
Banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dalam hidup ini. Apalagi bagi tipikal orang yang cenderung pendiam atau tidak mahir mengungkapkan maksud perasaannya dengan sempurna, sehingga maksudnya sulit untuk dapat diterima dengan utuh oleh si pendengar. Itu lumrah terjadi bagi sebagian orang, memang tidak semuanya.
Kita tidak bisa menyangkal, bahwa
kata-kata yang keluar dari komponen alat bicara kita adalah ekspresi dari
perasaan yang menetap di dalam sanubari. Bahwa kata-kata seorang guru yang
keluar ketika mengajarkan suatu bidang ilmu kepada anak didiknya merupakan
ekspresi perasaannya yang berhasrat untuk mengajari. Bahwa seorang ibu yang
memarahi anaknya karena berbuat salah, merupakan ekspresi kekesalan hatinya
karena perbuatan anaknya tersebut. Bahwa seorang nelayan bernyanyi sambil
memancing ikan di atas perahu, karena hatinya sedang cerah, secerah langit
laut, tak diganggu angin riuh nan kencang.
Sekilas, kita bisa menilai, bahwa
perasaan itu bisa dengan serta merta dapat diekspresikan dengan kata-kata.
Namun nyatanya, tidak selamanya demikian. Ketika luapan perasaan di sanubari
tersebut sedang berada di derajat luar biasa. Ketika itu, rasa tidak bisa
diwakilkan dengan kata-kata. Karena ketika ketika perasaan DLB (derajat luar
biasa) itu ingin diungkapkan melalui kata-kata, maka sudah barang tentu ia akan
berdusta.
Sebagaimana kutub magnet, atau
switch arus listrik, sanubari sebagai wadah bernaungnya perasaan juga punya
kecenderungan positif dan negatif. Sanubari manusia akan sangat rentan dalam
menerima dua aspek ini. Artinya, besar kecilnya porsi unsur positif dan negatif
di dalam sanubari sangat tergantung pada si empunya sanubari dalam mengisi daya
perasaannya dengan hal-hal yang baik atau buruk.
Nah, perasaan DLB ini tidak akan
lepas dari dua unsur yang beroposisi tersebut. Jika unsur negatif sedang
diserang perasaan DLB, maka muncullah perasaan dendam. Sebuah perasaan benci
yang super dasyat, bersemanyam di dalam dada dan membakar hal-hal yang indah di
dalam hatinya. Jikasanya seseorang bertanya kepadanya tentang perihal dendam di
sanubabarinya, sudah barang tentu esensi rasa dari kebencian luar biasa itu
tidak akan tuntas digambarkan dengan kata-kata. Sekeras apapun ia berusaha
untuk mengambarkan kebenciannya, ia tidak akan mampu. Tidak akan mampu untuk
memberikan pemahaman kepada orang lain tentang bagaimana yang sebenarnya ia
rasakan. Sengaja tidak saya ilustrasikan kata-katanya, karena memang terlalu
kasar. Hehe.
Lain halnya jika perasaan DLB
sedang menimpa unsur positif sanubari. Maka lahirlah perasaan cinta dan kasih
sayang, bahkan menggebu-gebu. Sehingga, apapun yang
diinginkan/disukai/dihajatkan oleh orang yang dicintainya, dengan serta merta
tanpa terasa berat langsung direalisasikan. Bahkan ada kasus, “tanpa memperhitungkan
resiko”. Perasaan yang seperti ini pun tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,
bagaimana esensi rasa yang sedang dirasakan oleh si empunya sanubari. Seorang
suami tentu akan berkata kepada istrinya, “Wahai belahan hatiku, jikalah engkau
tahu dalamnya perasaanku ini kepadamu, inginlah aku terbang ke awan dan memetik
bintang, tentu akan kuberikan kepadamu. Akanlah kudaki puncak Himalaya,
kupersembahkan bunga edelwis kepadamu.” Dusta kan? Tapi tidak sepenuhnya,
karena kata-kata yang “beban”nya berat itu merupakan ekspresi dari dalamnya
perasaan seorang suami kepada istrinya.
Nah, itulah yang kemudian
dikatakan gombal oleh banyak perempuan. Asal tau saja, bahwa tidak semua gombal
itu, omong kosong belaka. Lihatlah nanti ketika sudah menikah. Hehe.
Komentar
Posting Komentar