Perwira
Abstrak
Juhaimi Bakri. Seorang
perwira di bidang wawasan. Banyak hal yang ia ketahui, menyentuh di segala
lini. Jika masalah tokoh dan sejarah, aku mengangkat dua tangan. Pengetahuannya
tentang masalah terkini, aku banyak tahu darinya. Ia piawai dalam mengangkat
kesan-kesan yang tersirat dalam suatu pernyataan atau kejadian.
Aku memberi tabi’
penghormatan kepada orang tua ini. Semangatnya untuk belajar tidak bisa
dipandang sebelah mata. Melebihi semangat anak muda. Setiap makalah diberi
catatan. Setiap topik diangkat makna intinya. Setiap ketegangan di-fleksibelkan.
Banyak buku yang dibaca dan mungkin masih ada banyak hal yang belum
diceritakannya.
Berangkat dari statement-nya,
“Mengapa kita tidak menjadi hamzah fansuri?”. “Seharusnya kita tidak hanya
menganut tasawuf al-Ghazali?”, penjelasan-penjelasan seperti ini yang membuatku
terpana. Setiap kata-kata yang dikeluarkannya terasa enak didengar. Bahkan saat
aku merasa sangat kantuk.
Banyak adat dan budaya
yang diketahuinya. Falsafah dari kebiasaan masyarakat Aceh yang diterapkan
dulu, namun mulai tergerus sekarang. Ia menceritakan mulai dari ranah ladang,
gunung dan laut. Resam-resam yang mulai terkikis dimakan waktu. Mudah-mudahan
itu ditulisnya, agar tidak hilang menjadi abu.
Aku suka gaya
pemikirannya yang non materil, bersifat abstrak, dan komprehensif. Setiap satu
topik yang dibahasnya dapat menyentuh beberapa unsur kehidupan, yang tidak ku
pikirkan sebelumnya. Ia juga memiliki selera yang tinggi, seni yang bagus,
menyukai harmoni, natural dan gaya fleksibel.
Selain itu, ia sopan,
elastis, suka bergaul dan sederhana. Di banyak waktu ketika kami di luar kelas,
banyak orang yang menyapanya. Aku berpikir, “Pasti ada sesuatu yang dibina dan
dipupuk dari hubungan tersebut.” Lalu tanda tanya muncul, “Bagaimana caranya ia
membina hubungan itu?”
Sebuah pemikiran unik ia
utarakan dalam mendidik anak-anaknya. Persisnya ketika anak-anaknya merasa
gusar ketika hendak mengikuti ujian fisika (entah matematika) esok hari. Ia
menampik kegelisahan anaknya tentang ujian besok. “Tidak usah risau untuk ujian
besok, kita makan apa malam ini, sate atau.....?” lantas aku tersenyum mungil
di dalam hati ketika mendengarnya. Ia melanjutkan, “Sebenarnya, bukan pelajaran
itu yang akan diujiankan di kubur, menghafal al-Qur’an adalah prioritas utama.”
Aku menyadari pernyataan
tersebut bukan mengdiskreditkan ilmu pengetahuan umum. Kegelisahan terhadap
ujian di sekolah terkadang memang menekan psikologis anak dan menyebabkan
kegelisahan yang tidak mendasar. Sehingga bentuk pemecahan persoalan yang baik
telah dipraktikkan olehnya.
Ia juga menjelaskan,
kepribadian seseorang sangat dipengaruhi masa kanak-kanaknya dulu. Bagaimana
tentang kebutuhan yang terpenuhi, tentang interaksi yang dibangun dalam
keluarga, dan sebagainya. Oleh karena itu, dapat dipersepsikan bagaimana
kehidupan silam seseorang dengan melihat kepribadian seseorang.
Banyak hal yang dapat
dipelajari dan ditanyakan kepadanya dan banyak juga cerita yang tidak dapat
digambarkan dalam tulisan ini. Setidaknya, ada sebuah gambaran tentang sosok
yang ku kagumi dengan menuangkan melalui media tulisan, untuk di baca di
kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar