadanya.‎
Ia lantas bergegas meraih tangan Alya dan menuliskannya. ‎Sementara Alya sudah panik sambil melihat ayahnya yang sudah turun ‎dari mobil dan mulai menghampiri mereka.‎
‎“Sudah !” Ajar melepas tangannya.‎
Alya lantas berlari dan masuk ke mobil sebelum ayahnya datang ‎untuk menarik tangannya.‎
‎“Kau memang sudah meracuni anakku.” Itu bentakan terakhir. ‎Mungkin jika kondisi Ajar tidak seburuk itu, ia pasti akan di hajar lagi. ‎minimal ditampar.‎
Pak Danish menghampiri Alya dan menuju pintu di mana Alya ‎duduk. Ia melakukan sesuatu kepadanya di dalam mobil. Ajar tidak bisa ‎melihat apa yang dilakukan Pak Danish dari sana. Setelah selesai, ia ‎menutup pintu dan melihat Ajar dengan ngeri. Namun, pelototan mata ‎orang tua itu menjadi tidak menyeramkan lagi di mata Ajar. Mungkin ‎karena setelah dipukuli hari itu.‎
Ketika mobil hendak berjalan. Kepala dan tangan Alya mendongak ‎ke luar. “Tanganku diikat” tuturnya sambil memperlihatkan kedua ‎tangannya yang terikat. Ia bahkan tertawa. Ajar yang melihatnya, juga ‎tertawa. Dan hari itu menjadi hari terakhir mereka bertemu.‎
Dua jam perjalanan, mereka sudah sampai di bandara. Tentu ‎ikatan tangan alya sudah di lepas. Pak Danish terus mengomel karena ‎jadwal penerbangan Alya hampir terlambat. Mereka bergegas. Alya ‎mohon izin. Wajahnya gemilang. Ia mencium tangan ibunya. Dan ketika ‎Pak Danish memberikan tangannya untuk disalami, Alya langsung berlari ‎menuju lapangan bandara.‎
‎“Hei...! salami dulu ayahmu.‎
Alya menggeleng sambil tertawa. Ia benar-benar tak mau ‎menyalami ayahnya.‎
Alya menaiki pesawat dan tak lama kemudian meluncur terbang. ‎Sepintas ia mengambil ponsel-nya dan menyetel flight mode agar ia tetap ‎bisa mendengarkan musik dari ponselnya tanpa mengganggu sinyal di ‎pesawat. Seraya melakukan itu, Ia juga ingin memasukkan nomor ponsel ‎ajar ke ponselnya dengan segera. Jika tidak tulisan itu akan kabur. Alya ‎mulai memperhatikan telapak tangannya.‎
Seketika ia tertawa pelan, juga menangis. Melihat telapak ‎tangannya berkali-kali. Juga melihat gumpalan awan dari balik jendela ‎pesawat. Alya bahkan tidak curiga sama sekali, kenapa Ajar bisa dengan ‎cepat menulis 12 digit nomer di tengah kepanikan seperti itu. Ia baru ‎sadar, waktu itu hanya dia yang panik sementara ajar tidak. Tulisannya ‎dilukis bagus. “Wo ai ni.” Keputusan yang tepat untuk mengungkapkan ‎cinta di waktu sesingkat itu. hanya butuh 6 huruf untuk 3 kata.‎

** 30 **‎
Rahasia di balik kayuhan Itu

Sebulan libur telah berlalu. Mahasiswa berdatangan untuk ‎mengurus administrasi perkuliahan semester genap. Beberapa di antara ‎mereka ada yang baru pergi ke bank untuk menutup SPP. Beberapa ‎sudah bisa duduk santai sambil berbagi cerita karena lama tidak ‎berjumpa.‎
Riuh datang bersama Amina. Sepertinya, tidak lama lagi mereka ‎akan menikah. Riuh sering datang ke rumah Amina pada hari libur. Ia ‎bahkan sangat berani berbicara dengan ayahnya amina. Waktu itu, Riuh ‎banyak dicecar pertanyaan. Ia menjawab dengan cepat. Seperti dibuat ‎tidak betah, Ia langsung berkomentar, “Boleh kah saya menikahi anak ‎ayah?”. Aminah yang menguping pembicaraan mereka di luar jendela, ‎tertawa geli. Ayah Amina pun terpaku dengan jebakannya sendiri.‎
Ajar, ia datang dengan sepeda. Amina menunggunya di lorong ‎arah ke belakang kampus. Ajar kemudian berhenti. Amina menutup ‎jalannya dan tidak berbicara.‎
‎“Hei amina, janganlah tutup jalanku...” Ajar tersenyum setengah ‎tertawa.‎
Jelas amina terkejut. Obat apa yang telah diberikan Alya ‎kepadanya sampai sakit jiwanya sembuh. Wajah Amina melongo dan ‎mulai memberi jalan. Ajar lewat dan Amina mengikut di belakangnya.‎
‎“Hei Jar, aku tak salah liat? Kau biasanya sangat diam.” Amina ‎bertanya serius.‎
‎“Apakah kau sudah mendaftar ulang?” Ajar memotong ‎pembicaraan.‎
‎“Sudah.” Amina menjawab tertegun
‎“Aku belum. Apakah antriannya sudah panjang?” tuturnya sambil ‎menepuk abu jalanan yang tersangkut di celananya.‎
‎“Cepatlah kau pergi, mungkin sebentar lagi akan panjang.”‎
Ajar mengambil tasnya di keranjang depan dan bergegas pergi. ‎sedang Amina masih di sana dan memperhatikan sepedanya. Tidak ‎adalagi dua keranjang sampah. Pedal dan alat kayuhan itu pun tampak ‎baru. Tampak lebih menjanjikan. Lalu, Amina memutar arah dan ingin ‎meninggalkan tempat itu. Seperti Ajar yang sedang di sana sebulan yang ‎lalu. Amina melihat tulisan Alya yang terpampang besar di pagar beton ‎belakang. Tulisan itu ditulis dengan arang. Lalu di bawahnya ada bentuk ‎tulisan yang berbeda. “Kau adalah cut dan aku bukan teuku.” “Sesuatu ‎telah terjadi.” Besitnya dalam hati. Kemudian, tulisan di dinding pagar ‎itu difoto Amina.‎
Setelah zuhur, Amina dan Riuh menunggu Ajar di tangga ‎mushalla. Cerita singkat tentang pertemuan Amina dengan Ajar tadi pagi ‎diceritakan kepada Riuh. Riuh setengah percaya. Tak lama kemudian ‎Ajar keluar dari dalam mushalla. “Bagaimana kalau kita duduk di luar ‎sebentar, minum kopi mungkin?” Riuh mengajaknya. “Kenapa tidak.” ‎Ajar tersenyum tenang. Lantas Riuh memukul-mukul bahunya sambil ‎tertawa girang. “Ku kira, Amina tadi membohongiku.”‎
Sesampainya di warung kopi, Amina dan Riuh menanyakan ‎semuanya. Ceritanya dan Alya dari awal sampai akhir. Butuh waktu ‎hingga tiga jam untuk menjelaskan semuanya. Itu pun tidak utuh. Amina ‎dan Riuh mendengarkannya dengan baik tan takjub.‎
‎“Lalu, sepeda kau tampak baru. Kau tidak menaruh keranjang ‎sampah di bangku belakang. Itu juga termasuk hal yang berbeda dari kau ‎hari ini, kenapa?”‎
‎“Aku hanya mengganti alat kayuh yang dibelikan Alya. Dua ‎keranjang itu tidak ada karena aku tidak meloper koran lagi. Kalian tau ‎gudang penampungan pinang di tikungan sana,?” –amina dan riuh ‎mengangguk- “Aku sudah bekerja di sana sebagai akuntan.”‎
‎“Wah, hebat kau, gam.!” Riuh takjub.‎
‎“Kau pasti kangen dengan dia, kan? Tak jumpa dia, alat ‎dayungnya pun jadi.” Amina tertawa.‎
‎“Ada benarnya juga. Kalau dia pulang, aku tentu akan mengganti ‎alat kayuh itu dengan yang lama.”‎
‎“Kenapa?”‎
‎“Supaya waktu dia duduk di belakang, dia bisa mendengar bunyi ‎denyitan dan hentakan itu lagi.”‎
Riuh tertawa, Ajar pun demikian. Sedang Amina melihat ‎keduanya.‎
‎“Kejam lah kau Jar, tega kau tak menjawab pertanyaannya yang ‎banyak itu. Kau malah memperdengarkan suara denyitan itu.”‎
‎“Ya benar, aku sekarang pun berpikir demikian. Itu memang ‎kejam. Tapi, aku yang waktu itu, cuma ingin memperdengarkan suara itu ‎kepadanya sebagai sebuah pesan.”‎
‎“Apa itu?” Mereka mulai memusatkan perhatiannya.‎
‎“Bunyi denyitan itu, ciieeeet, lalu aku harus menarik kayuhanku ke ‎sedikit belakang supaya rantainya tidak jatuh. Kemudian kayuhan itu ‎harus kudayung ke depan lagi, tapi kayuhan itu sedikit loss sepersekian ‎detik dan memunculkan suara hentakan “takkk.” Waktu itu, ku harap ia ‎tau, bahwa suara denyitan sepeda ini sedang mewakilkanku untuk ‎menjawab semua pertanyaannya.”‎
‎“Ku kira kau sudah sembuh total jar.” Riuh mencandai dan ajar ‎tertawa.‎
‎“Coba kau bayangkan baik-baik. Suara denyitan dan hentakan itu ‎hampir sama dengan kata cinta.”‎
‎“Bagaimana bisa.” Mereka heran dan mulai tertawa.‎
‎“Cieeeettt takkk, = Cinta.” Ajar menjelaskan sambil menuliskannya ‎di selembar tisu. Lantas tawa mereka pun pecah.‎
‎“Ya, bagaimana mungkin dia boleh mengerti tentang itu. Aku pun ‎bodoh sekali. Kenapa sampai berpikir demikian.”‎
Ajar tertawa. Ia tampak riang. Kemudan Amina dengan sekejab ‎mengambil ponselnya dan mem-foto Ajar dengan ekspresi itu, tanpa di ‎ketahui. Lalu Amina meng-upload gambar tulisan di pagar itu dan wajah ‎ajar yang tertawa sekarang ke salah satu media sosial. Ia menulis status di ‎atas gambarnya, “suara denyitan dan kayuhan. Cieeeett.... takkk = Cinta. ‎‎:D.  Kawanku ini tertawa lepas menceritakannya.”‎
Tak lama kemudian, satu pemberitahuan masuk. Alya menjadi ‎orang pertama yang menyukai status itu. Amina tersenyum, “Berarti ‎pesan ini sampai.”‎
‎“Jar, kenapa kau tak membeli ponsel saja? kau pasti akan ‎membutuhkannya.”‎
‎“Ya, ku rasa aku mulai membutuhkannya sekarang.” Ia ‎menggaruk keningnya dan tertawa lagi.‎

Komentar